SolilokuiVeritas

Mulang Tarima yang Tertolak: Testimoni atas Budaya Feodal di Balik Pemilihan MWA UNPAD

Urang Sunda makin feodal, panutannya masih pejabat pejabat. Orang dihargai jika punya jabatan. Penghamba jabatan. Sementara saya tidak suka jadi pejabat dan lebih memilih memberi manfaat bagi banyak orang tanpa harus punya jabatan. Moal payu di Sunda mah, hehe.

JERNIH– Ada satu hal yang membuat saya selalu menghargai Kang Syarif Bastaman: ketegasan sikapnya ketika melihat sesuatu yang tidak selaras dengan integritas. Dalam proses penjaringan Majelis Wali Amanat (MWA) Unpad, beliau datang membawa niat sederhana—mulang tarima ka Unpad—dengan gagasan besar dan kesediaan memberi kontribusi nyata. Namun apa yang ditemuinya justru memperlihatkan tanda-tanda bahwa ruang itu tidak benar-benar dibuka untuk adu gagasan, melainkan diduga sudah diarahkan sejak awal.

Testimoni Kang Syarif berikut bukan keluhan dan bukan pula kekecewaan personal; ini adalah catatan penting untuk kita semua: tentang bagaimana sebuah universitas menilai kapasitas, menakar masa depan, dan memperlakukan orang-orang yang datang dengan niat baik. Karena itu saya merasa perlu menuliskannya, agar publik mendapatkan gambaran yang jernih tentang apa yang sebenarnya terjadi. [dsy]

Berikut kesaksian lengkap Kang Syarif Bastaman:

“Soal MWA, saya dengar selentingan bahwa orang yang akan dipilih sudah di-setting sebelumnya. Karena itu saya memilih untuk tidak masuk, sebab yang dibutuhkan adalah dukungan pemerintah pusat dan perlindungan hukum. Sementara yang saya tawarkan adalah konsep bisnis berbasis free carried atau hibah saham.

Saya melihat ini sebagai kesempatan baik untuk mulang tarima ka Unpad. Saya berniat menghibahkan sebagian dari beberapa bisnis saya yang berpotensi menghasilkan keuntungan triliunan rupiah secara cuma cuma, untuk membawa nama Unpad menjulang melalui bisnis berbasis teknologi dan inovasi tinggi, tentu dengan menerapkan prinsip good governance yang ketat. Tapi tampaknya Unpad tidak membutuhkan hal tersebut, sehingga saya menyadari bahwa saya bukan figur yang mereka cari.

Situasinya mirip dengan (majalah) Mangle. Saya juga tidak akan melanjutkannya karena perbedaan persepsi terlalu jauh, teu bisa nyambung. Setidaknya saya merasa reugreug karena pernah memberi kontribusi, dan secara mental serta etika saya tidak merasa punya hutang lagi kepada urang Sunda. Lunas.

Urang Sunda makin feodal, panutannya masih pejabat pejabat. Orang dihargai jika punya jabatan. Penghamba jabatan. Sementara saya tidak suka jadi pejabat dan lebih memilih memberi manfaat bagi banyak orang tanpa harus punya jabatan. Moal payu di Sunda mah, hehe.

Alasan saya tertarik membantu Unpad adalah karena saya melihat tagline yang memuat kata “berdampak”. Kata itu dahsyat dan menjadi pedoman hidup saya di usia sekarang. Namun setelah melihat langsung, tampaknya mereka belum memahami makna terdalam dari kata “berdampak”. Cetek pisan.

Saya hanya merasa kecewa karena datang untuk dipermalukan. Kalau memang ingin adu gagasan, berikan waktu yang layak. Lima belas menit bisa apa? Apa yang bisa Anda ketahui tentang seseorang hanya dengan mendengar lima belas menit? That is embarrassing. Semua sudah terlihat pre-arranged, dan budaya seperti inilah yang membuat bangsa kita, komo Unpad mah, moal maju.

Unpad belum sadar bahwa universitas sebagai lembaga formal sebentar lagi menjadi irrelevance jika tidak mampu menyesuaikan diri dengan tantangan zaman. Sumber pengetahuan dan keterampilan sudah tersebar di mana mana, dan kita dihadapkan pada ancaman AI dan robotics. Masih sare keneh wae? Sunda anu bakal tumpur amun Unpad masih kieu keneh. IPM Jabar paling rendah di Indonesia. Wake up!

Keinginan saya sederhana. Saya ingin Unpad menjadi lokomotif dan center of excellent bagi bangsa Sunda agar tidak punah. Sejarah mencatat ribuan bangsa hilang dari muka bumi, dan Sunda bisa menjadi berikutnya jika tidak digawekeun. Sunda bukan kata benda, tapi kata kerja. Amun teu digawekeun nya paeh.

Anggap ini tantangan terbuka: bagaimana Unpad harus dikelola agar dapat menjadi lokomotif peradaban. Jika penjaringan calon MWA mau dilakukan secara proper, berikan waktu setiap calon memaparkan gagasan dan berdiskusi minimal dua jam, dengan syarat para guru besar juga siap bertanya dan melakukan pendalaman akademik secara serius, lalu menilai berdasarkan kualitas gagasan dan visi, bukan hal lain.

[Syarif Bastaman, Pemilik Syabas Energy; Calon anggota MWA Unpad]

Check Also
Close
Back to top button