Kemerdekaan Palestina hanya soal waktu. Pada waktunya, kemerdekaan Palestina itu bahkan akan ikut didorong oleh pemerintah Amerika Serikat dan mayoritas populasi Yahudi internasional.
Oleh :Denny JA
JERNIH– Kemerdekaan Palestina hanya soal waktu. Pada waktunya, kemerdekaan Palestina itu bahkan akan ikut didorong oleh pemerintah Amerika Serikat dan mayoritas populasi Yahudi internasional.
Itulah kesimpulan saya selepas membaca data mutakhir.
Gallup Poll secara berkala membuat survei pada populasi masyarakat Amerika Serikat. Ikut ditanyakan, seberapa nyaman mereka dengan Israel versus Palestina dalam konflik Israel- Palestina.
Walau masih lebih banyak yang pro Israel, tapi dukungan (favorability) pada Palestina terus menaik dari waktu ke waktu (1). Di tahun 2021, dukungan pada Palestina (Palestine Authority Favorably) meningkat di angka 30 persen. Sebelumnya hanya 23 persen di tahun 2020. Dan hanya 21 persen di tahun 2019 dan 2018.
Sebaliknya, dukungan pada Israel (Israel Authority Favorably) menurun 58 persen di tahun 2021. Sebelumnya 60 persen di tahun 2020. Dan 64 persen di tahun 2018.
Di sisi lain, semakin banyak terbentuk komunitas Yahudi internasional. Mereka yang berdarah Yahudi, beragama Yahudi mendukung kemerdekaan Palestina.
Bahkan komunitas Yahudi berkampanye memobilisasi dukungan mereka. Antara lain Jewish For Peace dan If Not Now Movement di Amerika Serikat. Sedangkan di United Kingdom, terbentuk pula komunitas Yahudi untuk Palestina dengan nama Na’amod Movement (2).
Menarik untuk memahami. Mengapa dukungan kepada Palestina menaik bahkan di wilayah dan komunitas yang dulu menjadi musuh utama Palestina.
***
Tiga alasan penyebab. Pertama, semakin berpengaruhnya komunitas Blacklives Matters di Amerika Serikat. Komunitas ini yang tempo hari menyatukan penduduk kulit hitam, dan simpatisan kulit putih. Mereka memprotes ketidakadilan, rasisme, kekerasan yang dilakukan aparat keamanan dan politisi atas kulit hitam.
Gerakan ini terbentuk sejak tahun 2013 di Amerika Serikat. Ini timbul sebagai solidaritas atas ditembaknya remaja kulit hitam, Trayvon Martin oleh polisi.
Martin baru berusia 17 tahun. Diyakini Ia tak bersalah. Ia ditembak dikira kriminal. Itu semata karena Ia kulit hitam. Pengadilan memutuskan sang polisi bersalah.
Gerakan Black Live Matters semakin membesar ketika mereka membela kulit hitam George Floyd, di tahun 2020. Video tentang George Flyod meluas. Viral.
Dalam video itu, leher Floyd ditekan oleh dengkul polisi kulit putih, walau Floyd sudah mengiba ia tak bisa bernafas. Akhirnya Floyd wafat.
“Kurang ajar! Brutal! Murahnya nyawa kulit hitam!” Aneka kemarahan bergema di media sosial.
Protes di seantaro Amerika Serikat meluas walau di era pandemi. Aksi protes ini bahkan dianggap terbesar sepanjang sejarah Amerika Serikat. Diperkirakan sebanyak 15-20 juta populasi di seantero Amerika Serikat turun ke jalan di tahun 2020. Isu keadilan bagi yang tertindas meluas.
Kini gerakan Black Live Matters di Amerika Serikat menjadi pendukung utama keadilan bagi Palestina. Gerakan ini secara terbuka menyatakan dukungannya (3).
Bagi mereka bangsa Palestina mengalami nasib yang sama dengan kulit hitam di masa lalu. Ia bangsa yang dianiaya. Bangsa yang dizalimi. Bangsa yang diperlakukan tak adil.
Mereka menggaungkan solidaritas. Bahkan sejak Jesse Jackson, tokoh utama kulit hitam mencalonkan diri menjadi Presiden AS, di tahun 1988, Ia sudah menyatakan mendukung hak asasi bangsa Palestina.
Kampanye solidaritas kepada sesama kelompok yang tertindas, yang dikampanyekan Black Live Matters ikut menambah simpati populasi Amerika Serikat kepada Palestina. Ini terjadi terutama di kalangan populasi kulit hitam.
Kedua, berubahnya persepsi David versus Goliath. Cukup lama tertanam dalam kesadaran kolektif bahwa bangsa Israel adalah si kecil David. Dan bangsa di luar Israel, termasuk Arab adalah raksasa Goliath. Raksasa murka dan kejam.
Hollocoust di masa Hittler tahun 1940-an menyebabkan ratusan ribu bahkan jutaan Yahudi dibunuh massal. Genosida.
Di tambah lagi kisah eksodus kitab suci di zaman Nabi Musa. Komunitas Yahudi bersusah payah terusir dari Mesir. Citra itu yang terbentuk. Bangsa Yahudi adalah bangsa yang ditindas. Simpati publik datang pada bangsa yang ditindas.
Tapi kini persepsi semakin berubah. Yahudi dan negara Israel bukan sikecil David lagi. Negara Israel justru kini paling perkasa secara militer di Timur Tengah. Tak hanya perkasa. Israel juga dianggap semena-mena . Ia meluaskan area pemukimannya di West Bank. Mereka acap melanggar hak asasi. Ikut membunuh anak- anak. Ikut membunuh penduduk sipil.
Bahkan di kalangan politisi konservatifnya, Israel ingin pula menguasai keseluruhan Jerusalem.
“Terlalu!” Begitulah bahasa anak gaul melihat ulah Israel masa kini.
Kini Goliathnya, sang raksasa murka itu justru Israel. Bangsa Palestina yang menjadi David di kecil. Yang tak bedaya. Yang perlu mendapatkan simpati.
Kisah eksodus bangsa Palestina kini dipopulerkan. Mulai dirayakan eksodus 700 ribu rakyat Palestina terusir dari rumahnya akibat perang Palestina tahun 1948.
Kata “Nakbah,” atau penghancuran Palestina kini bergaung. Semakin hari Palestina menggantikan Yahudi sebagai David si kecil melawan raksasa Goliath. Dan kini Goliath berganti bernama Israel.
Simpati pada Palestina semakin terbentuk.
Ketiga, semakin menguatnya kompromi rasional. Mustahil bangsa Israel mampu menumpas habis bangsa Palestina. Juga mustahil bangsa Palestina bisa menumpas habis bangsa Israel.
Lalu apalagi kegunaan konflik yang panjang? Bukankah kompromi rasional solusi damai, berdirinya dua negara merdeka, berdampingan, tak terhindari? Kompromi rasional acapkali ditempuh ketika konflik berlarut. Itu konflik yang tak bisa tuntas dimenangkan oleh siapa pun.
Ketika Katolik dan Protestan bertempur selama 30 tahun di Eropa abad 17, awalnya perang ini diwarnai dengan semangat untuk saling menghabisi. Tapi mustahil Katolik mampu membunuh habis Protestan. Juga mustahil Protestan mampu membunuh habis Katolik.
Apa yang terjadi? Akhirnya penganut Katolik dan Protestan berdamai. Mereka hidup berdampingan dalam perbedaan. Toleransi dikembangkan.
Komunitas Yahudi Internasional di Amerika Serikat juga di United Kingdom menyadari ini pula. Mereka, komunitas Yahudi Internasional di atas bahkan mendukung kemerdekaan palestina.
***
Posisi Amerika Serikat menjadi kunci terciptanya dua negara merdeka: Israel dan Palestina. Two State Solution.
Amerika Serikat punya hak veto di PBB. Apa pun yang diputuskan PBB menjadi mentah jika diveto Amerika Serikat. Termasuk jika PBB memaksa untuk menerima anggota baru negara Palestina merdeka.
Tapi kebijakan Pemerintah Amerika Serikat sangat tergantung dari preferensi dan tendensi pilihan populasinya. Contoh kasus LGBT. Sejak awal presiden Amerika Serikat tak ada yang berani secara terus terang mendukung LGBT. Itu ketika mayoritas populasi AS kontra LGBT.
Presiden AS mana yang mau mendukung isu sensitif yang ditentang mayoritas publiknya? Lalu terjadi perubahan persepsi. Mayoritas populasi di AS mendukung LGBT. Maka Presiden Obama di tahun 2012 tercatat sebagai presiden AS pertama yang mendukung Same Sex Mariage.
Mengapa Obama mendukung? Karena berdasarkan aneka survei, populasi AS bergeser mendukung LGBT. Presiden mendengar pilihan mayoritas warga negara.
***
Hanya masalah waktu, mayoritas penduduk Amerika Serikat akan semakin favorable kepada kemerdekaan Palestina. Saat itu, siapa pun yang menjadi Presiden AS akan menjadi sponsor kemerdekaan Palestina.
Tapi, merdeka dengan batas teritori yang mana? Siapa yang memimpin Palestina saat itu: Fattah atau Hamas? Itu isu selanjutnya.
Zaman mulai berubah. Pada waktunya, tak ada kekuatan apa pun yang bisa membendung hak sebuah bangsa untuk merdeka. Termasuk Palestina merdeka. [ ]
Mei 2012
Catatan :
1. Survei Gallup Poll: dukungan kepada Palestina pada populasi Amerika Serikat terus menaik
2. Komunitas Yahudi Internasional berkampanye untuk kemerdekaan
3. Black Lives Matter mendukung Palestina