
Siapa yang mencatat bahwa setelah membacakan teks proklamasi, ia pulang dan tidur, karena tidak tahu harus berbuat apa lagi? Negara tidak tertarik pada kegamangan. Negara tertarik pada ketegasan. Karena yang rapuh terlalu manusiawi. Sejarah versi negara bukan pengetahuan, melainkan proyek. Ia disusun dalam rapat-rapat kurikulum, diumumkan dalam peringatan nasional, disponsori oleh anggaran kementerian, dan akhirnya dihafalkan oleh anak-anak sekolah yang hanya ingin lulus ujian.
Oleh : Radhar Tribaskoro
JERNIH– Ada masa ketika sejarah ditulis dengan tinta kekuasaan. Dan ada masa, yang lebih sunyi, ketika sejarah hanya tinggal gema—tanpa saksi, tanpa kata, tanpa pelajaran.
Pada pagi hari yang tidak terlalu terang, saya teringat sebuah fragmen dalam buku catatan Albert Camus. Katanya, “Kita bukan apa yang kita katakan. Kita adalah apa yang kita diamkan.” Sejarah, bagi negara, seringkali demikian: ia bukan cerita tentang apa yang diumumkan, melainkan tentang apa yang dilupakan.
Seorang teman lama—sejarawan yang lebih banyak membaca arsip kolonial daripada surat kabar hari ini—pernah berkata bahwa negara tak bisa tidak, mesti punya tafsirnya sendiri tentang sejarah. “Bagaimana mungkin sebuah bangsa berdiri, bila ia tidak tahu dari mana ia datang?” Saya mengangguk waktu itu. Lalu bertanya balik: “Tapi, siapa yang berhak menentukan ‘dari mana kita datang’ itu?”
Negara, seperti juga institusi agama, adalah pencipta simbol. Ia membutuhkan narasi yang kokoh. Bukan karena sejarah itu benar, melainkan karena sejarah itu perlu. Maka diceritakanlah bahwa 17 Agustus 1945 adalah detik yang serempak menubuhkan republik. Bahwa proklamasi adalah kontrak sosial. Bahwa Pancasila adalah hasil perenungan mendalam para pendiri bangsa.
Tapi siapa yang mencatat kegamangan Soekarno pada pagi 17 Agustus itu? Siapa yang mencatat bahwa setelah membacakan teks proklamasi, ia pulang dan tidur, karena tidak tahu harus berbuat apa lagi?
Negara tidak tertarik pada kegamangan. Negara tertarik pada ketegasan. Karena yang rapuh terlalu manusiawi. Dan negara—seperti segala bentuk kekuasaan—selalu berusaha menjauh dari manusia.
Sejarah versi negara bukan pengetahuan, melainkan proyek. Ia disusun dalam rapat-rapat kurikulum, diumumkan dalam peringatan nasional, disponsori oleh anggaran kementerian, dan akhirnya dihafalkan oleh anak-anak sekolah yang hanya ingin lulus ujian.
Kita tumbuh dengan pelajaran sejarah yang tak pernah menyebut Soe Hok Gie, tapi mengenang G30S/PKI saban tahun lewat film propaganda. Kita tidak diajarkan bahwa Kartini menulis surat kepada sahabatnya, Stella, yang tidak percaya pada Tuhan. Kita lebih tahu siapa yang mengangkat senjata ketimbang siapa yang menulis surat cinta pada kemerdekaan.
Negara menyukai pahlawan yang bertempur, bukan pahlawan yang bertanya.
Padahal, bangsa yang sehat adalah bangsa yang ingat. Dan ingatan yang sehat bukanlah ingatan yang seragam, tetapi ingatan yang membuka ruang bagi perdebatan.
“Sejarah milik pemenang,” kata Winston Churchill. Tapi ia lupa menambahkan: sejarah juga milik penulis, milik pembaca, milik korban yang sempat bicara, dan milik mereka yang diam-diam menghafal kesedihan.
Ketika negara menentukan interpretasinya sendiri atas sejarah, maka ia sedang berkata: inilah kebenaran, dan yang lain adalah kesalahan. Di situ sejarah menjadi perintah, bukan percakapan.
Kita menyaksikan itu hari ini. Ketika orang-orang bicara tentang tragedi 1965, mereka tak bicara tentang penderitaan, melainkan tentang keberpihakan. Bila Anda menyebut korban yang disiksa, Anda akan dianggap pro-komunis. Bila Anda menyebut tentara sebagai penyelamat, Anda dianggap nasionalis.
Kita kehilangan ruang abu-abu. Padahal sejarah adalah rentang yang lebih banyak abu-abunya daripada hitam-putihnya. Tapi tidakkah negara memang memerlukan sejarah untuk menyatukan warganya? Bukankah bangsa tanpa narasi bersama akan mudah pecah?
Pertanyaan itu wajar. Tapi jawabannya tak harus mengarah pada monopoli makna. Kita bisa memisahkan dua hal: narasi bersama dan kebenaran tunggal. Yang satu adalah fondasi kebangsaan, yang lain adalah jebakan kekuasaan. Negara boleh punya narasi—seperti seorang ayah yang menceritakan asal usul keluarganya pada anak-anaknya. Tapi narasi itu tidak boleh menutup kemungkinan bahwa cerita itu tak lengkap, bahkan mungkin keliru.
Negara yang dewasa adalah negara yang berani membuka catatan kelamnya. Jerman, misalnya, tidak menyembunyikan Holocaust. Ia mengajarkannya di sekolah, membangunnya di museum, dan mencatatnya dalam puisi. Argentina mengadili para jenderal yang membunuh atas nama negara. Afrika Selatan membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang membolehkan semua pihak bicara.
Karena mereka sadar: sejarah bukan hanya soal apa yang terjadi, tetapi tentang siapa yang didengarkan.
Saya teringat pada seorang ibu yang menangis di depan Gedung DPR, memegang foto anaknya yang hilang tahun 1998. Ia tidak menuntut kompensasi. Ia hanya ingin tahu di mana anaknya. Negara tidak memberi jawaban. Ia memberi pidato. Ia memberi alasan. Ia memberi waktu.
Tapi waktu tak pernah menjawab.
Negara yang memonopoli sejarah adalah negara yang takut pada masa lalunya. Ia takut kalau versi lain akan membuatnya kehilangan kendali. Maka ia memilih untuk diamkan luka, abaikan korban, dan rayakan kemenangan. Tapi luka yang didiamkan tak pernah sembuh. Ia hanya pindah tempat: dari tubuh ke jiwa, dari ingatan ke generasi.
Kita menyaksikan itu dalam sunyi yang diwariskan. Anak-anak muda yang tidak tahu siapa Munir, siapa Widji Thukul, siapa Soeharto yang sebenarnya. Sejarah jadi seperti museum yang terkunci: bersih, rapih, tapi tak bisa dimasuki.
Dan akhirnya, sejarah kehilangan fungsinya. Ia tidak lagi menjadi cermin, tapi tembok.
Sejarah yang sehat bukan sejarah yang selesai, melainkan sejarah yang terbuka. Dalam negara yang bebas, sejarah adalah ruang berdebat. Bukan hanya akademisi, tapi juga seniman, wartawan, penyintas, dan rakyat biasa punya hak untuk menyumbang makna. Di situlah kita menemukan apa yang disebut Hannah Arendt sebagai “pluralitas manusia”—bahwa tak ada satu pun kebenaran tunggal yang cukup untuk menjelaskan dunia yang kompleks.
Negara tidak perlu menafsirkan sejarah sendirian. Ia hanya perlu membuka ruang agar sejarah bisa ditafsirkan bersama. Bila negara terus menjadi satu-satunya narator, maka yang terjadi bukan sejarah, melainkan propaganda.
Seorang guru pernah berkata, “Jangan ajarkan murid untuk percaya pada sejarah. Ajarkan mereka untuk mempertanyakan sejarah.” Kalimat itu terdengar aneh di negeri yang mencintai kepatuhan lebih daripada pertanyaan.
Tapi barangkali, justru di sanalah tugas sejarah: bukan membuat kita patuh, melainkan membuat kita ingat. Bahwa di balik setiap kemenangan, ada korban. Di balik setiap pidato, ada suara yang tak terdengar. Dan di balik setiap narasi negara, ada cerita kecil yang ditulis dengan air mata.
Pada akhirnya, yang dipertaruhkan bukan hanya masa lalu, tapi juga masa depan.
Bangsa yang tidak menyelesaikan masa lalunya akan tersandung di masa depannya. Ia akan terus mencari kambing hitam, terus menyalahkan pihak lain, terus membungkam kritik. Ia akan melihat sejarah sebagai bahaya, bukan sebagai pelajaran.
Negara boleh punya versinya sendiri, tapi ia harus menerima bahwa itu hanya salah satu versi. Negara harus belajar mendengar. Karena negara yang besar bukan negara yang kuat, tapi negara yang berani mengakui bahwa ia pun pernah salah. Seperti manusia.
“Kita bukan apa yang kita katakan. Kita adalah apa yang kita diamkan.” Barangkali sejarah bukan tentang siapa yang benar. Tapi siapa yang akhirnya didengar. Dan siapa yang tetap bicara, bahkan ketika semua orang menyuruhnya diam. [ ]
Meikarta, 19 Juni 2025