Keterbatasan Diplomasi Indonesia dan Gagasan Pemboikotan Rusia dalam G20
Indonesia terkendala oleh kurangnya minat Presiden untuk melihat perannya dalam politik global kecuali isu diplomasi ekonomi. Diketahui sebagian besar keputusan kebijakan luar negeri bergantung pada Menteri Luar Negeri Retno. Pemerintah Indonesia saat ini tampaknya mengandalkan hubungan ekonomi bilateral dengan Cina dengan inisiatif Belt Road-nya sesuai dengan kepentingan nasional jangka pendek, daripada hubungan multilateral seperti dilakukan pemerintahan sebelumnya.
Oleh : Beni Sukadis*
JERNIH– Sudah lebih dari satu bulan setelah Invasi Rusia di Ukraina, sehingga dunia menghadapi perang terbesar di Eropa setelah Perang Dunia II, dan kita lihat beberapa konsekuensinya.
Perang sudah menekan negara tetangga seperti Polandia, Hungaria, Moldova, Rumania dengan kehadiran pengungsi Ukraina sebanyak empat juta orang. Sementara, korban sipil di Ukraina diperkirakan lebih dari 1.500 tewas, ribuan terluka dan hilang, serta perkembangan terakhir soal kekejaman pasukan Rusia di kota Bucha yang terletak di pinggiran Kyiv.
Setelah tentara Rusia meninggalkan kota Bucha dengan mundur ke Belarusia dan Rusia, kita melihat kekejaman di Bucha yang diduga dilakukan tentara pendudukan Rusia, yaitu pembunuhan 300-an warga sipil tak berdosa. Dunia tentu mengutuk tindakan kebrutalan dalam invasi Rusia dan menuntut penyelidikan internasional atas tuduhan tersebut.
Di tengah perang yang sedang berlangsung itu, Indonesia yang menjabat sebagai pemimpin G20 saat ini menghadapi tantangan lain, di mana KTT G20 tahun ini akan menghadirkan Rusia. Kementerian Luar Negeri RI telah mengirimkan undangan ke Rusia dan anggota G20 lainnya. Kedutaan Besar Rusia di Jakarta pun telah mengonfirmasi bahwa Presiden Rusia Vladimir Putin kemungkinan besar akan datang ke KTT pada Oktober 2022.
Perkembangan ini tentu ditanggapi berbagai negara, khususnya negara-negara barat yang keberatan. Seperti dikatakan Menteri Keuangan AS Janet Yellen (6/4), AS tidak akan menghadiri pertemuan G20 jika delegasi Rusia (Putin) akan hadir. Beberapa negara Barat yang sudah menyatakan keberatannya atas kehadiran Rusia di KTT G20 antara lain Australia, Kanada, Inggris, UE, dan Polandia. Di sisi lain, Cina dan Brasil mendukung kehadiran Rusia di G20. Oleh karena itu, keberatan tersebut tentu saja membuat Indonesia berada dalam situasi yang tidak nyaman dan gamang.
Secara umum, pemerintah Indonesia telah menanggapi dengan hati-hati tanpa menyatakan sikap secara lugas terhadap gagasan pemboikoton KTT G20 oleh AS dan sekutunya. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia, Teuku Faizasyah mengatakan, Indonesia tidak perlu menanggapi semua pernyataan dari negara lain. Lebih lanjut, Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi, menyatakan persiapan KTT G20 sedang berlangsung, dan semua delegasi tanpa kecuali diundang dalam pertemuan tersebut.
Forum G20 terutama berfokus pada masalah-masalah kerja sama ekonomi, tetapi perang antara Ukraina-Rusia kemungkinan akan menjadi salah satu agenda utamanya.
Sementara itu, Indonesia termasuk negara yang menyayangkan invasi Rusia ke Ukraina dan ikut mengecam Rusia dalam Resolusi Majelis Umum PBB yang tidak memiliki kekuatan mengikat. Namun demikian, Indonesia tidak akan ikut serta dalam pemberian sanksi ekonomi pada Rusia karena berbagai alasan mengikuti kepentingan nasionalnya (fokus pembangunan ekonomi, kesejahteraan rakyat dan menarik investor ke Indonesia, dll). Sedangkan sebagian besar negara barat, Jepang dan Singapura memberikan sanksi ekonomi atas tindakan agresi Rusia berupa penutupan akses Rusia untuk membiayai transaksi SWIFT, pembekuan aset Rusia di bank AS, penyitaan aset oligarki Rusia di Eropa Barat, embargo impor, dan seterusnya.
Ada sedikit perdebatan di publik Indonesia apakah Indonesia akan mengecualikan Rusia di KTT G20 dan mengikuti permintaan AS dan sekutu baratnya. Indonesia selalu menjaga netralitasnya berdasarkan prinsip politik luar negeri bebas aktif, sehingga Indonesia tidak mungkin akan mengecualikan Rusia. Oleh karena itu, ada beberapa skenario yang akan diambil Indonesia terkait keikutsertaan Rusia dalam KTT G20, adalah:
Skenario pertama, perang tetap berlanjut atau mengalami kebuntuan terutama di wilayah Donbas, setelah Rusia mundur dari Kyiv dan militer Rusia bersiap lagi untuk menduduki Donbass. Kemungkinan besar, karena Putin masih terfokus pada perang Ukraina, Putin tidak akan bisa menghadiri G20. Mungkin ini bisa menjadi berkah bagi Indonesia dan G20 tetap berlangsung dengan negara-negara barat menghadiri KTT.
Skenario kedua, Perang di Donbas, Ukraina, dimenangkan oleh Rusia sebelum KTT G20. Oleh karena itu, Putin tampaknya sangat mungkin menghadiri KTT G20 sebagai aksi resistensi atas penentangan negara barat. Tentu saja, AS dan negara sekutu lainnya tidak akan menghadiri KTT G20 dan Indonesia akan sedikit dipermalukan dengan boikot Barat terhadap KTT tersebut.
Skenario ketiga, perang masih berlangsung atau menemui jalan buntu, namun Indonesia berhasil meyakinkan Rusia untuk hadir dengan beberapa syarat, antara lain delegasi Ukraina juga akan menghadiri G20. Sehingga, Indonesia dapat berperan sebagai mediasi konflik dengan jaminan dari PBB, AS, China, India, Jepang dan negara-negara barat lainnya.
Skenario keempat, perang dimenangkan oleh Ukraina dan Putin mungkin merasa malu untuk menghadiri KTT G20. Namun, Indonesia tetap dapat berperan dengan mengundang Rusia dan Ukraina dalam menengahi kedua pihak yang bertikai untuk merundingkan penyelesaian konflik secara damai.
Skenario-skenario di atas mungkin saja terjadi. Tetapi masih harus dilihat apakah Indonesia benar-benar ingin memproyeksikan posturnya sebagai kekuatan menengah yang baru dalam politik global. Saya agak ragu mengingat Indonesia selama delapan tahun terakhir cukup menurun dalam urusan luar negerinya karena terbatasnya pilihan diplomatik yang kita miliki.
Indonesia terkendala oleh kurangnya minat Presiden untuk melihat perannya dalam politik global kecuali isu diplomasi ekonomi. Diketahui sebagian besar keputusan kebijakan luar negeri bergantung pada Menteri Luar Negeri Retno. Pemerintah Indonesia saat ini tampaknya mengandalkan hubungan ekonomi bilateral dengan Cina dengan inisiatif Belt Road-nya sesuai dengan kepentingan nasional jangka pendek, daripada hubungan multilateral seperti dilakukan pemerintahan sebelumnya.
Sepengetahuan saya, kepemimpinan Indonesia dipertanyakan, baik dalam persepsi domestik maupun asing dalam menghadapi pelanggaran Cina yang berkali-kali di wilayah ZEE Laut Natuna Utara dan juga isu Myanmar. Indonesia terlihat menjaga “silent diplomacy” terhadap aksi Cina di Natuna Utara karena kedekatannya dalam hubungan ekonomi bilateral. Serta Indonesia masih belum menekan rezim Myanmar secara optimal untuk mematuhi resolusi ASEAN tentang Rohingya dan kudeta militer terhadap pemerintah sipil Myanmar tahun 2021.
Menurut saya pemerintah Indonesia masih belum terlalu kuat untuk menekan Rusia agar mengambil jalan ideal yaitu win-win solution dalam perang dengan Ukraina, yaitu jalur diplomatik. Hanya waktu yang akan menentukan jalan yang akan diambil Indonesia dalam menangani Ukraina – perang Rusia dan masalah yang terkait KTT G20. Artinya kita tinggal menantikan skenario-skenario apa yang akan terjadi. [ ]
Beni Sukadis adalah Peneliti Senior keamanan nasional di LESPERSSI, Jakarta.