Menua di Rumah
Budaya kita menghargai para lansia dengan sangat baik. Tetapi — sayangnya — hanya dalam hal budaya. Karena jika ditinjau dari praktik perlindungan dan perawatan, kita masih kalah jauh dari negara maju, atau bahkan dari negara tetangga.
Oleh : Agus Kurniawan
JERNIH– Suatu sore saya menerima telepon Ibu, “Gus, kamu sementara nggak usah kirim duit. Penghasilanku masih cukup.” Usia Ibu 71 tahun. Berprofesi sebagai dukun bayi, di lereng Gunung Andong, Kabupaten Magelang.
Bulan Desember tahun 1991, PBB mempublikasikan resolusi bernomor 46/91 tentang lima prinsip memuliakan lansia (orang lanjut usia). Prinsip seperti perlindungan dan perawatan sudah banyak kita pahami. Yang “agak” baru adalah pengakuan hak para lansia:
– untuk menentukan hidupnya sendiri.
– diperlakukan sebagai sosok manusia utuh (bukan orang yang sudah tidak berguna).
– dihormati sebagai manusia mandiri dan produktif (bukan beban keluarga).
Sebelumnya kita memang sering berstigma tentang lansia. Mereka diperlakukan sebagai sosok yang sudah tidak berguna. Hidupnya bergantung pada yang muda. Dan — lebih jauh lagi — menjadi beban keluarga. Masyarakat — umumnya di negara maju — ujungnya menempatkan mereka di tempat yang para lansia sendiri tak menginginkan, misalnya panti wreda. Atau jika ikut keluarga, mereka ditempatkan di kamar afkiran. Tentunya ini bisa masuk ranah diskriminasi.
Para penggiat pemuliaan lansia di negara maju mulai merumuskan berbagai konsep. Salah satunya yang disebut “Ageing in Place“, atau menua di rumah. Ringkasnya, para lansia memiliki hak sepenuhnya untuk menentukan di mana dia harus menjalani masa tuanya (misalnya di rumah) dan hak-hak lain yang berkaitan dengan perlindungan dan perawatan.
Lho itu bukan hal yang aneh bagi kita? Betul. Suatu riset internasional memang menempatkan Indonesia pada posisi yang tinggi dalam budaya memuliakan lansia. Budaya kita menghargai para lansia dengan sangat baik. Tetapi — sayangnya — hanya dalam hal budaya. Karena jika ditinjau dari praktik perlindungan dan perawatan, kita masih kalah jauh dari negara maju, atau bahkan dari negara tetangga.
Sikap luhur ini berasal dari tradisi turun temurun. Bagi masyarakat Muslim, para lansia bahkan menempati posisi terhormat. Dalam ajaran Rasulullah Muhamad SAW, memuliakan lansia — khususnya orang tua kandung — adalah keutamaan yang bernilai tinggi. Secara kultural, restu mereka bahkan dihargai secara sakral.
Ibu saya tentu saja senang jika kami — anak-anaknya — memberikan perlindungan dan perawatan. Tetapi beliau lebih bahagia jika mampu mencukupi diri sendiri. Sebab, manusia akan merasa utuh (fulfilled) ketika tidak menjadi beban tanggungan orang lain, termasuk keluarganya.[ ]
goeska@gmail.com