
Italia berhasil menekan kekuatan mafia dengan instrumen perampasan aset. Melalui Anti-Mafia Code (1982), negara dapat menyita properti, bisnis, dan aset keuangan tanpa harus menunggu putusan pidana. Menurut laporan Direzione Investigativa Antimafia (DIA), mekanisme ini melemahkan jaringan kriminal dengan memutus “urat nadi” ekonominya. Properti yang disita bahkan dialihkan untuk kepentingan sosial, seperti sekolah atau pusat kesehatan masyarakat.
Oleh : Radhar Tribaskoro
JERNIH– Korupsi telah lama diakui sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang merusak sendi-sendi negara. Di Indonesia, meskipun terdapat instrumen hukum seperti Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) dan keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), praktik korupsi masih mengakar. Salah satu kelemahan utama adalah tidak adanya Undang-Undang Perampasan Aset, yang memungkinkan negara secara efektif mengambil kembali hasil kejahatan.
Ketika koruptor dipenjara, harta yang dicuri seringkali tetap aman—baik melalui nominee, warisan, maupun mekanisme pencucian uang. Situasi ini memperlemah efek jera (deterrent effect) dan menimbulkan paradoks hukum: pelaku dihukum, tetapi kejahatan tetap memberi keuntungan. Esai ini akan membahas pentingnya UU Perampasan Aset dari perspektif ekonomi, politik, sosial-budaya, dan hak asasi manusia (HAM), dengan menampilkan sejumlah studi kasus internasional sebagai pembanding.
1. Aspek Ekonomi: Mengembalikan Aset dan Menutup Kebocoran
Korupsi pada hakikatnya menciptakan leakage dalam sistem keuangan negara. Menurut World Bank, setiap tahun dunia kehilangan lebih dari USD 1 triliun akibat korupsi[^1]. Di Indonesia, KPK memperkirakan potensi kerugian negara akibat praktik ini mencapai ratusan triliun rupiah per tahun[^2].
UU Perampasan Aset memungkinkan penerapan non-conviction based asset forfeiture, yakni mekanisme penyitaan tanpa perlu menunggu putusan pidana. Hal ini penting karena:
– Memulihkan kerugian negara lebih cepat, mengingat proses hukum pidana sering berlarut.
– Mencegah reinvestasi dana haram ke dalam politik dan bisnis.
– Meningkatkan kepercayaan investor, karena negara menunjukkan ketegasan terhadap integritas ekonomi.
Studi Kasus: Italia berhasil menekan kekuatan mafia dengan instrumen perampasan aset. Melalui Anti-Mafia Code (1982), negara dapat menyita properti, bisnis, dan aset keuangan tanpa harus menunggu putusan pidana. Menurut laporan Direzione Investigativa Antimafia (DIA), mekanisme ini melemahkan jaringan kriminal dengan memutus “urat nadi” ekonominya[^3]. Properti yang disita bahkan dialihkan untuk kepentingan sosial, seperti sekolah atau pusat kesehatan masyarakat.
Studi Kasus:. Hong Kong, melalui Independent Commission Against Corruption (ICAC), menerapkan asset recovery agresif. Tidak hanya pejabat yang dihukum, tetapi juga kerabat atau rekanan bisnis yang terbukti menerima limpahan dana korupsi. Hasilnya, Hong Kong berhasil berubah dari negara dengan tingkat korupsi tinggi pada 1970-an menjadi salah satu yurisdiksi dengan tata kelola bersih di Asia[^4].
2. Aspek Politik: Legitimasi dan Demokrasi
Korupsi merusak legitimasi politik. Ketika pejabat yang dihukum tetap bisa hidup mewah, rakyat kehilangan kepercayaan terhadap negara. UU Perampasan Aset berfungsi mengembalikan legitimasi itu, karena hukum tidak hanya menghukum individu tetapi juga meruntuhkan basis ekonomi oligarki.
Studi Kasus: Singapura dikenal dengan kebijakan zero tolerance on corruption. Melalui Corruption, Drug Trafficking and Other Serious Crimes (Confiscation of Benefits) Act (CDSA), pemerintah bisa menyita aset hasil kejahatan lintas sektor, termasuk korupsi. Politik Singapura relatif stabil karena modal politik tidak bergantung pada hasil kejahatan, melainkan pada integritas dan meritokrasi[^5].
Bagi Indonesia, penerapan UU Perampasan Aset akan:
– Melemahkan politik uang, karena sumber pendanaan ilegal diputus.
– Mengurangi patronase politik, yang selama ini dibiayai oleh hasil korupsi.
– Meningkatkan legitimasi demokrasi, sebab rakyat melihat negara berpihak kepada kepentingan publik.
3. Aspek Sosial-Budaya: Transformasi Norma Publik
Di banyak daerah di Indonesia, koruptor masih bisa dihormati karena mampu “berbagi” hasil jarahan. Fenomena ini menunjukkan adanya cultural acceptance of corruption[^6]. UU Perampasan Aset dapat berperan sebagai instrumen perubahan norma sosial.
Dengan perampasan aset:
– Masyarakat menyaksikan bahwa hasil korupsi adalah aib, bukan berkah.
– Aset yang disita dapat dialokasikan kembali untuk publik, misalnya program beasiswa, rumah sakit gratis, atau pembangunan fasilitas umum.
– Generasi muda tumbuh dalam budaya politik baru yang lebih menekankan integritas.
Studi Kasus. Dalam melawan kartel narkoba, Colombia menggunakan perampasan aset untuk mengurangi glorifikasi terhadap kriminal kaya. Rumah mewah Pablo Escobar, misalnya, diubah menjadi taman publik. Efek simbolis ini penting untuk meruntuhkan imajinasi sosial bahwa hasil kejahatan dapat membawa status sosial[^7].
4. Aspek HAM: Korupsi sebagai Pelanggaran Hak Asasi
Korupsi bukan sekadar pelanggaran hukum, melainkan juga pelanggaran HAM struktural. Rakyat miskin kehilangan hak atas kesehatan, pendidikan, dan kehidupan layak karena anggaran dialihkan untuk memperkaya segelintir elite[^8].
Dengan UU Perampasan Aset:
– Hak korban kolektif (rakyat) dipulihkan melalui alokasi kembali aset hasil korupsi.
– Negara menunjukkan komitmen pada prinsip keadilan sosial sebagaimana dijamin dalam konstitusi.
– Perlindungan HAM lebih bermakna, karena rakyat menikmati pemulihan nyata, bukan sekadar janji hukum.
Studi Kasus: Afrika Selatan mengadopsi Prevention of Organised Crime Act (POCA), yang memungkinkan perampasan aset hasil state capture. Dalam kasus skandal Gupta, mekanisme ini menjadi simbol perlawanan negara terhadap praktik korupsi sistemik yang merampas hak-hak dasar warga miskin[^9].
Sebuah Keniscayaan
UU Perampasan Aset adalah instrumen yang tak terelakkan bila Indonesia serius membasmi korupsi. Dari perspektif ekonomi, ia menutup kebocoran dan mengembalikan aset publik. Dari perspektif politik, ia memperkuat legitimasi demokrasi dan melemahkan oligarki. Dari aspek sosial-budaya, ia menumbuhkan norma baru anti-korupsi. Dari aspek HAM, ia menjamin hak rakyat atas keadilan sosial.
Studi kasus dari Italia, Hong Kong, Singapura, Kolombia, dan Afrika Selatan menunjukkan bahwa perampasan aset efektif dalam memutus mata rantai kejahatan, melemahkan oligarki, dan mengubah budaya politik. Indonesia perlu segera mengadopsi undang-undang serupa agar tidak terus terjebak dalam paradoks: menghukum pelaku tetapi membiarkan hasil korupsi tetap beredar.
Korupsi adalah kejahatan luar biasa. Karena itu, UU Perampasan Aset adalah keniscayaan—sebuah langkah maju menuju demokrasi yang sehat, ekonomi yang bersih, budaya yang berintegritas, dan penghormatan penuh terhadap hak asasi rakyat. [ ]