SolilokuiVeritas

Mahkamah, Sebuah Pengadilan Hati Nurani

Nabi Muhammad s.a.w. juga mengingatkan para hakim agar selalu berlaku adil dalam setiap keadaan, segala suasana. Beliau s.a.w. mengatakan, “Hakim itu ada tiga macam. Dua di neraka, satu di surga. Hakim yang mengetahui kebenaran dan memutuskan perkara dengan ilmunya, dia akan masuk surga. Hakim yang mengetahui kebenaran tetapi berbuat zalim (tidak adil) dalam memutus perkara, maka dia akan masuk neraka. Dan seorang lagi hakim yang memutus perkara karena buta kebenaran dan berlaku curang, maka dia juga akan masuk neraka.”

Oleh     :  Akmal Nasery Basral*

JERNIH—

1/ Sastrawan-dramawan-budayawan besar Indonesia Asrul Sani (1926 – 2004) pernah menggubah naskah drama berjudul “Mahkamah, Sebuah Pengadilan Hati Nurani”. Pertama kali tayang di kanal televisi nasional TVRI  pada 1984. Empat tahun kemudian ditampilkan dalam bentuk drama teater di Gedung Kesenian Jakarta.

Tahun 2007–tiga tahun setelah Asrul wafat–cerita ini kembali dipanggungkan di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki. Drama sepanjang 2,5 jam itu disutradarai Jose Rizal Manua. Para pemain dari Sanggar Pelakon pimpinan Mutiara Sani dan musik dikerjakan oleh Gibran, putra ketiga Asrul–Mutiara. Di antara penonton ada Ketua Mahkamah Agung, Bagir Manan dan Jaksa Agung,Abdul Rahman Saleh.

Akmal Nasery Basral

Mahkamah berkisah tentang Mayor Saiful Bahri, seorang purnawirawan tentara, yang sedang berada di ujung sakaratul maut. Dia ditemani Murni, sang istri, perempuan jelita di masa mudanya. Kembang rebutan perhatian para pemuda pergerakan.

Menjelang kematian Saiful, satu peristiwa masa lalu terputar begitu jelas di depan matanya. Seperti film yang diputar khusus untuknya.  Peristiwa saat dia menembak mati Kapten Anwar, anak buahnya yang menolak ditugaskan menumpas pemberontakan komunis di Madiun, 1948. Saiful marah besar dan menuduh Anwar sebagai pengkhianat negara. Dia putuskan menembak mati Anwar dengan tangannya sendiri.

Apakah tindakan Saiful sepenuhnya atas nama patriotisme? Saiful meyakini itu. Tetapi, sesungguhnya dia dan Anwar sedang berkompetisi ketat mendapatkan cinta Murni. Anwar adalah saingan terkuatnya. Saat anak buahnya yang lain tak ada yang berani mendekati Murni, Anwar malah tak menunjukkan rasa segan dan sungkan sama sekali.

Selama bertahun-tahun sejak eksekusi mati Anwar, Saiful tak pernah memikirkan apa motif asli dari perbuatannya. Apalagi setelah Anwar tewas, dia bisa menyunting Murni dan mereka hidup bersama sampai hari tua. Tetapi kini justru di ujung hayatnya, sebuah mahkamah pengadilan terbentang. Dan dia menjadi terdakwa. Tiga orang hakim menatapnya tajam-tajam.

Hakim pertama adalah guru mengajinya masa kecil. Ustaz yang mengajarinya agama. Hakim kedua seorang penulis biografi yang sudah merekam kehidupannya sebagai seorang patriot pembela tanah air. Hakim ketiga adalah seorang letnan kolonel, atasannya yang berarti juga atasan Anwar.

Persidangan berlangsung alot. Argumentasi silih berganti dari segala sisi. Saiful berhasil menjawabnya dengan jitu. Ketiga hakim berbeda pendapat tentang “benar” dan “salah” dalam kasus eksekusi Anwar itu. Mereka tak bisa mengambil kata sepakat dan memutuskan mengundurkan diri. Sebuah mahkamah baru harus digelar dengan hakim tunggal. Tak dijelaskan siapa orangnya dan apa profesinya.

Pada hari persidangan yang telah ditentukan, Saiful duduk di kursi terdakwa. Kursi hakim masih kosong. Pintu ruang sidang terbuka, seorang lelaki masuk. Badan tegap, berjalan cepat, dan duduk di kursi hakim. Keduanya bertatapan. Saiful terkejut luar biasa: sang hakim adalah dirinya sendiri!

Saiful galau.  Bagaimana dia menghadapi mahkamah pengadilan yang tak terduga ini?

(Agar tak mengganggu kenikmatan mereka yang belum membaca naskah drama atau menonton pementasannya, maka akhir cerita tak diungkap dalam tulisan ini).

2/

Mahkamah berasal dari bahasa Arab. Bahasa Indonesia menerjemahkan menjadi pengadilan atau badan peradilan. “Mahkamah”, “hukum” dan “hakim”, memiliki akar kata yang sama dan arti yang tali bertemali. “Hakim” adalah orang yang paham “hukum”, bekerja di “mahkamah”. Dalam makna lebih luas, seperti penjelasan kamus Al Ma’any, hakim juga memiliki arti “orang yang arif, bijaksana, ahli filsafat, filsuf, cerdik cendekia”.

Di Indonesia, mahkamah sebagai badan peradilan terbagi ke dalam empat kategori sesuai dengan UU No. 14/1970, yakni peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata negara. Keempat badan peradilan ini berada di bawah Mahkamah Agung menurut UU No. 49/2009.

Selain Mahkamah Agung (MA) ada Mahkamah Konstitusi (MK). Keduanya merupakan lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman.

Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:

1. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar;

2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar;

3. Memutus pembubaran partai politik, dan

4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Performa semua badan peradilan dan mahkamah sangat tergantung oleh, dan ditentukan dari, performa hakim atau majelis hakim yang terlibat. Semakin bagus dan adil kualitas hakimnya, semakin tinggi pula tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kredibilitas lembaga peradilan atau mahkamah itu. Begitu juga sebaliknya. Artinya, kredibilitas hakim adalah kunci utama.

3/

Di dalam ajaran Islam, profesi hakim adalah profesi mulia sekaligus sangat rentan. Ada cukup banyak sabda Nabi Muhammad s.a.w. yang harus diperhatikan para hakim. Di antara sabda Rasulullah adalah, “Seorang hakim dilarang memutuskan (perkara) antara dua orang ketika dia sedang marah.” (HR Imam Bukhari).

Jabatan hakim memiliki risiko pekerjaan sangat tinggi karena berhubungan langsung dengan penegakan keadilan. Tersebab itu seseorang tidak boleh berambisi menjadi hakim hanya dengan mengandalkan kecerdasan belaka tanpa berharap agar selalu diberi taufiq (petunjuk, bimbingan) Allah.

Seorang hakim tidak boleh mengandalkan kemampuan logika dan rasionya semata karena keduanya sangat mudah dibangun, disusun, diatur, sesuai keinginan dan hawa nafsu untuk mendapatkan pujian dan kesenangan duniawi, dengan mengorbankan prinsip-prinsip keadilan.

Itu sebabnya Nabi s.a.w. bersabda dalam hadits yang lain yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a., “Bahwa barangsiapa dijadikan hakim di antara manusia, maka sesungguhnya dia disembelih tanpa menggunakan pisau.” 

Frasa ‘disembelih tanpa menggunakan pisau’ adalah metafora. Bukan berarti hakim seperti hewan kurban sapi, kambing, atau domba. Namun seseorang yang menjalani profesi sebagai hakim, secara esensinya telah mengambil keputusan memasuki gelanggang penyembelihan. Keputusan-keputusannya yang adil akan membuat masyarakat semakin hormat, sedangkan keputusan-keputusannya yang mencampakkan keadilan akan membuat publik berkeinginan untuk ‘menyembelihnya’ melalui kritik keras lisan dan tulisan, serta melalui doa-doa orang yang terzalimi oleh keputusannya. Doa korban penzaliman adalah salah satu jenis doa yang paling cepat dikabulkan Tuhan. Bisa dibayangkan seperti apa doa para korban keputusan hakim yang mengakali pasal-pasal perundang-undangan.

Nabi Muhammad s.a.w. juga mengingatkan para hakim agar selalu berlaku adil dalam setiap keadaan, segala suasana. Beliau s.a.w. mengatakan, “Hakim itu ada tiga macam. Dua di neraka, satu di surga. Hakim yang mengetahui kebenaran dan memutuskan perkara dengan ilmunya, dia akan masuk surga. Hakim yang mengetahui kebenaran tetapi berbuat zalim (tidak adil) dalam memutus perkara, maka dia akan masuk neraka. Dan seorang lagi hakim yang memutus perkara karena buta kebenaran dan berlaku curang, maka dia juga akan masuk neraka.”

4/

Dalam semua bentuk peradilan dan mahkamah, hakim selalu menyidangkan kasus orang lain. Mereka menjadi pemutus perkara, penentu status akhir, bagi terdakwa. Siapa yang benar, siapa yang salah. Siapa yang bebas, siapa yang dihukum. Siapa yang terkena peraturan, siapa yang mendapat pengecualian.

Bagaimana jika seorang hakim adalah juga seorang terdakwa?

Konstruksi sosial dan realitas legal-formal membuat hal ini mustahil terjadi. Sebab, tubuh manusia yang satu tak bisa berada di dua tempat pada waktu yang sama di kursi hakim, sekaligus di kursi terdakwa.

Namun, fiksi memberikan jalan keluar dalam semesta imajinasi. Mayor Saiful Bahri adalah seorang terdakwa sekaligus juga seorang hakim, dalam babak akhir drama Mahkamah, Sebuah Pengadilan Hati Nurani. Kalbunya menjadi hakim yang menuntut penjelasan dan pertanggungjawaban tentang apa yang pernah dilakukannya di masa silam sebagai terdakwa.

Jika hakim yang dihadapinya orang lain, Saiful masih mampu menyusun argumentasi, mencipta alasan, mengemas tafsir dan pembenaran.  Sudah terbukti pada mahkamah pertama, ketiga hakim yang mengenal dirinya pun sampai mundur teratur tak bisa menghadapi kepiawaiannya bersilat lidah. Tetapi dengan mahkamah berikutnya saat dia berhadapan dengan diri sendiri, siapa yang akan dikelabuinya?  Sementara nyawa sudah di ujung kerongkongan, napas sudah tersengal-sengal menjelang penghabisan?

Maka, Asrul Sani sejatinya tidak sedang berbicara tentang hakim, atau veteran perang, atau kisah cinta segi tiga, atau arti darma bakti bagi bangsa dan negara.

Asrul sedang mengingatkan kita bahwa semua orang akan menghadapi mahkamah masing-masing. Ketika hati nurani yang mengetahui motif segala perbuatan menjadi hakim tunggal untuk diri sendiri.

Masih untung jika setelah mahkamah itu selesai seseorang masih berumur panjang dan melakukan pertobatan. Tetapi bagaimana jika pada mahkamah terakhir kehidupan di dunia saat nyawa sedang sekarat, hidupnya langsung ‘lewat’ dan wafat?  [  ]

*Cibubur, 18 Oktober 2023

**Penulis adalah sosiolog, novelis “Nagabonar Jadi 2” (2007) yang dikembangkan dari Nagabonar (1986) karya Sang Maestro Asrul Sani.

Back to top button