Solilokui

“Kopi Panas Radhar Panca Dahana”: Para Elit Kita Miskin Budaya

Dalam dunia akademik kita, terlalu banyak apa yang disebut Julien Benda sebagai pengkhiatan intelektual…

JERNIH—Ada realitas bahwa dalam kehidupan di tingkat supra-struktur, di tingkat atas, di tingkat para elit, itu terjadi absensi yang paling fundamental dalam peri-kehidupan mereka. Entah itu perikehidupan politik, bisnis, akademik, agama, dan lain-lain, yakni kultur atau kebudayaan.

radhar panca dahana, jernih.co
Radhar Panca Dahana

Dia tidak  paham apa yang disebut dengan budaya militer. Budaya Kepolisian yang diterjemahkan oleh Tito Karnavian itu menggelikan buat saya. Ada polisi menangkap ibu-ibu yang tidak pakai helm, tidak punya SIM, STNK, dia malah dipukuli oleh ibu-ibu itu. Polisinya ditabrak dan diam saja. Itu kultur apaan?

Apalagi kalau kita bicara tentang kultur berbisnis, kultur berpikir ilmiah atau kultur akademik. Secara moral atau basis nilai, dalam dunia akademik itu saya kira banyak sekali apa yang disebut Julien Benda sebagai “la trahison des clercs’. Ya, pengkhianatan intelektual.

Banyak pengkhianatan dalam dunia intelektual terjadi, ketika dia hanya menjual, melacurkan kepandaiannya, melacurkan kapasitas akademiknya, hanya untuk menda-patkan kuasa-kuasa tertentu. Entah kuasa finansial, kuasa politik, kuasa sosial dan lain-lain. Itu terjadi karena tidak adanya kultur.

Kenapa hal itu taka da? Karena kita tak pernah mau mencoba berusaha untuk menciptakan kultur politik kita ini seperti apa? Akhirnya apa? Kita main comot sana sini saja. Kayak jepang, gaya Amerika, gaya Inggris dan lain-lain. Lalu gayamu apa?

Kamu nggak punya gaya? Padahal kita, dalam 5000 tahun itu penuh dengan gaya. Sunda, Jawa, Bugis, Batak, Makassar, Gorontalo, itu isinya gaya semua. Tapi nggak dipakai.

Nah, kultur itu ternyata terbukti tak ada pada lingkaran atas tapi ada pada lingkaran di bawah. Di masyarakat grassroot. Yaitu ketika mereka memilih mensukseskan demokrasi ini.

Itu karena mereka memiliki satu macam kebudayaan yang mereka pelihara sejak lama, bahwa, misalnya, ini negeri sedang mengalami ancaman. Sehingga orang-orang pada cemas kan? Saya tak mau kecemasan itu terlalu merebak begitu banyak sehingga merusak bangsa ini. Saya milih! Emangnya (mereka) milih itu gara-gara tulisan siapa di Kompas? Yang baca Kompas bukan mereka. Rakyat kecil nggak baca Kompas. Tapi ada satu kesadaran bahwa saya harus membantu negeri ini. Dan itu berulangkali terjadi, rakyat itu menolong negeri ini untuk tetap berdiri.

‘Pekerjaan Rumah’ yang terbaik yang harus kita lakukan, bagaimana agar rakyat yang hebat itu terus memproduksi kaya-karya budaya terbaru mereka. Dan pemerintah jangan menekan mereka untuk menciptakan inisiatif dan produksi-produksi budaya  sendiri.”

Back to top button