Solilokui

Pandemi Sebagai Pengobatan Jiwa

Eric Weiner– penulis buku-buku filsafat– menyebut pandemi sebagai therapeutic medicine of the soul, terapi jiwa. Kita dipaksa untuk rehat dari rutinitas yang heboh: bekerja, berkumpul, bersenang-senang. Sebaliknya, kita disuruh menyepi dalam artian paling harfiah.

Oleh  :  Agus Kurniawan

JERNIH– Seorang teman bilang, “Dalam konteks ekologis, kita ini lebih virus dibanding virus.”

Jika virus hanya merusak inangnya, manusia  sering menghancurkan segala hal: biosfir, makhluk hidup, bahkan manusia lain. Manusia jauh lebih rakus, eksesif, dan ekspansif. Oleh karenanya, sesekali manusia perlu rehat dari rutinitasnya.

Tentu kita menolak pandemi. Sebagian besar manusia tak hepi dengan sikon ini. Persoalannya, pandemi sudah terjadi — entah itu alami atau hasil konspirasi. Menurut ujaran tua, setiap musibah harus berhikmah. Kalau nggak diambil hikmahnya, kita rugi dobel. Sudah susah, nggak dapat pencerahan pula.

Agus Kurniawan

Dalam artikel di Wall Street Journal, Eric Weiner– penulis buku-buku filsafat– menyebut pandemi sebagai therapeutic medicine of the soul, terapi jiwa. Kita dipaksa untuk rehat dari rutinitas yang heboh: bekerja, berkumpul, bersenang-senang. Sebaliknya, kita disuruh menyepi dalam artian paling harfiah. Tidak boleh bekerja, tidak boleh berkumpul, apalagi bersenang-senang. Suasananya pun dibuat gloomy, suram.

Orientasi kita yang biasanya keluar (outward), dipaksa ke dalam (inward). Kalau biasanya kita baru hepi setelah menikmati hiruk-pikuk dunia luar, kini kita dipaksa menikmati kegembiraan hanya dalam keluarga serumah. Lebih jauh lagi, kita dipaksa untuk menyelam lebih jauh ke dalam jiwa kita sendiri. Banyak merenung, kontemplasi, refleksi.

Awalnya pandemi memaksa kita berpikir keras, bagaimana bertahan dalam situasi tak tertahankan? Bagaimana mencari kepastian dalam situasi tidak pasti? Jawabannya pun seperti kabut tipis di pegunungan. Antara ada dan tiada. Antara yakin dan tidak.

Tetapi situasi ini lambat laun membawa kita pada pencerahan berikutnya: first thing first. Kita dipaksa untuk kembali pada yang utama. Tuhan, keluarga, persahabatan, dan kasih sayang. Apalagi yang lebih utama dari itu? Jiwa kita dibersihkan dari anasir-anasir lain, dan dimurnikan pada hal-hal yang utama.

Tahap berikutnya adalah kreativitas. Ternyata manusia sering melahirkan gagasan yang lebih baik –dan kelak abadi– ketika berada pada situasi nestapa yang masif, termasuk pandemi. Para Nabi diturunkan saat suatu bangsa mengalami penindasan akut atau dekadensi. Socrates –misalnya– pun lahir di awal kehancuran bangsanya, ancaman invasi militer, dan wabah pes.

Tapi kita kan bukan nabi yang bisa mengubah dunia. Mengutip Henry David Thoreau — penyair ekologis Amrik, jika kita tak bisa mengubah dunia, kita bisa mengubah cara kita memaknai dunia, cara kita memaknai hidup.

Dan lebih penting lagi, kita jadi lebih ingat Tuhan — asal dan tujuan kehidupan. [ ]

Penulis bisa diajak ngobrol pada akun goeska@gmail.com

Back to top button