Nyanyian Jiwa
Sekali pun begitu, Mas Alip seolah tak peduli — konon sumbangan gitar dari seleb Baim Wong pun ditolaknya. Tetap memainkan gitar tanpa bicara, nir ekspresi. Sebab, Alip bergitar dengan jiwanya.
Oleh : Agus ‘K’ Kurniawan
JERNIH– Joanna Lumley — mantan model yang sewaktu muda saya bayangkan seaduhai Pamela Anderson — dan Simon Reeve mengampu serial di BBC Earth yang selalu saya sukai: kelana budaya.
Mereka menyambangi beragam puak di dunia, menyimak tradisi dan kehidupan yang dianggap masih murni. Dari Rusia, Siberia, Karibia, Mongolia, hingga Toba. Dan momen terbaik adalah saat mereka mendokumentasikan masyarakat menyanyi.
Nyanyian memang ekspresi universal, khususnya tentang kontemplasi. Dilakukan oleh siapa saja, dimana-mana. Secara teknis tak harus bagus. Sumbang pun tak apa. Tapi bagi saya, itu selalu magis.
Bayangkan, sekelompok penduduk Toba berkumpul di lapo usai seharian berjibaku mencari nafkah, lalu menyanyikan puji-pujian tentang alam dan laut. Atau di malam temaram tetua Suku Bajo mendendangkan Iko-iko. Syahdu, mengharu.
Puluhan tahun lalu kampung-kampung kami di Magelang hampir selalu memiliki grup kesenian: karawitan atau orkes keroncong. Mereka secara rutin berlatih usai meladang. Yang tak kebagian peran, jadi penonton dan penyorak.
Setiap musim tertentu mereka pentas. Tentu saja pro bono. Manggung di kampung sendiri, dibiayai sendiri, ditonton warga sendiri. Tanpa disadari kegairahan bak hawa hangat orgasmik, mengalir ke setiap nadi warga desa. Mereka menyanyi dengan jiwa, merayakan hidup.
Di rumah-rumah pun senada. Mereka rutin berdendang. Ibu saya menyenandungkan kidung macapat saat senang, terharu, pun sedih. Bapak memainkan gambang. Tak ada penonton. Hanya jiwa mereka sendiri yang bersorak.
Di Cakung, belahan Timur Jakarta, seorang lelaki sederhana ngehit mendunia. Pasalnya, dia jago bergitar dengan genre yang disebut finger style — memainkan gitar tanpa pengiring lain tetapi hasilnya seolah main musik ramai-ramai. Namanya tentu tak asing, Alip Ba Ta — aslinya Alief Gustakhiyat.
Berlatar kamar kontrakannya yang kusam dan poster pembelajaran huruf A-B-C untuk anak SD, Alip merekam kepiawaiannya, lalu mengupload di Youtube. Tanpa bicara, sedikit ekspresi. Juga tanpa ngemis like dan subscribe.
Tak disangka kanalnya membahana — karena Mas Alip memang jago. Jutaan orang di dunia menghikmatinya, membahasnya. Iwan Fals dan Dewa Bujana — maestro musik negeri ini — tak sungkan menghujani puja-puji.
Sekali pun begitu, Mas Alip seolah tak peduli — konon sumbangan gitar dari seleb Baim Wong pun ditolaknya. Tetap memainkan gitar tanpa bicara, nir ekspresi. Sebab, Alip bergitar dengan jiwanya.
Musuh jiwa adalah pragmatisme dan kerakusan. Sejak organ tunggal meruyak, karawitan di kampung kami mati. Warga tak lagi berlatih gamelan tiap sore. Tak juga berpentas pro bono tiap musim. Jika butuh hiburan, seorang bohir cukup memesan organ tunggal dan satu-dua biduan — kadang penuh seronok.
Nasib Mas Alip pun hampir saja ngenes. Sekelompok orang rakus diam-diam mendaftarkan musik Alip atas nama mereka sendiri ke lembaga agregator internasional yang mengangkangi distribusi content ke platform-platform streaming, seperti Youtube, Spotify, Itunes, dan lainnya. Sekali terdaftar di agregator, hak distribusi jadi milik agregator, dan royaltinya masuk ke kantong si pendaftar.
Akibatnya, Mas Alip pun “diharamkan” mengupload kreasinya sendiri di Youtube, dan diminta menghapus yang sudah terupload. Mosok lagu “Lingsir Wengi”, “Gambang Suling”, “Bento”, diklaim hak distribusinya milik organisasi antah berantah? Apa tumon? Aneh, norak, dan gila.
Syukurlah para penggemar Mas Alip — menamakan diri Alipers — bergerak. Mereka memprotes agregator, mengurai bukti-bukti, hingga klaim agregator pun dibatalkan.
Mas Alip, seperti juga para tetua kami dulu, hanya ingin bermusik dengan jiwanya. Dicueki tak apa, disoraki ya syukur. Tapi rupanya dunia lebih rumit dari itu. (goeska@gmail.com)