Solilokui

Kemalisme di Indonesia*

Akan tetapi kritikan yang sudah amat ‘halus’ itu diperhalus pula sekali lagi oleh pembela-pembela Kemal Pasya di Indonesia ini, yakni antara lain Ir Soekarno sendiri. Dihaluskan dan malah dihapuskannya isi kritikan itu dan disambutnya dengan sambutannya sendiri…: ”Dan kemerdekaan agama ini disambutlah pula dengan gembira oleh golongan kaum muda”.           

Oleh :  Muhammad Natsir**

JERNIH—Ditegaskan oleh pembela-pembela Kemalisme di Indonesia buat sekian kalinya, bahwa semua apa yang dikerjakan oleh Kemal Pasya yang berkenaan dengan agama Islam di Turki itu, semata-mata adalah untuk ‘menangkaskan’ Negara dan untuk ‘menangkaskan’ Islam.

M Natsir

Untuk membuktikan bahwa dakwa Kemal Pasya yang seperti itu bohong semata-mata, tak usahlah kita mencari-cari sifat dari buku-buku pihak “kaum-fekih-yang-tak tahu-sejarah”. Kaum pembela Kemalisme itu sendiri cukup memberi “bahan” untuk menguji benar atau palsunya obrolan mereka.

Kepada mereka yang suka berhujah dengan perkataan Chalide Edib Hanoum kita persilakan membuka kitab itu sekali lagi, antara lain dalam bab yang memperbincangkan pemerintahan Kemal Pasya, yang ia namakan dengan “The Turkish Republic”. Di sana Hanoum memajukan satu protes yang tajam terjadap beleid pemerintahan Diktator Kemal, yang pura-pura “memerdekakan” agama, akan tetapi pada hakikatnya menindas agama. Hanoum adalah penulis yang hati-hati dalam memilih perkataannya, sehingga boleh jadi kritikannya yang tajam-tajam dan keras itu tidak begitu terasa oleh mereka yang amat gemar mendengarkan ‘bom” dan “palu godam”.

Akan tetapi kritikan yang sudah amat ‘halus’ itu diperhalus pula sekali lagi oleh pembela-pembela Kemal Pasya di Indonesia ini, yakni antara lain Ir Soekarno sendiri. Dihaluskan dan malah dihapuskannya isi kritikan itu dan disambutnya dengan sambutannya sendiri…: ”Dan kemerdekaan agama ini disambutlah pula dengan gembira oleh golongan kaum muda”.           

Padahal baris sebelum itu, sitat dari Edid Hanoum berkata bahwa beleid pemerintah Kemal Pasya itu adalah “merantai perikehidupan agama di Turki” (“it would fetter the religious life of the Turks”)….  

Kita sungguh merasa heran, apa hubungannya beleid yang merantai perikehidupan di agama sebagaimana diterangkan dan diprotes Edid Hanoum itu dengan …kemerdekaan agama ini, yang kabarnya konon telah disambut dengan gembira oleh kaum muda Turki”, menurut Ir Soekarno. Hampir-hampir kita berkata bukankah ini satu barang yang berlawanan? Akan tetap bagi para pembela Kemalisme Indonesia hal itu rupanya biasa saja, taka da apa-apa. Agaknya itulah yang bernama ‘paradoxale realiteit’ atau salah satu dari “reeele paradoxen” pula…Entahlah!

Ala-kulihal dalam sitat mensitat ini memang ada pada 2 a 3 tempat yang bagi kita menjadi teka-teki. Kalau Ir Soekarno hendak menceritakan kesontoloyoan salah satu orang ulama atau guru tasbih umpamanya, beliau bentangkan semua dengan cara yang realistis dan plastis sehingga betul-betul orang menjadi bangun lantaran “canang” dan “palu godam” beliau itu. Akan tetap dalam urusan yang mungkin memperlihatkan kebohongan Kemal Pasya tentang dakwaannya “kemerdekaan agama” seperti yang kita lihat dari sitat kitab Edib Hanoum ini, Ir Soekarno tidak sampai begitu plastisnya. Rupanya, tidak disengaja!

Dalam bagian itu juga Edib Hanoum menunjukkan kepincangan dan kelicikan beleid Kemal Pasya dengan membawakan contoh-contoh yang rieel. Dia protes ketidakmerdekaan kaum Muslimin di bawah pemerintahan Kemal Pasya, bagi penyiaran ilmu dan pendidikan secara Islam. Diprotesnya kedudukan agama Islam dalam pemerintahan Kemal Pasya yang direndahkan dan diinjak-injak itu. Diprotesnya sikap pemerintah yang suka ‘memodernisasi’ urusan peribadatan menurut “akal merdeka”, menurut kemauan beberapa orang professor, seumpama yang menyuruh agar sembahyang dengan duduk di atas bangku saja, dan sebagainya.

Tindakan-tindakan Kemalisme yang semacam inilah yang dinamakan Edib Hanoum “fetter the religious life of the Turks”, merantai perikeagamaan di Tanah Turki. (Lihat: “Turkey Faces West”, halaman 230-231).

Akan tetapi ini tidak dibawakan oleh Ir Soekarno. Tidak beliau bawakan selengkapnya melainkan beliau tukar bagian-bagian yang ‘realistis’ dan plastis itu dengan titik-titik…..saja.

Dan sesudah itu beliau hapuskan dan beliau lipur sekali lagi dengan kalimat penutupnya: “Dan kemerdekaan agama ini, disambutlah pula dengan gembira,” dan sebagainya dan sebagainya. Dan supaya jangan amat terasa perlawanan sitat Edib Hanoum dengan “sambutan gembira” itu, maka kalimat yang menyimpulkan semua protes Edib Hanoum itu pada penutup alinea yang bersangkutan, yang bunyinya dengan letterlijk  adalah: “To take religion out of the political state, but the same time to keep the state in religious affairs, is one of the contradictatory aspects of the last phase which must be corrected”, kalimat ini pun ditukar pula dengan titik-titik…..saja!

Kita hargai tinggi niat Ir Soekarno hendak memberi ‘stof’ untuk kaum students. Alangkah baiknya kalau Ir Soekarno jangan terlampau banyak memakai titik-titik…untuk penukar ‘stof’ yang “kurang enak” terhadap beleid Kemal Pasya yang maha hebat itu. Supaya terpeliharalah beliau dari persangkaan-persangkaan, bahwa beliau selain dari pada suka memberi, juga suka menahan stof untuk student yang beliau suruh berstudi itu.

Dengan ini, kita tidak hendak mencari-cari kesalahan, tetapi sekadar “memperlengkap” stof yang diberi Ir Soekarno. Adalah kita, suka memperbanyak baik sangka. Kita suka mengharapkan bahwa ini semua, adalah lantaran kitab “Turkey Faces West” yang ada pada Ir Soekarno barangkali berlaina cetak daripada yang ada pada kita. Yang ada pada kami adalah cetakan ke-2 dari Yale University Press, Oktober tahun 1930.

Cuma kalau begitu, kami tidak mengerti kenapa titik-titik itu kebetulan cocok benar tempatnya dengan kalimat-kalimat Edib Hanoum yang ada dalam cetakan ke-2 yang ada pada kami, tapi tidak bertemu dalam sitat Ir Soekarno. Entahlah pula! [dsy]

*Diubah dari judul sebelumnya yang memakai ejaan Van Ophuijsen, “Kemalisten di Indonesia”, dari buku “Capita Selecta”, Penerbit Bulan Bintang, Djakarta, 1961

**Adalah seorang ulama, politikus, dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Ia merupakan pendiri sekaligus pemimpin partai politik Masyumi, dan tokoh Islam terkemuka Indonesia. Di dalam negeri, ia pernah menjabat menteri dan Perdana Menteri Indonesia, sedangkan di kancah internasional, ia pernah menjabat sebagai presiden Liga Muslim Dunia (World Muslim League) dan ketua Dewan Masjid se-Dunia.

Pada tanggal 3 April 1950, ia mengajukan Mosi Integral Natsir dalam sidang pleno parlemen. Mohammad Hatta sebagai wakil presiden Indonesia yang mendorong semua pihak untuk berjuang dengan tertib, merasa terbantu dengan adanya mosi yang memulihkan keutuhan bangsa Indonesia ini. Indonesia kemudian kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sebelumnya berbentuk serikat, sehingga ia diangkat menjadi perdana menteri oleh Presiden Soekarno pada 17 Agustus 1950.

Back to top button