Solilokui

Awan Gelap Resesi di Negeri yang Dikutuk “Penyakit Belanda”

Persoalannya, sementara gelombang PHK itu terjadi, pemerintah justru melakukan serangkaian kebijakan yang tidak pro-rakyat (miskin).  Rizal mengatakan, seiring meletusnya perang Ukraina, sementara inflasi umum ‘hanya’ mencatat angka lima persen, inflasi makanan sudah tercatat 11,5 persen. “Itu sebelum pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi. Setelah naiknya BBM, angka inflasi makanan itu bisa 15-an persen,” kata Rizal dalam wawancara tersebut.

Oleh   : Darmawan Sepriyossa

JERNIH–“Tahun depan bakal lebih gelap,”kata Presiden Jokowi, akhir September lalu. Bukan sekali itu ia mewanti-wanti kemungkinan buruk perekonomian dunia di tahun-tahun ke depan. Jokowi wajar risau. Dalam dunia yang kata futurolog Kenichi Ohmae sudah sudah berjalin berkelindan tanpa ada lagi batas—borderless world-, kecil kemungkinan Indonesia bisa lenggang kangkung tak kena dampak.

Darmawan Sepriyossa

Seolah memukul gong penegas, Menko Maritim dan Investasi, Luhut Panjaitan, menimpalinya dengan  menyebutkan bahwa yang siap menghadang di muka itu adalah “perfect storm“, sebuah badai sempurna yang kekuatannya mampu memo-rak-porandakan perekonomian Indonesia. Entah dapat dari mana istilah yang dipakai Menko Luhut itu. Yang paling mungkin, bisa saja ia terinspirasi film dengan judul sama manakala menonton di ruang keluarga. “Perfect Storm” yang dibintangi dua bintang besar Hollywood, Mark Wahlberg dan George Clooney, memang mengisahkan petaka yang diakibatkan badai besar.

Seberapa besar? Paling tidak kita bisa mengira-ngira dari apa yang dinyatakan mantan Menteri Keuangan Amerika Serikat sekaligus guru besar di Harvard Kennedy School, Larry Summers, saat menyebut tingkat risiko resesi ini di pasar global akan mirip kondisi tahun 2007, menjelang resesi hebat.”Ini bukan waktu para pemadam kebakaran (firefighters) bisa berlibur.”

Yang jelas, dalam artikelnya, “5 signs the world is headed for a recession“, situs berita CNN menulis,”While the consensus is that a global recession is likely sometime in 2023, it’s impossible to predict how severe it will be or how long it will last. Not every recession is as painful as the 2007-09 Great Recession, but every recession is, of course, painful. “Sementara ada konsensus bahwa resesi global kemungkinan terjadi pada tahun 2023, tidak mungkin untuk memprediksi seberapa parah atau berapa lama itu akan berlangsung. Tidak setiap resesi sama menyakitkannya dengan Resesi Hebat 2007-09. Yang jelas, setiap resesi tentu saja menyakitkan.”

Untuk Indonesia, ekonom senior Universitas Indonesia dan mantan Menteri Keuangan, M Chatib Basri, mengemukakan hal yang lebih optimistis. “Perkiraan saya, dampak resesi global terhadap Indonesia tak akan seburuk dampaknya pada Singapura, Korea Selatan, Taiwan, atau negara yang berorientasi ekspor,” tulisnya dalam sebuah artikel, Agustus lalu. Optimisme yang sama kembali ia gaungkan pada tulisan terbarunya di sebuah koran nasional, 12 Oktober lalu. Artinya, meski pada kondisi normal hal itu jelas kurang menguntungkan, di tengah angin puyuh resesi yang mulai berembus, fakta itu seolah blessing in disguise atawa berkah terselubung.

“Kita diuntungkan oleh kurang terintegrasinya kita pada ekonomi global, sesuatu yang sebetulnya tak kita inginkan,” tulis Chatib. “Tentu kita harus adil, integrasi yang terbatas pada ekonomi global membuat kita juga nantinya akan pulih lebih lambat ketika ekonomi global pulih.”

Namun, kalau pun prediksi mengatakan resesi baru akan menghantam pada 2023, sejatinya Indonesia telah mengalami gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) sejak tahun lalu. Kompas.com pada 30 September lalu menulis,” “Ada Gelombang PHK, Klaim JHT Meningkat Sebanyak 2,2 Juta Pekerja”, disusul “Di DKI Jakarta Ada 395.866 Pekerja Kena PHK Telah Mengklaim JHT” pada 5 Oktobver lalu. Berita tersebut menyatakan bahwa selama Januari hingga Agustus saja telah terjadi peningkatan pengangguran sebesar 49 persen atau lebih dari satu juta jiwa, secara nasional.

Persoalannya, sementara gelombang PHK itu terjadi, pemerintah justru melakukan serangkaian kebijakan yang tidak pro-rakyat (miskin).  Seperti dikemukakan mantan Menko Perekonomian era Gus Dur, Rizal Ramli, dalam wawancaranya di kanal You Tube Refly Harun, yang diunggah 12 Oktober lalu. Pada konten berjudul huruf besar—kami menggantinya dengan huruf selayaknya—“Ke Mana Jokowi? Rizal Ramli Bongkar Ekonomi Indonesia: Pemerintah Sadis! Pemiskinan Massal Ini!”, Rizal mengatakan, seiring meletusnya perang Ukraina, sementara inflasi umum ‘hanya’ mencatat angka lima persen, inflasi makanan sudah tercatat 11,5 persen. “Itu sebelum pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi. Setelah naiknya BBM, angka inflasi makanan itu bisa 15-an persen,” kata Rizal dalam wawancara tersebut.

Yang membuat Rizal tampak geram saat mengatakannya, menurut Rizal, di sisi lain pemerintah benar-benar membatasi kenaikan upah yang rata-rata hanya boleh naik 0,3 persen. Belum lagi pemerintah pun tak hanya menaikkan BBM, melainkan selama tahun ini tarif dasar listrik (TDL) pun naik, sementara beban pajak kian menekuk rakyat. “Semua itu pasti akan memberatkan rakyat,” kata Rizal Ramli. “Ini (bisa dikatakan) program pemiskinan massal!”

Ukuran kesulitan tersebut barangkali bisa merujuk hasil survey Mekari Contextual Financial Services (CFS), yang melakukan survei mengenai keterkaitan antara kesejahteraan finansial karyawan dengan produktivitas kerja. Dalam “Mekari Whitepaper: Laporan Kesejahteraan Finansial Karyawan Indonesia 2022” yang bisa diunduh bebas di dunia maya, dikatakan, survey Mekari terhadap 5.500 karyawan dari 300 perwakilan divisi SDM, menunjukkan bahwa 74 persen karyawan telah mengalami kemerosotan daya beli. Sebanyak 61 persen dari mereka tidak mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari, dan hanya 15 persen yang mengaku masih mampu bertahan jika terjadi PHK.

‘Penyakit Belanda’

Anggaplah kita sepakat dengan Chatib Basri bahwa paling banter, sementara negara-negara lain mengalami resesi ekonomi, Indonesia paling hanya ketiban perlambatan ekonomi. Tapi itu pun harus dengan tetap berpegang pada apa yang dikatakan pemenang Nobel Ekonomi tahun 1970, Paul Samuelson, yang bukunya dipakai sebagai buku ajar mahasiswa jurusan ekonomi semester awal hampir seluruh perguruan tinggi di Indonesia.

What we know about the global financial crisis is that we don’t know very much,” kata Samuelson, dengan rendah hati. Sejatinya, itu merujuk ‘mahaguru’nya, John Maynard Keynes, yang pada ‘abad sebelumnya’ mengatakan hal yang persis sama. ”Kenyataan yang sangat menonjol,” tulis Keynes, ”adalah sangat guyah-lemahnya basis pengetahuan yang mendasari perkiraan yang harus dibuat tentang hasil yang prospektif.” Sebagai manusia, kita kadang sering berasumsi bahwa masa depan akan seperti masa lalu. Dengan rendah hati, penulis “The General Theory of Employment, Interest, and Money” itu mengaku bahwa ilmu ekonomi, hanyalah ”teknik yang cantik dan sopan” yang mencoba berurusan dengan masa kini, dengan menarik kesimpulan dari fakta bahwa kita sebetulnya hanya tahu sedikit tentang kelak.

Namun tentu saja, ketidaktahuan akan masa depan itu justru harus senantiasa membuat kita waspada pada contoh-contoh yang tak layak diacu dari masa lalu. Misalnya, tampaknya Indonesia masih mengidap Dutch Disease alias penyakit Belanda. Ini sebuah istilah yang banyak digunakan kalangan ekonom untuk menggambarkan imbas pertumbuhan sektor pertambangan atau komoditas pada perekonomian suatu negara. Istilah itu merujuk peristiwa penemuan cadangan gas di Groningen, Belanda, yang justru menimbulkan guncangan terhadap kinerja sektor manufaktur di Negeri Kincir Angin. Ada rasa bahwa semua temuan itu menjadi penyangga penuh ekonomi negeri.

Indonesia, dalam sejarahnya pernah terhinggapi kutukan tersebut. Juga saat ini. Paling tidak, data terakhir menunjukkan, pada tahun 2022, baik kuartal 1 maupun kuartal 2, kontribusi sektor manufaktur terus menurun. Bahkan, kalau melihat kinerja sektor manufaktur selama kuartal 2/2022, anjlok hingga di angka 17,84 persen.  Capaian kinerja sektor manufaktur ini terendah selama lima tahun terakhir, dan bagi sementara ekonom tren penurunan kinerja manufaktur selama kuartal 2 lima tahun terakhir ini sudah merupakan warning. Sebagai perbandingan, pada kuartal 2/2017, sektor manufaktur mampu berkontribusi ke PDB sebanyak 20,27 persen. Setahun kemudian, kontribusi sektor manufaktur mulai turun menjadi 18,8 persen hingga akhirnya tersisa 17,84 pada kuartal 2/2022.

Pada sisi yang lebih ekstrem, itu seperti ungkapan  “kutukan sumber daya alam” (curse natural resource) yang dipopulerkan ekonom Richard Authy di awal 1990-an lalu. Alih-alih jadi negara kaya, negara dengan sumber daya alam berlimpah justru hanya jadi korban bancakan negara kaya, sementara negara dan warganya sendiri tetap saja miskin.

Tampaknya, pemerintah kembali harus diingatkan melalui apa yang pernah Keynes lakukan. Di halaman Wall Street Journal edisi tahun 2009, penulis AS, David Boaz, menulis anekdot tentang apa yang dilakukan John Maynard Keynes pada sebuah makan malam resmi di tahun 1934. Alih-alih memakai satu lap tangan, Keynes malah meraup tumpukan lap tangan, meremasnya hingga terlihat telah digunakan. Itu cara dia untuk menegaskan bahwa saat itu pemerintah AS jangan ragu untuk “menciptakan pekerjaan” yang sangat diperlukan kala itu.

“Orang-orang Keynesian dapat berbuat baik dengan membocorkan ban mobil, merobohkan tembok, menggali jalan, menghancurkan mesin ATM, dan memecahkan jendela, semuanya atas nama merangsang ekonomi,” tulis Boaz saat itu.  Artinya, di masa seperti ini, pemerintah sebaiknya memakai tenaga kerja dalam negeri. Apalagi untuk beberapa pekerjaan kasar. Jangan justru mengutamakan tenaga kerja asing, sebagaimana tudingan selama ini. Tapi, semoga saja itu tidak benar. [Inilah.Com]

Back to top button