Negara Agraris, Becerminlah Kepada Israel
Mendengung-dengungkan rencana pencetakan lahan sawah baru, seraya membiarkan sawah subur alih fungsi, merupakan sebuah ilusi yang tak rasional. Apalagi punya perasaan, untuk kebutuhan pangan toh bisa dengan mengimpor.
Oleh : H. Usep Romli HM
Indonesia pernah menyandang predikat “negara agraris”, namun nasib petaninya tidak menggembirakan. Apalagi pada masa gelegak wabah Corona sekarang. Mereka tak lagi punya ketahanan pangan. Bahkan paling rawan terancam kekurangan pangan selama masa PSBB dan “stay at home”.
Ini akibat langsung dari alih-fungsi lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian, terutama industri dan perumahan. Bahkan ada beberapa daerah kabupaten (antara lain Garut), yang memaksakan diri mengubah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Dari semula kawasan konservasi, menjadi kawasan industri. Karena anggapannya, penghasilan dari industri lebih besar dan lebih cepat daripada hasil pertanian.
Sebuah anggapan yang amat salah. Dalam percaturan “Masyarakat Ekonomi Asean” (MEA) saat ini, Vietnam dan Thailand berada jauh di depan, meninggalkan negara-negara lain di garis start. Andalan mereka adalah hasil pertanian. Bukan hasil industri.
Vietnam dan Thailand tahu diri. Hasil industri mereka masih kelas “ecek-ecek”. Persis seperti Indonesia, yang hanya berskala “maklum”. Pesanan dari investor, yang di negaranya sendiri sudah menolak jenis industri tak ramah lingkungan, seperti pabrik tekstil dan sepatu, yang limbahnya merusak sungai dan habitat flora dan fauna di sekitarnya.
Alih fungsi lahan subur, menjadi lahan non-pertanian, sekarang sudah lepas kendali. Mendengung-dengungkan rencana pencetakan lahan sawah baru, seraya membiarkan sawah subur alih fungsi, merupakan sebuah ilusi yang tak rasional. Apalagi punya perasaan, untuk kebutuhan pangan toh bisa dengan mengimpor.
Dalam menghargai petani dan lahan pertanian, mungkin kita harus belajar kepada Israel. Negara Zionis Yahudi, terkenal sebagai negara militer. Pernah mengalami perang besar melawan negara-negara Arab tahun 1948 (perang kemerdekaam), 1956 (krisis Terusan Suez), 1967 (perang “Enam Hari”), dan 1973 (perang “Yom Kipur). Pernah juga melakukan agresi ke negara-negara tetangga, seperti tahun 1962 dan 2006 menyerbu Lebanon. Tahun 2008 menyerang Jalur Gaza.
Tapi sebenarnya, Israel, merupakan negara agraris yang sukses. Mereka menggalang komunitas-komunitas petani secara kolektif di pusat-pusat kegiatan pertanian, yang disebut “kibutzim”. Kumpulan “kibutz”. Setiap “kibutz” dilengkapi sarana pendidikan, latihan, laboratoratorium, areal wisata, layanan kasehatan, kursus politik dan ideologi, serta jaringan untuk mengurus penjualan hasil dan pembelian sarana produksi tani. Semacam koperasi, yang benar-benar ditata dan dikembangkan sangat serius.
“Kibbutz” dapat dianggap cikal bakal (embrio) Negara Israel, yang diproklamasikan 14 Mei 1948. “Kibbutz” dirintis oleh para “Aliya” (imigran Yahudi Eropa) yang mulai berdatangan ke Palestina awal abad 19. Para imigran Yahudi, semangat sekali menggarap lahan-lahan tandus kering yang ditelantarkan oleh orang-orang Arab Palestina, menjadi subur menghijau. Penuh tanaman anggur, zaitun, jeruk, apel, tin, apricot, plum, gandum dll.
Keahlian dan kesungguhan para pionir imigran Yahudi dalam bercocok-tanam di bumi Palestina, seolah-olah ingin membuktikan kebenaran ucapan tokoh Zionis Senior, Israel Zangwill (1897), yang menyatakan “Palestina adalah tanah tanpa rakyat”, sehingga sangat pas jika dikuasai bangsa Yahudi yang merupakan “rakyat tanpa tanah”.
Yang berkecimpung di bidang pertanian “kibutz”, ikut berlumur lumpur, bercucuran keringat, berpanas-panas berhujan-hujan, bukan hanya petani bertaraf “kuli” (buruh tani). Melainkan juga orang-orang terkenal, figur-figur yang sudah termashur di bidang professi masing-masing. Sekelas professor, doktor, negarawan, politikus, sastrawan, jendral, dan lain sebagainya. Rael Jean Isaac, penulis buku “Israel Divided, Ideological Politics in The Jewish State” (1977), mencatat puluhan nama tokoh penting di Israel, sebelum duduk di puncak karir birokasi, politik, ekonomi dan lain-lain, terlebih dulu menempuh pahit getir kehidupan petani di “kibutzim”.
Di antaranya, Moshe Tabenkin (1917-1968), penyair, di Kibutz Ein Harod; Israel Sheinbaum (1880-1974) wartawan dan novelis, di Kibutz Hameuchad; Rachel Yanait Ben Zevi, tokoh wanita Zionis (1928) kemudian menjadi istri Yitzhak Ben Zevi, Presiden Israel kedua, di Kibutz Lohagetaot; Zerubabel Gilad, sastrawan, di Kibutz Ein Harod, dan banyak lagi. Bagi mereka, pengalaman dari kibutz menjadi semacam “lisensi” utama untuk meraih kedudukan penting di negara Israel. Bukan sekedar “petani berdasi”.
Karena berkaitan dengan sejarah pembentukan negara Israel, sekaligus sebagai penghasil devisa, generasi muda Israel diwajibkan masuk kibutz. Anak-anak TK dan SD, setiap menjelang libur, dibawa oleh guru-gurunya menyaksikan kibutz dari dekat. Anak-anak SMP, SMA, dan mahasiswa, selama libur, diwajibkan kemping dan “outbond” di “kibutz-kibutz” tertentu. Bagi generasi muda Israel, bertani sama dengan meningkatkan wawasan di segala bidang, baik sejarah, maupun perkembangan ilmu pengetahuan mutakhir, serta menumbuhkan patriotisme.
Di negara “agraris” seperti Indonesia, harkat martabat petani, malah dianggap lebih rendah daripada kuli pabrik. [ ]