Satu hal yang mengemuka dari debat tersebut, sebagian warga Malaysia yang dalam debat direpresentasikan Mujahid Yusof, tidak hanya mempertanyakan mengapa pengurus TH harus menjual atau menggadaikan banyak asset, termasuk empat hotel terkemuka di lokasi strategis serta lebih dari 6.400 hektare ladang kelapa sawit, melainkan tuduhan bahwa TH sudah sangat dipolitisasi untuk kepentingan rejim yang tengah berkuasa.
Oleh : Darmawan Sepriyossa
JERNIH—Urusan lebih hijaunya rumput tetangga ternyata tak semata berkaitan dengan apa yang selama ini lebih sering dipergunjingkan: soal istri atau pasangan berumah tangga. Pada segala hal, ternyata pemeo lama itu berlaku pula.
Biasanya semua berkaitan dengan terbatasnya pengetahuan dan kurangnya data. Hingga,–ibaratnya, akibat jauhnya jarak pandang dan terhalang pagar, sementara mata mulai dihinggapi miopi, yang biasa pun bisa terlihat extra-ordinary.
Misalnya, bagaimana kita orang Indonesia melihat lembaga Tabung Haji Malaysia. Banyak kabar yang benar tentang lembaga yang layak kita jadikan benchmark atau tolok ukur itu. Tetapi sebagian lainnya mungkin hanya mitos. Dan memang demikian layaknya, mitos atau legenda yang maya senantiasa lebih bersinar daripada fakta.
Paling tidak hingga tahun lalu, manakala persoalan Tabung Haji (TH) mencuat jadi salah satu isu paling penting di negeri jiran ini. Seolah menghadirkan perang tanding kata-kata yang fenomenal antara John F Kennedy dan lawannya Richard M. Nixon dalam kontestasi kursi presiden AS tahun 1960, debat terbuka itu berlangsung panas di bawah tatapan hampir sejuta pasang mata warga Malaysia via layar tv mereka. Sejuta lainnya mengikuti via Facebook. Bedanya, yang menggantikan Kennedy – Nixon adalah Datuk Seri Dr Mujahid Yusof—mantan menteri agama, dan Datuk Seri Azeez Rahim, mantan pimpinan TH. Sementara wartawanTan Sri Johan Jaaffar bertindak seolah Howard K. Smith sebagai moderator debat panas tersebut.
Debat itu wajar mendapatkan atensi berlimpah dari publik Malaysia. Bagi mereka, TH tak hanya lembaga nasional yang membanggakan, dengan nama harum yang meruap ke seantero dunia. Yang lebih utama, TH adalah lembaga yang membuat mimpi setiap warga Malaysia yang Muslim untuk pergi haji menjadi nyata dan teralami. Dan itu pula yang menjadi alasan utama mengapa lembaga kebanggaan Malaysia itu berdiri.
Sejarah berdirinya TH bermula dari keprihatinan Prof Diraja Ungku Abdul Aziz. Pada awal 1950-an itu, Ungku Aziz melihat meluapnya minat warga Muslim Malaysia untuk berhaji. Namun hal itu terkendala, terutama karena tidak akrabnya mereka dengan system perbankan. Warga yang berkecukupan umumnya menabung di bawah Kasur, dalam bantal atau bumbung bambu di rumah mereka. Sementara golongan yang lebih papa atau kalangan yang kurang sabar dengan gampang diiming-imingi lintah darat untuk diberi pinjaman keberangkatan. Tak tanggung-tanggung, bunganya bisa 100 persen hingga 200 persen setahun!
Karena masih kuatnya kepercayaan publik bahwa bank itu lembaga riba, pada 1959 Ungku Aziz menyodorkan ide membentuk TH kepada pemerintah Malaysia. Idenya, lembaga itu adalah sebuah institusi keuangan untuk mengelola sumber-sumber tabungan haji warga, tanpa berdasarkan riba, tetapi dengan cara investasi-investasi yang tidak bertentangan dengan syariat Islam, sekaligus mampu memberi keuntungan yang akan dikembalikan kepada tabungan mereka. Lama mengalami penajaman, lembaga itu baru berdiri resmi pada 1963.
Singkatnya, TH kemudian berkembang fenomenal. Ia menjadi acuan banyak negara berpenduduk mayoritas Islam. Penelitian Nurhasanah dari Universitas Islam Negeri Jakarta,” Tabung Haji Malaysia dalam Perspektif Ekonomi”, menuliskan, bila pada saat pendirian di tahun 1963, tabungan TH hanya sekitar RM 46.610 yang didapat dari 1.281 jamaah haji Malaysia, pada 2007 saja investasinya di bidang ekuitas sudah mencapai hampir RM 7,6 miliar, dan mendominasi alokasi asset lebih kurang 44 persen. Dengan jumlah investasi yang besar ini, TH memegang saham di 161 buah perusahaan yang terdaftar, 25 perusahaan yang tidak terdaftar merupakan perusahaan subsidiari. Keuntungan dari penanaman saham dalam tahun 2007 itu telah menunjukkan peningkatan sebanyak RM 750 juta atau 155 persen disbanding tahun sebelumnya. Sementara dari pendapatan deviden dan profit pemilikan saham, tahun itu TH mengeruk RM 279,8 juta.
Angka yang lebih mutakhir diperoleh dari media Malaysia, Sinar Harian. Media tersebut menyatakan, sampai 2017 TH mengurus dana haji 9,3 juta jamaah, meliputi dana sebesar RM 73 miliar—atau kalikan dengan 3.414 untuk mendapatkan angkanya dalam rupiah.
Data itu saya angkat untuk menjelaskan mengapa kemudian Malaysia sontak panas manakala terjadi kisruh pada tabung haji, yang berujung debat keras pada Agustus 2020 itu. Sejalan dengan itu, pemerintah Malaysia pun kemudian membentuk Komisi Penyelidikan Kerajaan (RCI), untuk menyelidiki berbagai kisruh keuangan TH, terutama seputar penjualan asset-aset perusahaan tersebut.
Satu hal yang mengemuka dari debat tersebut, sebagian warga Malaysia yang dalam debat direpresentasikan Mujahid Yusof, tidak hanya mempertanyakan mengapa pengurus TH harus menjual atau menggadaikan banyak asset, termasuk empat hotel terkemuka di lokasi strategis serta lebih dari 6.400 hektare ladang kelapa sawit, melainkan tuduhan bahwa TH sudah sangat dipolitisasi untuk kepentingan rejim yang tengah berkuasa.
Misalnya, Mujahid mempertanyakan mengapa TH harus memperjudikan nasib jamaah haji tahun-tahun mendatang dengan memberikan subsidi haji sekitar RM 300 juta per tahun. Bagi dia, dengan kian muramnya bisnis, nasib jamaah haji ke depan belum tentu seuntung jamaah haji tahun-tahun sebelumnya, yang mendapatkan subsidi hampir RM 15 ribu per orang.
Belum lagi, kata Mujahid, TH yang diyakininya menjalankan ‘perintah’ pemerintah yang berkuasa, memberikan hibah itu pada saat yang bisa mempengaruhi pilihan politik warga. Ia mencontohkan, pada 2018 TH membayarkan hibah haji pada bulan Februari. “Pada waktu itu nak dekat pilihan raya (Pemilu). Mereka keluarkan dua kali hibah. Mana pernah orang beri dua kali hibah?” kata Mujahid menyerang. Dalam perhitungannya, hibah itu sejatinya bahkan tak boleh dikeluarkan, mengingat “tidak padan” dengan keuntungan. “Kasih hibah tinggi, tetapi bisa bikin haji tidak sustainable kerana hibah itu tidak padan dengan untung yang TH dapat.”
Barangkali uraian di atas terlalu menyederhanakan masalah, bahkan simplistis. Tetapi jhelas, ada persoalan besar dalam pengelolaan TH.
Persoalannya, mengingat TH pun menjadi semacam benchmark bagi manajemen haji di banyak negara Muslim, termasuk Indonesia, tak ada salahnya kita bertanya, apakah Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) pun tidak mengalami persoalan serupa? Sangat boleh jadi, di tengah situasi investasi yang dipenuhi mendung akibat pandemi COVID-19, hal-hal yang dialami TH sebenarnya merupakan persoalan yang juga dialami sekian banyak perusahaan pengelola keuangan.
Satu hal yang membuat TH lebih mending—jika kita membandingkannya dengan BPKH, misalnya—lembaga pengelola dana haji Malaysia itu didukung penuh APBN Malaysia. Sementara BPKH, kita tahu tidak.
Sebenarnya banyak pembeda yang menegaskan bahwa dalam hal kelincahan bermanuver ekonomi, mengambil keputusan terbaik dan hal-hal yang berkaitan dengan otoritas lainnya, TH justru lebih banyak punya keuntungan dibanding BPKH.
Sementara TH adalah badan superior dalam keuangan syariah Malaysia, BPKH masih harus berkoordinasi dengan Kemenag yang berada di bawah Presiden. Posisi yang membuat BPKH seolah hanya menjadi juru bayar dalam pembiayaan haji.
Bila TH mendapatkan banyak pengecualian pajak, hal itu masih menjadi mimpi yang pasti menghantui para pimpinan BPKH, karena lembaga itu masih merupakan objek pajak. “Pajak BPKH minimal di atas Rp 1 triliun per tahun,” kata sebuah sumber di BPKH.
Di sisi kelincahan mengambil keputusan strategis manakala terjadi turbulensi dalam perekonomian pun TH bisa lebih gesit. TH jelas-jelas sebuah korporasi, sementara BPKH badan nirlaba.
Kalau mau mengutip syair lagu Rhoma Irama,”..Dan banyak lagi yang lainnya…” yang membuat BPKH mungkin bisa dipandang lebih ringkih dibanding sejawat dan seniornya dari Malaysia itu. Selebihnya, tentu saja kita harus senantiasa memanjatkan doa. [ ]