Mari Kita Menunggu Dibom
Manusia-manusia Jepang itulah, yang dengan dengkul untuk poros menapak, keringat dan otak mereka, membuat negeri itu bangkit kembali dari abu
JAKARTA— Barangkali kita sudah harus mempertanyakan, mengapa istilah ‘modal dengkul’ di negeri ini seringkali berkonotasi negatif dan menjadi bahan olok-olok? Bukankah dari tak punya menjadi berada, dari zero ke hero, dari tiada menjadi ada, seharusnya dinilai sebagai prestasi tinggi?
Mungkin kita lupa, bahwa ‘modal dengkul’ sejatinya memiliki makna dan harus dimengerti sebagai modal keringat. Di sana ada sekian banyak perjuangan berawal dari ketiadaan. Jelas, kondisi itu berarti mengharuskan si pelaku modal dengkul haruslah seorang sumber daya yang penting.
Sebutlah seorang anak muda, David Jong Yuwono, namanya. Ia bukan jenis anak muda yang menunjuk-nunjuk siapa bapak-ibunya untuk mendapatkan bukti eksistensi. Dia jenis yang kata sahabat Nabi, Ali bin Abi Thalib,” Laisal fata man ya kullu kana abi” itu. Yang tak membawa-bawa nama bapaknya untuk dianggap. David adalah anak muda yang sejak kuliah berjualan tas, baju, dan barang fashion semacamnya, hingga kini beromset Rp 100 juta sebulan.
David memulai semua dengan dana ‘hanya’—kata yang pas dibandingkan omsetnya saat ini, Rp 800 ribu. Selebihnya kerja keras dan keringat. Modal dengkul tadi.
Dengarkan apa yang menginspirasinya. “Saya suka melihat orang-orang buta berjualan kerupuk, pengemis yang bertahan hidup di gerobak bersama keluarganya,” kata David. Dalam penilaian David, mereka bekerja keras untuk hidup, berkeringat tanpa mengeluh. “Itu yang memotivasi saya.”
Pengalaman Ansori, mahasiswa yang selama kuliah menjadi penjaga masjid kampus alias marbot, bahkan mungkin lebih pas menjadi contoh bagaimana bisnis bisa dimulai dengan modal dengkul. Alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta itu memulai usaha di bidang event organizer, benar-benar dengan modal dana nol.
Yang ia miliki hanya kemampuan membuat konsep kegiatan yang dituangkan dalam proposal, plus kelihaian menjual ide itu ke pihak sponsor dan publik. Soalnya, tak mudah bagi Ansori yang lahir dari keluarga miskin di desa terpencil itu mengumpulkan dana untuk modal.
Ia memang punya pengalaman ‘magang’ di beberapa perusahaan EO sejak awal kuliah. Aktivitasnya di berbagai kepanitiaan kegiatan mahasiswa, juga memberinya cukup rasa percaya diri. Selama ini, ia kerap berganti baju EO, tergantung kegiatan yang digelar. Untuk kegiatan sepeda santai ia bergabung dengan Dini Organizer; untuk kegiatan pameran, ia ganti baju dan masuk Medcom. Sementara untuk menggelar Islamic Book Fair, Ansori tampil dengan baju Syaka Organizer. Selebihnya, ia memilih menggunakan bendera Masjid Syuhada Yogyakarta. Ansori bahkan berhasil mendirikan Syuhada Pro, sebuah EO khusus untuk kegiatan bernuansa keagamaan.
Akhirnya, Ansori mengibarkan Centra, usaha bisnis yang bergerak di bidang EO. Itulah yang ditekuni dan menghidupi keluarga dan sekian banyak keluarga karyawannya selama ini. Ketika bidang pendidikan kemudian menarik minatnya, Ansori menambah usahanya dengan Edwise Edutainment.
Itulah modal dengkul yang sudah seharusnya diartikan modal keringat. Dus tentu saja sejatinya berarti modal sumber daya manusia.
Bukankah bangsa Jepang telah membuktikan dengan sempurna betapa sumber daya manusia adalah asset paling berharga? Sementara mungkin saja di negara kita hal itu masih jadi jargon klise semata.
Lihatlah kondisi bangsa itu manakala Hiroshima dan Nagasaki luluh lantak, rata dengan tanah. “Seketika kami jatuh menjadi bangsa paria yang tak punya apa-apa,” kata seorang anggota parlemen Jepang era 1980-an, saat mengenang pemboman itu.
Kita tahu, Jepang bukan negeri kaya. Justru karena miskin akan sumber daya alamlah yang membuat negara itu mengambil langkah fasis menaklukan negeri-negeri tetangganya, bahkan jauh ke Indonesia saat itu.
Tetapi Jepang memiliki sumber daya manusia yang melimpah. Manusia-manusia Jepang itulah, dengan dengkul untuk poros menapak, keringat dan otak mereka, yang membuat negeri itu bangkit kembali dan sempat menjadi raja dunia.
Tidak heran bila pada 1980-an sampai akhir 1990-an banyak orang Amerika yang menyesali pemboman yang tak berperikemanusiaan itu. “Kalau saja Jepang tidak dihancurkan dengan bom pada 1945,” pikir mereka, “ Mungkin pertumbuhan mereka tidak selaju awal 1980-an itu, sampai-sampai produk AS sempat tak menjadi tuan rumah di negara kami sendiri.”
Apakah negeri kita ini harus dibom hingga hancur lebur, atau mengalami kebakaran maha hebat yang menghancurkan semua milik kita, agar dengan itu kita bisa bangkit dan berlari mengejar segala ketertinggalan? Benarkah membangun hanya mungkin setelah bangunan lama dihancurleburkan sebelum mendirikan fondasi baru?
Tentu saja sebenarnya tidak perlu. Pengalaman adalah guru paling baik, kata pepatah. Tak ada keterangan bahwa itu harus pengalaman kita pribadi. [dsy—dari catatan 2015]