Memberantas Korupsi: Mereduksi Kerakusan, Membangun Komitmen Pemimpin dan Sistem Birokrasi yang Baik
Korupsi tidak hanya penyakit birokrat, tapi penyakit masyarakat. Masyarakat kecil pun terpapar korupsi karena mau disogok “serangan fajar” dan “bansos” abal-abal bagaikan gratifikasi massal.
Oleh : Werdha Candratrilaksita*
JERNIH–Korupsi sebagai suatu tindak pidana (delik) menurut Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) didefinisikan sebagai tindakan setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Dalam penjelasan undang-undang tersebut, melawan hukum adalah perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun materiil.
Melawan hukum formil adalah mengabaikan dan/atau melanggar ketentuan yang mengatur prosedur (prosedural), seperti hukum administrasi negara, hukum acara, statute, kebiasaan dan adat, perjanjian/traktat/konvensi,yurisprudensi, dan/atau doktrin. Melawan hukum materiil adalah mengabaikan dan/atau melanggar ketentuan yang pasti hukumannya jika dilanggar, atau melakukan perbuatan kejahatan yang pasti ancaman hukumannya menurut hukum.
UU Tipikor memperluas perbuatan melawan hukum tidak dibatasi sebatas formil dan materiil, bahkan hingga mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana. Akibat dari perbuatan melawan hukum itu, membuat diri sendiri atau orang lain atau korporasi menjadi lebih kaya.
Penggunaan kata “atau” berarti cukup memenuhi salah satu dari unsur itu. Selanjutnya penggunaan kata “dapat” berarti tidak diperlukan lagi untuk memastikan unsur kerugian negara atau kerugian perekonomian negara. Hal itu disebut sebagai penerapan delik formil, yaitu delik yang mana tidak lagi melihat akibatnya, namun cukup unsur perbuatannya saja. Meskipun tidak terdapat kerugian negara atau kerugian perekonomian negara, sepanjang memenuhi unsur melawan hukum dan unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, maka sudah dapat disangkakan kepadanya delik korupsi.
Prinsip hukum formil yang diterapkan pada tindak pidana korupsi, membuat akibat kerugian negara atau perekonomian negara tidak lagi menjadi unsur yang diharuskan adanya. Oleh karena itu, UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi meluaskan unsur perbuatan pidana korupsi pada aspek perbuatan, bukan aspek akibat perbuatan, seperti penambahan perbuatan: 1) menerima atau memberi gratifikasi (pemberian) yang merupakan suap dengan unsur-unsurnya dan ketentuan materiilnya diatur undang-undang; 2) memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan unsur-unsurnya dan ketentuan materiilnya diatur undang-undang; dan 3) pegawai negeri atau penyelenggara negara menerima pemberian atau janji.
Rumusan korupsi itu sangat luas, dan tidak hanya dimaknai sebagai persoalan keuangan negara, namun persoalan perekonomian negara. Perbuatan melawan hukum dan bahkan perbuatan tercela menurut perasaan keadilan Masyarakat (penjelasan UU Tipikor), sehingga memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dikategorikan memenuhi unsur tindak pidana korupsi. Sehingga jika ada aparatur negara khususnya penyelenggara negara bertambah kekayaannya selama menjabat, maka ia harus mampu membuktikan bahwa kekayaannya tidak berasal dari perbuatan melawan hukum termasuk perbuatan tercela.
Itu jika kita menerapkan hukum acara pembuktian terbalik. Sayangnya, hukum acara belum menerapkan prinsip dan mekanisme pembuktian terbalik pada dugaan tindak pidana korupsi. Praktik mengakali dan mengkadali peraturan perundangan untuk melancarkan aksi bisnis, juga termasuk tindak pidana korupsi. Hal itu di samping melawan hukum juga tentunya merupakan aksi memperkaya baik diri sendiri atau orang lain atau korporasi. Dampak terhadap kerugian perekonomian negara tidak perlu dibuktikan lagi oleh penegak hukum, karena delik formal.
Korupsi tidak hanya penyakit birokrat, tapi penyakit masyarakat. Bahkan, pelaku usaha (pebisnis) paling banyak terpapar korupsi, yang dapat merugikan perekonomian negara. Politisi dan anggota legislatif juga terpapar korupsi jual beli peraturan, dan jual beli anggaran. Masyarakat kecil pun terpapar korupsi karena mau disogok “serangan fajar” dan “bansos” abal-abal bagaikan gratifikasi massal.
Sebenarnya mudah sekali kita membersihkan mafia dan pelaku korupsi, hanya saja adakah komitmen pemimpin kita? Adakah komitmen presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan? Presiden adalah atasan Kapolri dan Jaksa Agung beserta seluruh unsur instansi kepolisian dan kejaksaan. Presiden juga adalah panglima tertinggi Angkatan Darat, Laut, dan Udara. Lembaga intelijen juga di bawah Presiden secara langsung. Begitu kuatnya, dan seharusnya bisa memberantas korupsi.
Mereduksi kerakusan
Kerakusan (greediness) adalah keinginan untuk memperoleh segala sesuatu melebihi daripada yang dibutuhkan atau menurut kewajaran. Gaya hidup mewah, gengsi (prestige) berlebihan, hidup manja dan ingin serba dilayani, serta suka pamer harta adalah faktor pendorong sifat (karakter) dan sikap (tindakan) rakus yang membentuk kerakusan secara komunal/akumulatif. Kerakusan tidak menjadi masalah sosial, apabila pemenuhan kerakusan itu dilakukan dengan usaha yang bermoral dan etis (beretika), tidak menghalalkan segala cara, mematuhi hukum, memenuhi norma sosial (adat istiadat, kebiasaan, dan kesusilaan), dan tidak membuat dampak sosial dan lingkungan yang buruk. Oleh karenanya, kerakusan adalah penyakit sosial yang harus direduksi, bahkan dihilangkan.
Berbagai cara ditempuh untuk mereduksi bahkan menghilangkan kerakusan itu. Keimanan, keyakinan bahwa hidup hanya sekali di dunia dan setelah mati akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat, keyakinan adanya Tuhan yang senantiasa mengawasi dan mengetahui apapun yang kita perbuat, dan keyakinan bahwa sekecil apapun bagian dari harta yang dimiliki akan ditanyai di akhirat sebagai pertanggungjawaban kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, mestilah menjadi faktor internal yang utama untuk mengendalikan sifat dan sikap rakus. Sedangkan faktor eksternal yang mengendalikan sifat dan sikap rakus adalah adat istiadat, pengawasan masyarakat, nasehat tokoh agama (spiritualis), dan contoh baik dan peranan pemimpin.
Pejabat negara, pejabat negara lainnya, ASN (PNS dan PPPK), anggota TNI, dan anggota Polri, yang semuanya disebut sebagai aparatur negara, yang sebagiannya dikategorikan sebagai penyelenggara negara, harus mengeliminasi atau mereduksi sifat dan sikap rakus dari dalam dirinya. Sifat dan sikap rakus mendorong aparatur negara melakukan perbuatan melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri, keluarganya, orang lain, maupun korporasi yang berkaitan dengannya baik langsung maupun tidak langsung, yang disebut sebagai korupsi. Selain faktor internal yaitu keimanan aparatur negara, faktor eksternal berupa komitmen pemimpin dimulai dari kepala negara/kepala pemerintahan, dan sistem birokrasi yang baik (good governance) harus ditegakkan. Faktor internal sangatlah abstrak. Mendeteksi keimanan aparatur negara sangatlah sulit, maka faktor eksternal berupa komitmen pemimpin dan sistem birokrasi yang baiklah, yang diharapkan diandalkan untuk mencegah korupsi.
Membangun komitmen pemimpin
Rumusan unsur-unsur delik korupsi tersebut, seharusnya mendorong kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, seluruh pimpinan Lembaga negara, pimpinan instansi pemerintah (Kementerian/Lembaga dan lembaga pemerintah non Kementerian), dan pimpinan pemerintah daerah menyiapkan hukum formil yang rigid (mengatur menyeluruh) dan radiks (mengatur mendalam/mendetil). Sehingga untuk itulah, diperlukan: 1) pengadopsian prinsip dan nilai good governance seperti akuntabilitas, transparansi, partisipasi, demokratisasi, kepastian hukum, legalitas, dan kuatnya pengawasan-pengendalian; 2) proses perumusan dan penetapan hukum administrasi secara hati-hati dan memastikan tidak terdapat celah manipulasi dan kekosongan hukum; 3) meminimalkan kewenangan diskresi akibat kekosongan hukum atau ketidakcukupan pengaturan oleh hukum; 4) perbaikan tata kelola (manajemen) atau proses bisnis yang memastikan terjadi check and balances; serta 5) otomatisasi dan digitalisasi sistem informasi.
Banyak sekali kasus-kasus korupsi terjadi karena akibat perbuatan melawan hukum, dan perbuatan melawan hukum itu berakibat memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, meskipun dampaknya terhadap kerugian negara atau kerugian perekonomian negara masih diperdebatkan, atau bahkan tidak terjadi. Perbuatan melawan hukum ini terjadi karena niat jahat dan adanya kesempatan karena komitmen pimpinan untuk membenahi lima hal sebagaimana saya sebutkan di atas tidak kunjung dilakukan.
Lima hal tersebut adalah upaya untuk mempersempit kesempatan terjadinya perbuatan melawan hukum, baik dilakukan karena ketidaksengajaan (atau ketidaktahuan) maupun dilakukan dengan niat jahat. Aparat penegak hukum seringkali mengesampingkan pembuktian adanya niat jahat. Hal itu juga didukung oleh banyak ahli hukum, yang berpendapat bahwa pembuktian adanya niat jahat tidak menjadi kewajiban penyidik dan penuntut umum.
Sistem birokrasi yang baik
Birokrasi yang menganut tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) adalah pagar utama untuk mencegah terjadinya korupsi. Prinsip good governance meliputi: kepastian hukum dan legalitas (rule of law), perencanaan strategis, transparansi (keterbukaan), akuntabilitas (pertanggungjawaban), partisipasi masyarakat, inklusif (pelibatan semua pihak), konsensus (demokratis), efisien (asas biaya dan manfaat), responsif (aksi cepat tanggap), dan berorientasi efektivitas, harus melembaga dalam sistem birokrasi.
Di Indonesia, birokrasi yang baik terpenuhi manakala memenuhi asas-asas umum pemerintahan yang baik, yang meliputi: kepastian hukum, kemanfaatan, ketidakberpihakan, kecermatan, tidak menyalahgunakan kewenangan, keterbukaan, kepentingan umum, dan pelayanan yang baik (pasal 10 ayat (1) UU Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan).
Dalam tataran praktis, sistem birokrasi yang baik dapat dilihat dari tiga jargon, yaitu equality before the law (kesetaraan di depan hukum), meritokrasi (birokrasi berbasis kompetensi dan kinerja), dan law enforcement (penegakan hukum secara tegas). Ciri-ciri utamanya adalah: keterbukaan dalam penyusunan regulasi dengan menjaring aspirasi masyarakat secara luas, adanya open bidding jabatan pejabat negara dan jabatan birokrasi berserta pengujian kompetensi dan kinerja secara terbuka, serta penegakan hukum tanpa “pandang bulu” dan tajam ke semua arah.
Dalam pandangan sistem modern; penerapan digitalisasi, pengelolaan database yang terintegrasi, layanan tanpa tatap muka dengan interface sistem informasi pelayanan publik sehingga menghindarkan dari subjektivitas dan “kongkalikong”, serta pengambilan keputusan yang tersegregasi menciptakan checks and balances; menjadi ciri-ciri bahwa sistem birokrasi yang baik telah diterapkan. [ ]
*Mahasiswa Program Doktor Administrasi Publik pada Universitas Diponegoro.