Solilokui

Memoar Masa Muda 2: Balada Teh Botol Andri Aryadi

Tapi malam itu entah kenapa dia tidak mengajak saya makan. Sepertinya dia sangat sibuk dengan tugasnya, sehingga melupakan makan malam. Kami sama-sama lapar, tapi ada bedanya. Andri sengaja memilih lapar karena ngerjain tugas, sedangkan saya benar-benar kelaparan karena beberapa hari tidak makan.

Oleh  : Agus Kurniawan

JERNIH– Tahun 1990-an awal, seorang sahabat saya, sekaligus mahasiswa senior, memiliki kos yang sangat elit di kawasan Tubagus Ismail. Namanya Buroqi Tarich. Kos itu sangat mahal, tak mungkin terjangkau oleh kebanyakan mahasiswa udik macam saya. Dia juga memiliki komputer desktop, salah satu barang mewah yang sangat jarang dimiliki mahasiswa saat itu.

Ki Agus Kurniawan

Karena Buroqi lagi sibuk mengurusi ayahandanya yang mengalami musibah kecelakaan di Laut Taiwan, kunci kamar diserahkan pada teman baiknya, Andri Aryadi (almarhum), yang juga mahasiswa senior. Alhasil, Andri sering ngajak saya untuk ngadem, “kabur” dari Asrama Salman, dan tidur di kos ini, sekalian main komputer.

Malam itu selepas maghrib, Andri mengajak saya ke kos Buroqi, ngerjain tugas kuliah pakai komputer. Seperti biasa saya lupa kapan terakhir makan. Saya benar-benar lapar, badan gemetaran. Tapi mulut ini terkunci rapat untuk menyampaikan kondisi saya pada Andri. Sepanjang malam di kos itu saya membaca buku dengan perut melilit, sementara Andri asyik dengan tugasnya.

Andri sehari-hari tinggal di Asrama Salman, suatu asrama yang diperuntukkan untuk mahasiswa yang lolos uji kompetensi keislaman, sekaligus menjadi tulang punggung pengelolaan Masjid Salman. Saya sendiri “penghuni liar” di Salman.

Karena tak punya kos, saya numpang tidur di salah satu ruangan para aktivis. Zaman itu saya memilih aktif di unit yang bandel (SKAU), ngomongin filsafat tiap hari, dan secara berkala menerbitkan jurnal tiga bulanan yang—menurut kami– cukup berbobot.

Kami sesekali ikut demo, dan suka rebel, melawan aturan YPM Salman. Salah satu ke-rebelan- kami adalah merokok diam-diam. Tapi jangan underestimate pada para alumnus SKAU ini. Kelak alumninya menjadi para intelektual negeri ini, seperti DR Haidar Bagir, DR Zaenal Abidin Bagir, Prof. DR. Agus Budiyono, DR Putut Widjanarko, DR. Agus Salim, DR Agus John, DR. Agus Eko, DR Agus Mulyadi, DR Elin Driana, DR (calon) Alfathri Adlin. Yang tidak meneruskan pendidikan doktoral, menjadi para profesional atau BOD di banyak perusahaan, seperti Farid Gaban, Eko Supriyanto, Darmawan Supriyossa (aha!), Ahmad Baiquni, Zulfahmi Andri, Yuliani Liputo, Lawyer Ivan Garda, Rezha Rochadi, Deden Himawan, Siska Widyawati, Anwar Holid, Zaenal Muttaqien, dll.

Andri anak saudagar kayu di Pati. Uang sakunya tebel. Kemana-mana naik vespa. Hobinya makan. Dan sebagai sahabatnya, saya ikut menikmati berkahnya, sering ditraktir makan yang enak-enak — menurut ukuran saat itu.

Tapi malam itu entah kenapa dia tidak mengajak saya makan. Sepertinya dia sangat sibuk dengan tugasnya, sehingga melupakan makan malam. Kami sama-sama lapar, tapi ada bedanya. Andri sengaja memilih lapar karena ngerjain tugas, sedangkan saya benar-benar kelaparan karena beberapa hari tidak makan.

Paginya Andri mengajak saya kembali ke Salman. Dia benar-benar fokus sama tugas kuliahnya sehingga melupakan sarapan. Ya, tentu saja saya juga ikut tidak sarapan.

Tiba-tiba di Pasar Simpang, dia membelok ke warung, “Gus, aku haus. Kita minum teh botol dulu, ya.” Dan sehari itu saya mendapat asupan kalori lumayan dari teh botol.

Oh ya, mengapa saya sebagai mahasiswa begitu miskinnnya, sampai sering tak makan? Karena sejak tingkat 2 saya memutuskan menolak kiriman uang dari ortu. Keputusan gegabah dan nekad. Soalnya saya tahu persis, ketika mengirim uang, orang tua saya pasti pinjam sana-sini. Sementara adik saya banyak — empat orang — dan sekolah semua. Balada anak sulung, ya begitulah. []

Back to top button