Melawan Oligarki
Singkat kata, manakala ada tanda-tanda negara berkembang ke arah dominasi persekutuan oligarki, saatnya kekuatan masyarakat harus digalang agar kekuatan negara tetap terkendali.
Oleh : Yudi Latif
JERNIH–Saudaraku, mengapa setelah lebih 20 tahun Orde Reformasi, ledakan kebebasan di ruang publik belum kunjung membawa kehidupan yang lebih positif-produktif? Jawabannya bisa menengok buku “The Narrow Corridor: States, Societies, and the Fate of Liberty”, karya Daron Acemoglu dan James A Robinson (2019).
Lewat studi lintas sejarah dan lintas negara, penulis menggambarkan ruang hidup kebebasan yang positif-produktif itu berada dalam koridor sempit antara negara kuat yang beresonansi dengan masyarakat kuat.
Tanpa negara kuat, masyarakat dengan kepentingan beragam akan terperangkap dalam spiral konflik yang mengarah pada anarki. Untuk itu, perlu ketundukan pada otoritas kekuatan bersama secara tersentralisasi, yang dalam istilah Thomas Hobbes disebut “Leviathan”.
Hanya saja, Hobbes tak membayangkan bahwa kekuatan negara juga bisa mengarah pada kekuatan dominan yang bersifat tirani (adespotik leviathan), yang menimbulkan ketakutan dan penderitaan rakyat.
Untuk itu, kekuatan negara harus tetap berada dalam ambang batas pengendalian (shackled leviathan). Caranya, pertama harus ada mekanisme checks and balances antarberbagai kekuatan dalam negara.
Perlu diwaspadai tendensi demokrasi padat modal yang mendorong perkongsian antar-kekuatan dalam negara di bawah kendali oligarki yang bisa melumpuhkan lawan tanding dan kebebasan rakyat.
Maka, selain perlu checks and balances antarkekuatan dalam negara, masyarakat juga harus membangun kekuatan sendiri untuk bisa mengontrol kebijakan dan perilaku pemerintahan.
Untuk memperkuat masyarakat, warga harus dibebaskan terlebih dulu dari kekangan norma tradisi (the cage of norms) yang menindas hak asasi manusia. Lalu, warga harus aktif terlibat dalam urusan publik, dengan kemampuan mengartikulasikan aspirasi serta mengorganisasikan aspirasi itu dalam gerakan aksi bersama.
Dalam gerakan aksi bersama, kekuatan-kekuatan masyarakat tak teperdaya oleh bentrokan antaridentitas, melainkan lebih fokus pada isu substantif (biang persoalan) yang melemahkan dan menyengsarakan rakyat secara keseluruhan.
Singkat kata, manakala ada tanda-tanda negara berkembang ke arah dominasi persekutuan oligarki, saatnya kekuatan masyarakat harus digalang agar kekuatan negara tetap terkendali. [ ]