SolilokuiVeritas

Membangun Kesadaran, Mengguncang Struktur (Pelajaran Jalaluddin Rakhmat & Kuntowijoyo untuk Mujahid Dakwah HMI Bandung)

Baginya, inilah inti dakwah: bukan mengubah pemikiran manusia terlebih dahulu, tetapi mengubah cara mereka merasakan. Mengubah ketakutan menjadi ketenangan. Mengubah sinisme menjadi harapan. Mengubah keterasingan menjadi kedekatan. Inilah dakwah yang memanusiakan. Dakwah yang menurunkan wajah Allah dalam hubungan antar-manusia. Dakwah yang menjadikan agama bukan beban, tetapi pelukan.

Oleh     :  Darmawan Sepriyossa

JERNIH– Ada masa ketika kata-kata kehilangan bobotnya. Ketika istilah “dakwah” begitu sering diucapkan, sampai-sampai ia menjadi gema kosong yang memantul di dinding kampus, di poster-poster pengajian, di grup WhatsApp, di mikrofon masjid, tetapi tak benar-benar menjejak pada hidup siapa pun. Yang terdengar sibuk, tetapi sebenarnya sepi. Yang terlihat ramai, tetapi sesungguhnya rapuh. Orang mendengar, tetapi tidak berubah. Orang mencatat, tetapi tidak bergerak. Orang hadir, tetapi pulang tanpa sesuatu yang menyala di dadanya.

Zaman ini memang begitu. Agama dibicarakan di mana-mana, tetapi kesepian batin justru kian menebal. Ceramah makin lantang, tetapi ketidakadilan struktural makin rapi. Forum kajian makin meluas, tetapi kecurangan, korupsi, dan dehumanisasi tak surut juga. Ada jurang yang lebar antara suara dan substansi, antara ajaran dan laku, antara dakwah dan transformasi.

Dan di tengah jurang itu, kita bertanya: apakah dakwah hari ini masih mungkin menjadi api yang menghangatkan manusia—dan sekaligus menggerakkan sejarah?

Pertanyaan ini bukan pertanyaan ringan bagi para kader HMI yang mengikuti Latihan Mujahid Dakwah. HMI selalu berdiri dalam ketegangan antara ijtihad keislaman dan keberpihakan sosial. Antara spiritualitas dan perlawanan. Antara kontemplasi dan gerakan. Antara bil hikmah dan kritik struktural.

Dalam ketegangan itulah tulisan ini bergerak, menelusuri dua pemikir besar—Jalaluddin Rakhmat dan Kuntowijoyo—yang sama-sama memandang dakwah bukan sebagai rutinitas, tetapi sebagai laku kesadaran dan laku perubahan. Dakwah yang memadukan kelembutan hati dan ketegasan politik. Dakwah yang mengajak manusia menyembuhkan dirinya, tetapi juga menyembuhkan masyarakatnya. Dakwah yang menghubungkan jiwa manusia dengan langit, tetapi menundukkan ketidakadilan di bumi.

Dakwah, di tangan dua tokoh itu, bukan sekadar ajakan. Dakwah adalah perjalanan batin dan kerja sosial. Perjalanan menuju Allah, kerja menuju manusia. Dan dari sinilah kita memulai.

I. Kang Jalal: Dakwah sebagai Jalan Memanusiakan

Jalaluddin Rakhmat selalu mengingatkan bahwa manusia tidak berubah oleh ceramah, tetapi oleh sentuhan. Bahwa dakwah bukanlah seni berbicara, tetapi seni menenangkan batin manusia. Dakwah, baginya, bukan perintah yang turun dari mimbar, tetapi kehadiran yang merangkul dari hati ke hati.

Dalam “Psikologi Komunikasi”, ia menuliskan hal yang tampak sederhana tetapi menentukan: “Orang mendengarkan bukan apa yang kita katakan, tetapi apa yang mereka rasakan dari kita.” Sebuah kalimat yang jika direnungkan dengan sungguh-sungguh, menyadarkan kita bahwa dakwah sejati bukanlah retorika yang menguasai panggung, melainkan kehadiran yang menguasai hati.

Bagi Kang Jalal, komunikasi adalah jembatan. Dan jembatan tidak dibangun dengan batu yang menekan, tetapi dengan struktur yang menopang. Dakwah harus menjadi ruang aman bagi manusia untuk membuka kegelisahannya. Ia harus menjadi tempat di mana air mata bisa turun tanpa rasa malu, di mana pertanyaan bisa keluar tanpa takut dihakimi, di mana keraguan bisa muncul tanpa dicap kurang iman.

Dakwah bukanlah penghakiman terhadap manusia. Dakwah adalah pengertian yang sabar. Dan karena itu, Kang Jalal membedakan dakwah yang mengarah ke dua poros: akal dan hati.

1. Dakwah ke Akal: Rasionalitas sebagai Jembatan Iman

Akal bukan musuh iman. Pertanyaan bukan ancaman bagi keyakinan. Kritik bukan tanda pemberontakan, tetapi tanda pencarian.

Kang Jalal menolak dakwah yang mematikan akal. Sebab iman tanpa akal adalah kerapuhan, dan akal tanpa iman adalah kesombongan. Dakwah ke akal berarti menghadapi generasi cerdas dengan kecerdasan. Berbicara kepada mahasiswa dengan argumentasi yang benar, bukan dengan ancaman. Menjelaskan agama bukan sebagai larangan-larangan yang mengurung, tetapi sebagai struktur makna yang membuka mata.

Dakwah, bagi Kang Jalal, harus berani menafsirkan ulang tradisi, mengajukan konteks, memasukkan ilmu pengetahuan modern, memahami psikologi, membaca sejarah, dan menata kembali cara kita memahami dunia. Tanpa itu, dakwah akan menjadi fosil indah yang tidak menggerakkan apa-apa.

2. Dakwah ke Hati: Spiritualitas sebagai Ruang Pertemuan

Tetapi akal bukan segalanya. Ada bagian jiwa manusia yang tidak bisa disentuh oleh logika, tetapi luluh oleh kasih. Dakwah ke hati adalah dakwah yang masuk pelan-pelan, seperti air menyusup retakan tanah. Ia datang dari kelembutan suara, kesabaran mendengar, dan keteladanan laku.

Kang Jalal sering mengutip Nabi Muhammad SAW yang bersabda, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak.”

Baginya, inilah inti dakwah: bukan mengubah pemikiran manusia terlebih dahulu, tetapi mengubah cara mereka merasakan. Mengubah ketakutan menjadi ketenangan. Mengubah sinisme menjadi harapan. Mengubah keterasingan menjadi kedekatan.

Inilah dakwah yang memanusiakan. Dakwah yang menurunkan wajah Allah dalam hubungan antar-manusia. Dakwah yang menjadikan agama bukan beban, tetapi pelukan.

II. Kuntowijoyo: Dakwah sebagai Jalan Membebaskan

Jika Jalaluddin Rakhmat menata batin manusia, Kuntowijoyo menata medan sosial tempat manusia itu berdiri. Ia tidak pernah melihat dakwah hanya sebagai ajakan moral personal. Baginya, dakwah adalah kerja kolektif, kerja politik, kerja sejarah. Sebab manusia yang shalat tetapi tetap terjepit kemiskinan struktural bukanlah manusia yang merdeka. Manusia yang taat ibadah tetapi hak akademiknya dibungkam bukanlah manusia yang benar-benar beriman. Manusia yang rajin mengaji tetapi tunduk pada sistem yang menindas bukanlah manusia yang damai dengan Tuhannya.

Dalam Ilmu Sosial Profetik, Kunto merumuskan tiga arah dakwah:

1. Humanisasi: Memulihkan Martabat Manusia

Kunto sering berkata bahwa amar ma’ruf adalah tugas memanusiakan. Bahwa dakwah sejati adalah dakwah yang mengembalikan manusia kepada martabat asalnya: sebagai makhluk yang dimuliakan. Humanisasi adalah dakwah kepada masyarakat yang telah kehilangan dirinya—masyarakat yang dicekik angka-angka ekonomi, disempitkan oleh birokrasi, diarahkan oleh pasar, dilumpuhkan oleh rasa takut.

Dakwah, dalam perspektif ini, tidak hanya bicara akhlak, tetapi juga bicara ruang hidup manusia. Bicara pendidikan yang manusiawi. Bicara pekerjaan yang layak. Bicara kesehatan mental generasi muda. Bicara ruang aman di kampus dan keluarga. Bicara tentang apa pun yang menyangkut kemanusiaan.

2. Liberasi: Membongkar Struktur Penindasan

Nahi munkar bukan tentang mengoreksi perilaku individu saja, tetapi tentang melawan struktur yang memproduksi ketidakadilan. Dakwah, di tangan Kunto, adalah gerakan pembebasan: pembebasan dari kemiskinan yang sistemik, dari ketimpangan yang dilembagakan, dari kekuasaan yang tidak dikontrol, dari feodalisme kampus, dari eksklusivisme pengetahuan, dari kepatuhan buta.

Ia menulis, “Ilmu harus berpihak pada yang lemah.” Ini bukan slogan.

Ini adalah etika profetik. Dakwah tanpa liberasi hanyalah penghias. Dakwah tanpa perlawanan hanyalah dekorasi moral. Dakwah tanpa komitmen pada mustadh’afin bukan dakwah yang mewarisi semangat Nabi, yang diutus untuk membela kaum tertindas.

3. Transendensi: Menjaga Arah Perjuangan

Ketika gerakan sosial kehilangan Tuhan, ia menjadi ideologi kering. Ketika spiritualitas kehilangan kepedulian sosial, ia menjadi eskapisme. Kunto mempertemukan keduanya: manusia bergerak di bumi, tetapi matanya tetap tertuju pada langit.

Transendensi bukan menghindari dunia, tetapi tidak diperbudak olehnya. Transendensi adalah cara memastikan bahwa perjuangan sosial tidak berubah menjadi hasrat kuasa. Transendensi adalah rem moral dalam setiap agenda perubahan.

III. Dakwah yang Mengalir: Menggabungkan Kang Jalal dan Kunto

Mujahid dakwah masa kini harus bekerja di dua ruang sekaligus: ruang batin manusia dan ruang sejarah masyarakat. Tidak cukup hanya menyentuh hati; harus membongkar struktur. Tidak cukup hanya membongkar struktur; harus menguatkan manusia. Dan keduanya tidak boleh saling meniadakan.

Dakwah harus mengalir seperti sungai yang mencari jalannya sendiri, tetapi tetap menuju lautan yang pasti. Ia harus lentur menghadapi zaman, tetapi keras pada ketidakadilan. Ia harus mendekati manusia dengan kelembutan, tetapi mendekati kekuasaan dengan keberanian.

Dakwah yang hanya lembut akan kehilangan daya. Dakwah yang hanya keras akan kehilangan manusia. Dakwah yang memadukan keduanya akan mengubah sejarah.

IV. Strategi dan Metode Dakwah untuk Generasi HMI Bandung

1. Memulai dari Kesadaran Diri

Dakwah tidak dimulai dari mimbar. Dakwah dimulai dari cermin. Dari kejujuran kepada diri sendiri. Dari keberanian melihat luka batin, bias pribadi, kepentingan diri yang disamarkan sebagai dakwah. Seorang mujahid dakwah harus menundukkan ego sebelum menundukkan mikrofon.

2. Menjadi Pendengar yang Lebih Baik daripada Pembicara

Dakwah bukan soal berbicara banyak, tetapi soal mendengar dalam-dalam. Mendengar keresahan teman sekampus. Mendengar cerita mahasiswa yang berjuang membayar UKT. Mendengar kegelisahan generasi digital yang kehilangan arah. Mendengar sunyi manusia.

Kang Jalal berkata, “Empati adalah ruh komunikasi.”

3. Menyentuh Realitas Konkret

Dakwah tidak boleh menjadi abstraksi. Ia harus membumi. Ia harus bicara tentang – kesehatan mental, – lingkungan yang rusak, – keadilan kampus, – ketidakpastian kerja,  – politik uang, – kekerasan struktural, – dan wajah sehari-hari ketidakadilan.

Dakwah yang berpura-pura tidak melihat ini adalah dakwah yang menutup mata pada penderitaan.

4. Menguasai Bahasa Baru Zaman Baru

Dakwah harus hadir di mana manusia sekarang berada: TikTok, podcast, YouTube, Twitter, ruang baca, ruang kelas, ruang advokasi.

Tetapi dengan etika profetik: tanpa hoaks, tanpa kebencian, tanpa penghinaan.

5. Bergerak dari Personal ke Komunitas ke Struktural

Langkah dakwah harus bertahap: memperbaiki diri, menguatkan komunitas, mengadvokasi kebijakan, menggigit struktur yang tidak adil. Tidak ada dakwah yang sejati tanpa struktur yang disentuh.

Penutup: Dakwah sebagai Cahaya dan Perlawanan

Pada akhirnya, dakwah bukan serangkaian metode, bukan teknik komunikasi, bukan strategi organisasi. Dakwah adalah kerja spiritual yang mengalir pelan tetapi menghantam batu. Dakwah adalah keheningan yang menumbuhkan keberanian. Dakwah adalah cahaya kecil yang ditanam di dada seseorang, lalu bergerak keluar menjadi api perubahan di masyarakat.

Nabi Muhammad SAW mengingatkan, “Sebaik-baik jihad adalah berkata benar di hadapan penguasa yang zalim.” 

Itulah dakwah: keberanian moral.

Ali Shariati menambahkan, “Ketika agama hanya mengajarkan kesabaran, ia berubah menjadi candu; tetapi ketika ia mengajarkan keadilan, ia menjadi pembebasan.”

Sementara Frantz Fanon menutup lingkaran ini dengan kalimat yang mengguncang generasi demi generasi: “Setiap generasi harus menemukan misinya, mengisinya, atau mengkhianatinya.”

Maka pertanyaan yang tersisa bagi para Mujahid Dakwah HMI Bandung hanya satu:  Apakah kalian datang untuk mengisi misi zaman ini—atau membiarkannya berlalu tanpa jejak?

Karena dakwah bukan sekadar ajakan.  Dakwah adalah kesetiaan. Dakwah adalah keberanian. Dakwah adalah cinta. Di tangan generasi muda yang cerdas dan gelisah, dakwah bisa kembali menjadi apa yang dulu membuat sejarah bergerak: api yang pelan, tetapi tak pernah padam. [ ]

*Dialog pembuka untuk sebuah  sesi pada Latihan Mujahid Dakwah, HMI Cabang Bandung, Desember 2025

Back to top button