SolilokuiVeritas

Mengoptimalkan Perlindungan Pekerja di Indonesia

Implementasi program JKP masih jauh dari harapan. Kompleksitas masalah yang ada mengindikasikan bahwa program ini belum mampu menjalankan perannya sebagai bantalan sosial bagi pekerja yang terkena PHK. Situasi ini memerlukan perhatian serius dari pemerintah, termasuk intervensi langsung dari Presiden

Oleh : Subiyanto Pudin*

JERNIH– Awal Oktober 2024 lalu kita dikagetkan dengan pernyataan Airlangga Hartarto, menteri koordinator perekonomian di media online, yang meragukan data pemutusan hubungan kerja (PHK) pada September 2024 yang mencapai 53.000 orang. Menko Airlangga menduga angka PHK itu terlalu besar.

Pernyataan Menko tersebut didasarkan pada rendahnya tingkat penyerapan manfaat bantuan uang tunai dari program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Menurut Menko Airlangga, dari insentif sebesar Rp 1,2 triliun yang sudah disiapkan, penyerapannya ternyata masih sangat kecil. Padahal, dana tersebut seharusnya bisa dimanfaatkan oleh para pekerja yang terdampak PHK.

Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan, sejak peluncuran program JKP pada 2 Februari 2021 hingga awal Desember 2024, terdapat 13.222.291 peserta aktif. Angka ini mencakup 45,2 persen dari total peserta program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM) Pekerja Penerima Upah Badan Usaha (PPU BU) yang mencapai 29.252.307 orang menurut data Sistem Monitoring dan Evaluasi (Sismonev) Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) per akhir November 2024.

Dari peserta tersebut, hanya 111.640 orang yang menerima manfaat berupa uang tunai. Sebanyak 106.640 orang menerima manfaat akses informasi pasar kerja berupa asesmen karier, sementara 13.432 orang menerima layanan konseling. Manfaat pelatihan kerja hanya dirasakan oleh 237 orang, yang berarti hanya 0,2 persen dari penerima manfaat uang tunai. Dari jumlah penerima manfaat uang tunai tersebut, hanya 8.347 orang atau 7,5 persen yang kembali mendapatkan pekerjaan.

Permasalahan lebih serius terkait program ini adalah data pekerja yang terkena PHK yang masih belum akurat. Hal ini berdampak langsung pada data penerima manfaat JKP. Berdasarkan data yang dirilis Tempo, sepanjang sepuluh bulan terakhir pada 2024, yaitu dari Januari hingga Oktober, jumlah pekerja yang di-PHK mencapai sekitar 64.000 orang.

Angka ini mencakup 57,3 persen dari jumlah penerima manfaat uang tunai JKP, dengan jumlah tertinggi berada di Provinsi DKI Jakarta sebanyak 14.501 orang. Ketimpangan ini menunjukkan bahwa jumlah PHK yang tinggi tidak diimbangi dengan klaim bantuan uang tunai yang memadai. Padahal, program JKP dirancang sebagai bantalan perlindungan dari negara bagi pekerja yang terkena PHK.

Program JKP sendiri merupakan bagian dari sistem Jaminan Sosial Ketenagakerjaan yang dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan. Program ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2021 tentang JKP dan diluncurkan pada 2 Februari 2021.

Secara historis, kelahiran program ini merupakan salah satu upaya pemerintah untuk merespons perubahan substansial yang diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja. Salah satu perubahan penting adalah penghapusan kewajiban pengusaha untuk merundingkan rencana PHK dengan pekerja atau serikat pekerja. Perubahan ini meningkatkan fleksibilitas hubungan kerja namun sekaligus membuka peluang terjadinya penyalahgunaan oleh pihak pengusaha.

Peserta program JKP adalah pekerja Warga Negara Indonesia yang berusia di bawah 54 tahun, memiliki hubungan kerja dengan pemberi kerja, serta terdaftar dalam program jaminan sosial di BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Iuran program JKP berasal dari rekomposisi iuran JKK dan JKM serta kontribusi dari pemerintah. Program JKP memberikan tiga manfaat utama, yaitu santunan uang tunai selama enam bulan, akses informasi pasar kerja melalui Kemnaker RI, dan pelatihan kerja yang diselenggarakan oleh Balai Pelatihan Vokasi dan Produktivitas (BBPVP) di tingkat provinsi atau Balai Latihan Kerja (BLK) di tingkat kabupaten/kota.

Namun, implementasi program JKP masih menghadapi berbagai kendala. Salah satu masalah terbesar adalah ketidaksesuaian kebijakan program dengan filosofi awalnya. Sebagai contoh, Pasal 20 ayat (3) dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2021 mengecualikan pekerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dari manfaat JKP. Padahal, kebijakan JKP dirancang untuk mengatasi risiko hubungan kerja fleksibel, yang banyak dialami pekerja PKWT. Ketentuan ini dinilai diskriminatif karena pekerja PKWT juga diwajibkan mengikuti program jaminan sosial. Diskriminasi ini bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa semua warga negara memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum.

Problem Regulasi, Data, dan Anggaran
Masalah lainnya mencakup kekosongan regulasi yang mengatur interoperabilitas data antara BPJS dan kementerian/lembaga terkait, lemahnya penegakan hukum ketenagakerjaan, serta kurangnya koordinasi antara badan pelaksana pelatihan vokasi. Selain itu, bukti PHK masih bersifat manual, sehingga menyulitkan pekerja untuk mengakses hak mereka. Standar upah peserta BPJS Kesehatan yang berbeda dengan BPJS Ketenagakerjaan juga menjadi tantangan.

Standar minimal upah untuk iuran JKN di BPJS Kesehatan adalah sebesar upah minimum kabupaten/kota (UMK), sedangkan untuk program Jamsosnaker di BPJS Ketenagakerjaan hanya sebesar Rp 1 juta. Perbedaan ini menciptakan inclusion error dalam sistem peserta program JKN dan JKP.

Program pelatihan vokasi yang merupakan salah satu manfaat JKP juga menghadapi kendala anggaran. Anggaran pelatihan vokasi yang tersedia masih jauh dari standar pelatihan kompetensi yang diakui oleh Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Akibatnya, hasil pelatihan tidak memenuhi standar kompetensi yang dibutuhkan di pasar kerja, sehingga kurang diminati oleh peserta JKP. Studi oleh Syahrir et al. (2022) menegaskan, minimnya efektivitas pelatihan kerja disebabkan oleh kurangnya sinergi antara pelatihan yang diberikan dan kebutuhan pasar kerja.

Salah satu isu teknis yang juga menjadi perhatian adalah integrasi data antara BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Hingga kini, integrasi data tersebut masih dilakukan secara parsial menggunakan metode lama seperti File Transfer Protocol (FTP). Padahal, Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2020 mengamanatkan penggunaan database terpadu untuk penyelenggaraan program jaminan sosial yang lebih efektif dan efisien. Menurut Prasetyo (2023), penggunaan teknologi data berbasis cloud dapat meningkatkan efisiensi dan akurasi dalam pengelolaan data jaminan sosial.

Implementasi program JKP masih jauh dari harapan. Kompleksitas masalah yang ada mengindikasikan bahwa program ini belum mampu menjalankan perannya sebagai bantalan sosial bagi pekerja yang terkena PHK. Situasi ini memerlukan perhatian serius dari pemerintah, termasuk intervensi langsung dari Presiden, untuk mengatasi berbagai hambatan dan memastikan program JKP berjalan secara inklusif, efektif, dan efisien.

Tjandra et al. (2021) menegaskan, keberhasilan program jaminan sosial sangat tergantung pada komitmen pemerintah dalam memberikan perlindungan sosial yang merata dan berkualitas. Hanya dengan langkah-langkah tersebut, program ini dapat benar-benar memberikan perlindungan bagi pekerja sesuai dengan amanat konstitusi negara. [ ]

  • Dr.Subiyanto Pudin,S.Sos.,SH.,MKn.,CLA. Alumnus PDIH UNISSULA-Semarang, Dosen STIH Gunung Jati Kota Tangerang, Fungsionaris KSPSI, Anggota P3HKI, Anggota DJSN-Unsur Pekerja Periode 2014-2024, Advokat Peradi

Back to top button