POTPOURRIVeritas

Malik: Seorang Pemuda Mencari HAMKA

Pengantar :

Indonesia pernah dikaruniai seorang ulama, yang tak hanya kharismatik, melainkan pula memiliki kedalaman dan luasnya ilmu. Namun bukan itu yang paling menonjol, melainkan karakternya yangtegas dan kukuh membela kebenaran yang ia yakini. Ulama itu bernama Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA).—

Ia sempat kembali bertemu HOS Cokroaminoto dalam sebuah rapat besar yang digelar di Batang. Waktu itu Cokro diserang tiga orang pemuka komunis, yang tak hanya menyerang pribadi Cokro, tetapi juga langsung menyerang Islam.  “Agama itu candu yang meninabobokan rakyat,” kata salah seorang dari mereka. Lainnya menyatakan sikapnya terlalu lembek. Satu lagi bilang Islam tak lebih dari keledai dungu,

Episode 13

“Malik, Waang mau ikut ndak? Besok pagi paman dan Engku Marah Intan mau daftar menjadi anggota Sarikat Islam,” kata Ja’far suatu hari.

“Boleh. Ada syaratnya tidak?”

“Syaratnya kau harus menutupi usiamu karena yang boleh jadi anggota hanya yang sudah berumur 18 tahun. Jadi katakanlah kalau ditanya, umurmu 18,” kata Ja’far. Malik langsung teringat pengalaman menjadi joki dulu, saat ia diminta Si Codet untuk mengaku berumur 17. Ia tersenyum sendiri.

“Mengapa Waang senyum-senyum? Mereka tak akan mau menerima kalau Waang belum berusia 18. Terserah kau juga sih, mau ikut atau tidak.”

“Ambo siap, Paman. Ndak usah takut soal umurku,” kata Malik.

Esok paginya mereka bertiga datang ke Kantor Sarikat Islam di kawasan Pakualaman. Mereka diterima seorang yang mengaku sekretaris perkumpulan itu. Sebagaimana yang  lain, ia memakai kain batik, dengan atasan baju gunting Cina. Tentu saja ia pun tak lepas dari blangkon, aksesori yang dipakai hampir semua orang Yogya saat itu.

Nama-nama mereka bertiga dicatatnya setelah membayar uang masuk sebesar satu gulden seorang. Setelah menunggu beberapa menit, mereka bertiga diminta masuk ke sebuah ruangan yang cukup besar. Di atas meja terlihat tiga gelas belimbing berisikan air bening.

Bersamaan mereka diminta maju ke dekat meja dan meminum air bening itu, harus sampai habis.

“Sekarang ikuti sumpah ini,” kata Sang Sekretaris. Mereka pun bersumpah, mengikuti apa yang diucapkan Sekretaris. Isinya hal yang pokok dan biasa, yakni mereka menjadi anggota tidak untuk mengejar keuntungan diri sendiri, menyatakan kesetiaan kepada organisasi, sesama anggota dan kepada pemimpin, serta mengutamakan kebenaran di atas segalanya.

Setelah itu Sekretaris tadi bilang, bila sumpah itu dilanggar, mereka akan dikutuk Tuhan dan celakalah. “Air yang telah kalian minum ini akan menghancurkan diri kalian dari dalam bila kalian ingkar.”

Malam itu juga Malik, Ja’far dan Marah Intan sudah boleh ikut belajar, bergabung bersama yang lain. Pengajarnya berganti-ganti, sesuai daftar yang tergantung di dinding kelas. Malam itu pengajarnya orang besar yang selalu ia nanti-nantikan untuk bersua: HOS Cokroaminoto sendiri!

Alangkah senangnya Malik bertemu dengan orang besar yang ia idolakan sejak lama itu. Ia tak pernah mau mendengar apalagi percaya semua hal-hal buruk tentang Cokro yang dikatakan orang-orang anak buah Datuk Batuah. Hati Malik berdebar-debar saat langkah-langkah Cokroaminoto yang berselop terdengar menapaki gang untuk menemui para muridnya yang telah siap menunggu, termasuk Malik.

Saat sosok itu membuka pintu, langsung terasa aura kharismatiknya menguar. Ia memakai blangkon, berkain dan berbaju beskap. Kulitnya putih kekuningan, agak pucat dan cenderung kurus seperti Haji Rasul, ayah Malik. Kumisnya melentik ke atas, sikapnya agung dengan pandangan mata tajam laksana elang rajawali. Ia edarkan pandangannya berkeliling ruangan, mencoba mengenal satu persatu murid-muridnya. Suaranya bulat, lantang, dalam membahana, menambah kharisma yang ia miliki.  

“Saya lihat ada beberapa wajah baru di sini. Silakan mengenalkan diri, agar silaturahim kita lebih afdhal,” kata Cokroaminoto. Pandangannya tertuju kepada Malik.

Dengan rikuh Malik berdiri, ia membaca basmalah cukup keras sebelum mengenalkan diri. “Assalamu alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh. Kenalkan Angku Guru…” Perkatakan Malik terpotong tawa murid-murid lain. Malik segera sadar ada yang salah ia katakan di sini.

“Eee….Maksud saya, Pak Kiyai,” kata Malik. Ia melihat Cokroaminoto memberi isyarat agar murid-murid lain yang rata-rata lebih tua, tak mengganggu Malik.

“Sebut saja apalah, jangan repot-repot memikirkan sebutan,” katanya, tersenyum. Malik merasakan senyuman itu tulus dan segera menambah kedekatan dirinya.

“Saya Abdul Malik Amrullah bin Haji Abdul Karim Amrullah atau Haji Rasul dari Maninjau…”

“Maha Suci Allah, Alhamdulillah,” kata HOS Cokroaminoto, nyaris seperti menyergah.

Matanya yang bulat berbinar-binar. “Ayahmukah yang mendirikan Sumatra Thawalib di Padang Panjang?” “Benar, Angku, eh Pak Kiyai.” Jawaban Malik yang gugup kembali mengundang tawa di ruangan itu, meski lebih terjaga.

“Baarakallah. Barakah sekali langkahmu, Nak. Jauh-jauh ke sini hendak belajar. Masya Allah…” HOS Cokroaminoto mendecakkan lidah seraya tak henti bersyukur.

“Saya bertiga, Pak Kiyai. Bersama paman dan Engku Marah,” kata Malik, menunjuk paman dan Marah Intan yang segera berdiri. Keduanya bergantian mengenalkan diri, disambut dengan gembira oleh Cokroaminoto.

Malam itu, dan malam-malam selanjutnya selama beberapa sesi, Cokroaminoto membawakan pokok bahasan ‘Islam dan Sosialisme’. Tampaknya lebih untuk menjawab keterpukauan orang atas tindak tanduk para penganut komunis yang mulai menyebarkan pahamnya dengan membajak gerbong Islam.

Sejak awal Cokroaminoto mengurai pendapatnya yang bernas penuh didasarkan kepada nash-nash Alquran dan Hadits, sejak itu pula Malik telah terpukau. Ia kian merasa yakin, orang Islam sebenarnya tak perlu lagi mencari-cari ajaran atau isme apa pun dan dari mana pun. Galilah saja dari Islam, maka kau akan mendapatkan apa pun yang engkau cari.”

Malik tak hanya tekun mendengarkan uraian pimpinan pergerakan yang menjadi mentor banyak tokoh pergerakan lainnya itu.

“Bagi kita orang Islam, tak ada sosialisme atau rupa-rupa ‘isme’ lainnya, yang lebih baik, lebih elok dan lebih mulia, melainkan sosialisme yang berdasar Islam itu saja,” kata Cokroaminoto yang dengan cepat kutipannya telah tercatat di notes Malik.

“Lihatlah, “katanya lagi. “Nabi kita menyuruh kita berlaku dermawan dengan asas-asas yang bersifat sosialis. Alquran berulang-ulang menyatakan, bahwa memberi sedekah itu bukannya bersifat kebajikan, tetapi bersifat satu kewajiban yang keras dan tidak boleh dilalaikan.”

“Allah SWT, “kata Cokro, “bersabda di dalam Alquran, yaitu : “Kamu tidak pernah akan dapat mencapai keadilan, kecuali apabila kamu telah memberikan daripada apa yang kamu cintai; dan Tuhan mengetahui apa yang kamu berikan itu”.

Cokroaminoto diam sejenak, sebelum melanjutkan. “Satu dua sabda Nabi kita, yang menunjukkan sifat sosialis yang terkandung di dalam aturan pemberian sedekah, misalnya seperti yang berikut: “Dari sekalian makhluk Allah yang sangat berbakti dan mempercayai janji Allah, adalah siapa pun yang berusaha berbuat sebanyak-banyaknya kebajikan kepada makhluk Allah.”

Islam yang diajarkan di sana terasa begitu menggerakkan Malik. Tak hanya uraian Cokroaminoto dan Ki Bagus Hadikusumo yang dengan tekun dicatatnya. Juga dari guruguru yang lain. Misalnya, dari RM Soerjopranoto yang saat itu lebih dikenal sebagai ‘Raja Mogok’, Malik dan murid-murid lain mendapatkan uraian soal Sosiologi.

Malik punya kesan tersendiri tentang orang tua itu. Di mata Malik ia benar-benar seorang yang penuh dengan apa yang pernah dibacanya sebagai ‘kegelisahan kreatif’.

Pengetahuannya yang melimpah seolah memberinya tenaga dan dorongan yang menggelora dari dalam. Tak cukup satu tangan dan satu kapur tulis saat dirinya mengajar, memuntahkan segala apa yang ia punya dari benak dan dadanya.

Sementara persoalan-persoalan yang lebih menukik tentang agama Islam diperolehnya dari Kyai Haji Fachruddin, pemimpin Perserikatan Muhammadiyah yang namanya juga sangat dikenal. Saat itu KH Fachruddin juga menjabat bendahara Central Sarikat Islam.

KH Fachruddin di mata Malik begitu berisi, tenang dalam menyampaikan, meski tak bisa ditutupi bahwa beliau seorang yang memiliki sifat riang gembira.

Yogyakarta saat itu adalah kota yang tengah mengalami kegembiraan kesadaran berislam. Apalagi ada tantangan besar yang tak kurang mencolok, yakni Residen Yogya sat itu jelasjelas menunjukkan sikap berpihak pada gerakan Zending.

Pernah Malik ikut sebuah pawai besar memperingati maulud Nabi Muhammad SAW. Tak kurang dari 20 ribuan massa mengikuti pawai besar tersebut, masing-masing membawa bendera kertas hijau bertuliskan ‘Al-Islam’. Tak hanya melintas di depan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, ribuan orang yang berpawai itu sengaja lewat rumah Residen Yogyakarta. Bahkan sempat pula pawai itu berhenti sejenak, melambai-lambaikan bendera di sana.

Pernah Malik mengajak paman Ja’far yang selalu membahasakan diri kepadanya dengan sebutan ‘Pak Etek’, dan Marah Intan menghadiri rapat pendirian ‘Jong Islamieten Bond’, yang kemudian diketuai Syamsu Rijal sebagai ketua pusat dan Kadhool sebagai ketua cabang Yogyakarta. Tanpa Malik sangka, semua pembicaraan dilakukan dalam Bahasa Belanda! Malik bahkan tercengang saat melihat seorang tua, dengan baju lurik sebagaimana lainnya, sapu tangan merah menggantung terselip di pinggang, kepala berbalngkon dan tak beralas kaki, tampil ke atas podium untuk berpidato dan menafsirkan Surat Al Fatihah. Pidato yang penuh analisis dan seluruhnya berbahasa Belanda itu berlangsung lebih dari satu jam sendiri. Dari corong pengeras suara Malik tahu, orang tua hebat itu bernama Dr Sumowidagdo!

Beberapa bulan belajar kepada mereka, Malik merasa mendapatkan penyempurnaan atas upaya belajarnya bertahun-tahun selama ini. Baru setelah belajar di Yogya itu Malik meyakini bahwa Islam adalah agama yang hidup, untuk orang hidup, sebuah jalan

perjuangan dan keyakinan yang dinamis. Pedoman Islam yang umum selalu sesuai dengan elan zaman, dengan zeitgeist di setiap masa. Islam yang dipelajarinya di Yogya membawa pengaruh besar ke dalam dirinya, membawa semangat untuk tegak hidup dan menghidupi elan zaman demi kebesaran ajaran yang dibawa Nabiullah Muhammad SAW tersebut.

Malik merasa langkah hidupnya ke depan banyak dipengaruhi sebuku waktu saat di Yogyakarta itu. Selain Islam, di Yogya pun Malik menemukan pengetahuan lain soal komunis. Komunis yang dilihatnya di Sumatra Barat saat sebelum keberangkatannya ke Yogya dulu tak lebih dari komunis setengah hati. Namun tetap saja mempunyai daya rusak yang kuat. Kekerasan sikap mereka, kritik yang terlontar tajam kepada pemerintah Kolonial Belanda yang tak pernah sepi dari ayat Alquran dan Hadits, sebenarnya mereka dapatkan dari berbagai pernyataan Sarekat Islam.

Dari berbagai pernyataan dan kritik yang hidup dalam Muhammadiyah. Jadi sebenarnya ‘komunis Minang’ yang diangkat-angkat Datuk Batuah itu terang benderang sudah, tak lebih dari Islam. Hanya kekurangpengetahuan saja yang membuat orang-orang itu merasa menjadi dan bisa dikelabui kalangan komunis sejati, yang selalu memasok mereka dengan dana dan informasi dari Jawa. Apalagi kalangan rakyat jelata di Minang dengan gampang mengira bahwa komunis itu tak lain dari sikap ‘AntiBelanda’.

Namun karena ia masih harus menemui kakak iparnya, Sutan Mansyur, Malik pun berangkat ke Pekalongan. Kali ini sendirian, karena pamannya dan Marah Intan masih harus belajar di Kauman.

Di Pekalongan, ia menjumpai iparnya itu, Sutan Mansyur, seorang yang hidupnya sangat teguh dalam persoalan agama. Pengetahuan agamanya dalam, ghirah[1]nya pun kuat. Gelora politik yang didapatkan Malik di Yogya, mendapatkan lagi ‘jiwa’nya dari pergaulan dengan iparnya itu.

Saat berada di Pekalongan itu ia sempat kembali bertemu HOS Cokroaminoto, dalam sebuah rapat besar yang digelar di Batang. Waktu itu Cokro diserang tiga orang pemuka komunis, yang tak hanya menyerang pribadi Cokro, tetapi juga langsung menyerang Islam.

“Agama itu candu yang meninabobokan rakyat,” kata salah seorang dari mereka. Lainnya menyatakan sikapnya terlalu lembek. Satu lagi bilang Islam tak lebih dari keledai dungu, yang karena itu perjuangan Islam pun hanya akan dimakan penjajah Belanda laiknya mereka memakan ham, daging babi, setiap hari.

Semua disambut Cokro dengan tenang. Ia sama sekali tak kehilangan ketenangan dan kharismanya. Apa yang mereka ucapkan ia patahkan satu demi satu, seraya tak jarang menendang balik pernyataan-pernyatan mereka yang penuh nafsu. Hasilnya, ribuan rakyat yang hadir pun memberikan aplaus meriah.

Seiring waktu, Malik kemudian tak hanya sekadar jadi pendengar. Dalam pertemuanpertemuan dan rapat akbar selanjutnya, ia pun mulai ikut tampil berpidato. Dan pidatonya, dengan sekian banyak pantun yang ia hafal, bacaan yang ia makan, menarik hati banyak orang. Dari pertemuan-pertemuan itu ia kemudian bertemu Muhammad Rum, Usman Pujotomo dan lain-lain, yang kelak akan mewarnai perjuangan bangsanya.

Saat ayahnya yang gagal menghadiri Kongres Khilafah di Mesir mengunjunginya, Haji rasul telah melihat anaknya itu banyak berubah. Ia sudah jauh lebih ‘revolusioner’.

Tepat bulan Juni 1925, saat Malik berusia 17 tahun, Sutan Mansyur memintanya pulang ke Padang Panjang.

“Ayahmu sudah memintamu pulang. Beliau perlu bantuanmu,” kata sutan Mansyur saat meminta Malik bersiap-siap. Malik tak hendak membantah. Betapa pun kerasannya ia tinggal dan menghirup kehidupan Jawa, Ranah Minang adalah wilayahnya berjuang. Belum lagi tanah itu kini dalam bahaya penguasaan kelompok komunis, betapa pun mereka masih membawa-bawa Islam. Toh, sampai berapa lama mereka memerlukan Islam untuk melancarkan nafsu mereka menguasai pemikiran para anak negeri? Malik menyanggupi dengan tekad bergumpal di hati. Ia akan menjadi anak berbakti, tak hanya pada ayahnya, namun juga buat Minang, negeri yang kini tengah mati suri. [bersambung]


[1] Kecemburuan, rasa cinta akan agama.

Back to top button