SolilokuiVeritas

Mengapa Orang Indonesia Nyaman Memeluk ‘Whataboutisme’?

Dalam kasus invasi Rusia ke Ukraina, ‘Whataboutisme’ membuat orang yang meyakininya terlihat seolah menoleransi Rusia membunuhi warga sipil Ukraina dengan alasan ‘defense’—yang ini pun sejak awal begitu ganjil. Persoalannya, secara telanjang warga dunia menyaksikan bahwa act of war-nya sama sekali bukan Ukraina. Kalimat yang lebih jujur bisa dikatakan, seorang pengidap ‘Whataboutisme’ akan terkesan memaklumi ratusan anak Ukraina yang meninggal dalam serangan Rusia, hanya karena “Lha, AS pun melakukan hal yang sama di Afghanistan, di Irak, di Suriah,  blah blah blah…”

Oleh   : Darmawan Sepriyossa

JERNIH— Barangkali, dalam kehidupan sehari-hari kita pernah menjumpai dialog seperti ini:

Dadap : “Seharusnya rokok dilarang, makruh secara hukum agama, tidak baik pula untuk kesehatan.”

Waru : “Lho, mengapa gula tidak dilarang juga? Gula juga tidak menyehatkan, menyebabkan diabetes, penyakit pembunuh nomor tiga di Indonesia.”

Atau yang saat ini lebih sering terdengar :

Pitih : “Kasihan, sudah banyak anak-anak, ibu rumah tangga dan orang lanjut usia  meninggal dalam serangan Rusia di Ukraina…”

Fulus : “Alah, belum juga satu semester. Berapa banyak warga Irak, Libia, Palestina yang meninggal sejak sekian tahun lalu karena kekejian Amerika?”

Apa yang kita dengar tersebut dalam kajian yang lebih serius disebut sebagai “Whataboutisme”, kadang disebut pula “Whataboutery”. Kata ini cenderung peyoratif, artinya memiliki makna yang negatif. Selain dikenal sebagai bagian dari teknik propaganda—yang biasanya senantiasa penuh bias– Oxford Dictionaries merujuk kata itu pada teknik retorika seseorang sekadar untuk membelokkan tudingan atau fakta yang disampaikan orang lain. Lebih jauh, umumnya orang menunjuk  “Whatabout-isme” sebagai sebuah kesesatan berpikir yang membuat suatu diskusi menjadi tidak kondusif, cenderung hanya debat kusir. Para pemeluk teguh–dalam bahasa filsuf AS, Erick Hoffer, ‘true believers’—dari “Whataboutisme” dalam keseharian biasanya lebih dikenal sebagai kaum ‘denial’.

Menurut Ben Zimmer, seorang leksikografer (ilmu bahasa yang mempelajari teknik penyusunan kamus) terkemuka, istilah ini mulai muncul dalam konflik Inggris Raya-Irlandia (utara) di tahun 1970-an. Zimmer mengutip sebuah surat terbuka yang dilansir seorang guru sejarah, Sean O’Conaill, yang diterbitkan “The Irish Times”. Saat itu ia mengeluhkan indikasi kuat “Whatabouts” dari orang-orang yang membela kelompok perlawanan Irlandia Utara (IRA), dengan menunjuk-nunjuk perilaku dan kesalahan musuh mereka, terutama Inggris.

Dalam surat terbuka berjudul “Surat untuk Editor” yang dimuat 30 Januari 1974 itu, Sean O’Conaill menunjukkan beberapa ‘Whataboutisme”, misalnya: “Kalau IRA disalahkan, bagaimana dengan kekejian tentara (Inggris) pada peristiwa ‘Minggu Berdarah’, kamp interniran, sekian jenis penyiksaan, serta intimidasi?”

Kelindan “Whataboutisme” dengan Uni Soviet dan Rusia

Pada 1978, jurnalis Australia, Michael Bernard, menulis sebuah kolom di “The Age”, menerapkan istilah “Whataboutisme” itu kepada Uni Soviet yang dalam risetnya menunjukkan banyak menggunakan cara-cara tersebut. Dengan agak sinis Bernard menulis,”…tidak ada yang bisa lolos dari serangan terhadap pelanggaran yang dilakukan Kremlin tanpa Moskow melemparkan beberapa batu bata ke Afrika Selatan. Tidak ada yang bisa mendakwa Kuba tanpa menghukum Presiden Park, tidak ada yang bisa menyebut Irak, Libya atau PLO tanpa ada yang menyerang Israel”

Sementara setelah era posmo ini, tak hanya menunjuk, Zimmer juga memuji jurnalis Inggris, Edward Lucas, yang memulai kembali penggunaan kata ini menjadi lebih umum melalui posting blog pada 29 Oktober 2007. Dalam tulisannya kemudian di “The Economist” edisi 31 Januari 2008, “Whataboutism”, Lucas langsung mengaitkan praktik memutar-mutar logika itu dengan keberadaan Uni Soviet di masa lalu. Ia menulis,”Para propagandis Soviet selama perang dingin dilatih dalam sebuah taktik yang oleh lawan mereka—barat–dijuluki ‘Whataboutism’. Setiap kritik terhadap Uni Soviet (kekejaman perang Afghanistan, darurat militer di Polandia, pemenjaraan pembangkang, penyensoran) disambut dengan ‘Bagaimana dengan…(misalnya: apartheid di Afrika Selatan, aktivis serikat pekerja yang dipenjara, insiden Contras di Nikaragua, dan sebagainya).”

Lucas dalam artikelnya itu merekomendasikan dua metode untuk melawan “Whataboutisme”, yakni menggunakan poin yang dibuat oleh para pemimpin Rusia sendiri sehingga tidak dapat diterapkan ke Barat. Sementara bagi negara-negara Barat dimintanya lebih banyak mengkritik diri baik media maupun pemerintah mereka sendiri. Menariknya, Ivan Tsvetkov, profesor hubungan internasional di St Petersburg, Rusia, juga memuji Lucas untuk penggunaan kembali istilah tersebut. Pada tahun itu Lucas bahkan menerbitkan sebuah buku yang mengulas kecenderungan Rusia (dan Soviet di masa lalu) itu dalam “The New Cold War: Putin’s Russia and the Threat to the West”.

Tudingan Lucas belakangan kian bergema. Wartawan Luke Harding bahkan menggambarkan “Whataboutisme” sebagai “..secara praktis (merupakan) ideologi nasional Rusia”. Dalam artikelnya di tahun 2014, jurnalis pertahanan, Julia Ioffe berkomentar,” Siapa pun yang pernah mempelajari Uni Soviet akan tahu tentang fenomena yang disebut ‘Whataboutisme’.” Menuding langsung, Ioffe mengatakan bahwa Russia Today yang dikendalikan pemerintah Kremlin itu tak lebih dari “sebuah lembaga yang didedikasikan semata-mata untuk tugas ‘Whataboutisme’.”

Di Bloomberg News, pada 2016 lalu jurnalis Leonid Bershidsky tanpa sungkan menyebut ‘Whataboutisme’ sebagai tradisi Rusia. Sementara Foreign Policy juga tak tanggung-tanggung menyatakan di Rusia ‘Whataboutisme’ telah menjadi bagian dari jiwa nasional.

Wartawan Rusia sendiri tampaknya gerah dengan kondisi negerinya itu. Alexey Kovalevyang saat ini tengah ditahan pemerintah, berkata kepada GlobalPost pada tahun 2017 bahwa taktik pemutarbalikan logika tersebut merupakan trik kuno yang dikembangkan Soviet.

Yang telak, “Whataboutisme” kian menjadi pemikiran paria manakala media terkemuka, “The New Yorker”  dengan feature-nya yang khas menggambarkan teknik tersebut sebagai “strategi kesetaraan moral yang salah”.

Kesukaan para otokrat

Lahir dan besar dalam budaya Soviet, pemimpin Rusia Vladimir Putin tentu saja terbiasa dengan “Whataboutisme”. Catatan pun menunjukkan kerapnya Putin menggunakan pelintiran logika tersebut.

“Jangan ceramahi saya soal demokrasi,”kata Putin dalam sebuah kesempatan bertemu Presiden George W. Bush, 2006 lalu. “Saya jujur mengatakan ​​kepada Anda: kami tidak ingin memiliki demokrasi seperti (yang dikembangkan)  di Irak.” The Guardian pada artikel “Putin: Don’t lecture me about democracy” tanggal 16 Juli 2006 itu menulis bahwa beberapa bulan sebelumnya Washington kerap mengkritik cengkeraman keras Putin pada media massa dan politik Rusia.

Dalam catatan Ben Zimmer, Putin juga menggunakan taktik tersebut dalam sebuah wawancara dengan jurnalis NBC News, Megyn Kelly, pada Maret 2018 lalu.

Bahkan dalam aneksasinya yang illegal terhadap Krimea, Joshua Keating dalam tulisannya di Slate pada 2014, menulis bahwa Putin masih tega memakai logika ngasal tersebut. Putin, tulis Keating, saat itu “mendaftarkan serangkaian keluhan tentang intervensi Barat.”

Semua itu hanya sedikit dari banyak contoh yang bisa dikemukakan.

Tapi memang kemudian terbukti bahwa “Whataboutisme” sangat berkelindan erat dengan keseharian para pemimpin berciri otokrat.  Donald Trump, salah satu contoh, adalah pelaku dan pemegang teguh cara “Whataboutisme”. “Alih-alih memberikan pembelaan yang masuk akal (dari rencana perawatan kesehatannya), dia malah melakukan pelanggaran tumpul, yang merupakan ciri khas “Whataboutisme””, tulis Danielle Kurtzleben dari National Public Radio. “(Dia) terdengar sangat mirip dengan Putin.”

Tentang kemiripan tersebut, mantan Duta Besar Amerika Serikat untuk Rusia, Michael McFaul, menulis di The Washington Post dan  secara kritis membandingkan penggunaan taktik Trump di tahun-tahun lalu itu dengan Putin. McFaul berkomentar, “Itulah jenis argumen yang telah digunakan propagandis Rusia selama bertahun-tahun untuk membenarkan beberapa kebijakan paling brutal yang dilakukan Putin.”

Ketika dalam acaranya host Fox News, Bill O’Reilly menyebut Putin sebagai “pembunuh,” Trump menanggapi dengan mengatakan bahwa pemerintah AS juga banyak membunuh orang. Trump mengatakan,” Ada banyak pembunuh. Kita memiliki banyak pembunuh. Bagaimana menurut Anda, apakah negara kita memang begitu polos?”

Contoh lain, pada 2018 lalu Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan bahwa “Pendudukan [Israel] adalah omong kosong, ada banyak negara besar yang menduduki dan menggantikan populasi dan tidak ada yang membicarakannya.” Begitu pula saat Perdana Menteri India, Narendra Modi, yang menggunakannya terutama sehubungan dengan protes penulis India tahun 2015 dan pencalonan mantan Ketua Hakim Ranjan Gogoi ke parlemen.

Mengapa disukai orang Indonesia?

Relatif sulit mencari pemikiran tertulis yang mendukung ‘Whataboutisme’. Seperti terpapar jelas di atas, kebanyakan orang sehat mengambil sikap berhadapan dengan pemelintiran logika tersebut.  Apalagi kemudian terbukti bahwa kecuali membuat orang bingung dan ragu untuk berpihak pada kebenaran, dampaknya pun tak banyak.

“Para pembuat kebijakan di Rusia hanya mendapat sedikit keuntungan dari serangan gaya  ‘Whataboutisme’ mereka,” tulis Samuel Charap, ilmuwan politik RAND Corporation di The National Interest.

Meski pemerintah otokrasi Cina sendiri termasuk yang kerap menggunakannya, budaya Cina terkesan sangat tidak ramah terhadap ‘Whataboutisme’. Metafora Cina yang bersinonim dengan ‘Whataboutisme’ adalah ‘Argumen Kutu Bau’ alias  Chòuchónglùn, yang konon pertama kali dipakai sastrawan terkemuka Cina, Lu Xun. Bahasa Mandarin tersebut dipakai untuk menunjukkan kecenderungan umum rekan-rekannya yang kerap menuduh orang Eropa memiliki masalah yang sama buruknya, setiap kali datang kritik terhadap masalah domestik Cina. Wajar bila Lu Xun kerap mencemooh sikap tersebut dalam karya-karya sastranya. Ia percaya, sikap tersebut menghalangi kemajuan budaya dan sikap mental orang Cina.

Dalam kasus invasi Rusia ke Ukraina, ‘Whataboutisme’ membuat orang yang meyakininya terlihat seolah menoleransi Rusia membunuhi warga sipil Ukraina dengan alasan ‘defense’—yang ini pun sejak awal terasa ganjil. Persoalannya, secara telanjang warga dunia menyaksikan bahwa act of war-nya sama sekali bukan Ukraina. Kalimat yang lebih jujur bisa dikatakan, seorang pengidap ‘Whataboutisme’ akan terkesan memaklumi ratusan anak Ukraina yang meninggal dalam serangan Rusia, hanya karena “Lha, AS pun melakukan hal yang sama di Afghanistan, di Irak, di Suriah,  blah blah blah…”

Padahal, bukankah sejatinya orang harus membela siapa pun yang menjadi korban kesewenangan, sementara ia harus jernih melihat akar masalah. Apa alasan kuat Rusia menyerang Ukraina? Karena negeri kecil itu hendak menjadi anggota NATO? Menjadi anggota NATO masih merupakan harapan yang jauh, sementara Rusia menginvasi, menyerang dan membuat sekian banyak orang terbunuh dan menjadi pengungsi, itu kenyataan di depan mata.

Lalu mengapa orang-orang Indonesia tampaknya nyaman memeluk sikap mental seperti itu? Ada baiknya kita merenungi apa yang dikatakan seorang filosof, Merold Westphal. Menurut Westphal, orang dapat menemukan kenyamanan saat menemukan bahwa ada orang lain yang sama buruknya atau lebih buruk lagi dari dirinya. Artinya, sejak awal pun ‘Whataboutisme’ secara intrinsilk telah mengandung keburukannya sendiri.  

Lebih  jauh, ‘Whataboutisme’, pada saatnya bisa menyebabkan terkikisnya rasa empati seseorang,  sehingga mereka akan dengan mudah menyepelekan sesuatu. Sementara, muncul atau bahkan bila hal itu merebak di masyarakat, itu bisa menjadi ciri dan pertanda bahwa masyarakat kita (Indonesia) dalam keadaan kurang sehat, apatis, mungkin pula hipokrit.

Tetapi barangkali memang seperti itulah masyarakat kita pada dasarnya. Pada 6 April 1977, wartawan cum sastrawan Mochtar Lubis berpidato di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Runtutan kalimat pendiri Kantor Berita Antara itu seharusnya membuat kita semua malu, dan bergegas memperbaiki diri, meski hal itu jarang sekali terjadi.

Almarhum Mochtar mengatakan, ada sifat-sifat khas–yang sayangnya buruk–dari orang-orang Indonesia. Pidato Mochtar yang kemudian dibukukan dengan judul “Manusia Indonesia–Sebuah Pertanggungan Jawab” itu mengulas enam sifat manusia Indonesia yang khas dan melekat kuat. Dua di antaranya adalah munafik atau hipokrit, serta berkarakter lemah.

Kita pernah dan masih menyaksikan betapa hipokrisi tumbuh subur di negeri ini. Bukan satu-dua politisi atau pimpinan wilayah yang mempertontonkan kesalihan pribadi. Tetapi ujung-ujungnya kita menyaksikan mereka korup.

“Dia ikut maki-maki korupsi tetapi dia sendiri seorang koruptor,”tulis Mochtar, mengingatkan kita pada satu iklan televisi di masa lalu, di mana kader-kader sebuah partai yang sempat berkuasa dengan lantang berkata “Tidak!” pada korupsi. Realitasnya kita tahu, semua dusta. Penulis kira sifat kita yang toleran akan hipokriri membuat kita gampang terjangkit ‘Whataboutisme’.

Sifat lain yang ditunjuk Mochtar Lubis adalah berwatak lemah. Ini menjadi banyak alasan mengapa orang-orang Indonesia cenderung tidak berpikir jernih, mudah terbawa arus dan gampang terprovokasi. Dengan lemahnya watak, gampang pula kita dikelabui aneka pemalsuan informasi, berita palsu, hoaks dan sebagainya. Buka saja media social, dan kita akan gampang menemukan bukti mudahnya provokasi dan berita bohong berkeliaran sepanjang waktu.

Jadi wajar bila sesat pikir semacam ‘Whataboutisme’ menemukan ceruknya yang nyaman, bahkan laksana sorga, barangkali. [  ]

Back to top button