Pernyataan Presiden Jokowi tersebut memang multitafsir, hingga wajar ada interpretasi publik bahwa Jokowi sebagai entitas presiden–dengan segala kekuasaan yang dimilikinya– menyatakan dukungan kepada pencalonan Ganjar Pranowo. Di Indonesia, dengan sistem presidensial yang memberi presiden kekuasaan yang besar, dukungan dari lembaga negara se-powerful itu jelas adalah sesuatu yang sangat besar nilai politiknya.
Oleh : Darmawan Sepriyossa*
JERNIH– Ketidakhadiran Ibu Megawati Sukarnoputri dalam acara Peringatan Hari Lahir Pancasila di Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang dihadiri langsung Presiden Joko Widodo (Jokowi) seolah kembali memperkuat adanya ketidakharmonisan hubungan di antara keduanya, yang merebak dan menjadi bahan spekulasi publik akhir-akhir ini.
Tidak saja karena ketua umum PDI Perjuangan (PDIP) itu merupakan anak kandung dan putri ideologis Bung Karno—tokoh sentral dalam perhelatan peringatan 1 Juni, dihubungkan dengan pengambilan lokasi acara di kota tempat pembuangan proklamator RI tersebut. Sebagaimana kita ketahui, Ibu Megawati pun adalah ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Badan ini bisa dikatakan menjadi ‘tuan rumah atau sahibul bait’ dari acara itu.
Alasan Ibu Mega bahwa dirinya ‘berbagi tugas’ dengan menjadi salah satu narasumber pada sebuah webinar daring, jelas sama sekali tidak sepadan dengan besarnya arti perhelatan di Ende tersebut, sehingga publik wajar menanggapi alasan ketidakhadiran itu dengan skeptisisme yang tinggi.
Kalau boleh meraba-raba, raison d’etre yang memantik kembalinya ketidakharmonisan ini tampaknya adalah pernyataan-–dan tentu saja sikap—Presiden Jokowi pada acara Pertemuan dan Rapat Kerja Nasional Relawan Pro-Jokowi (Projo) yang dihelat di Kawasan Borobudur, Magelang, hampir dua pekan lalu. Pada acara yang menurut media massa melibatkan sekitar 5.000 relawan dan dihadiri Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo tersebut, Jokowi memang mengutarakan hal-hal yang sebenarya sangat wajar dapat mengganggu hubungannya dengan Ketua Umum PDIP tersebut.
Hadirnya Ganjar pada pertemuan yang tak ada hubungannya dengan dirinya sebagai kader PDIP tersebut bisa dimaklumi, mengingat Kawasan Borobudur berada di wilayah kerjanya, Provinsi Jawa Tengah. Tetapi pernyataan Presiden Jokowi pada acara tersebut sangat wajar memantik ‘kecemburuan’ dari kalangan inner cyrcle PDIP, terutama Ibu Megawati.
Misalnya, Jokowi mengatakan,”Urusan politik, ojo kesusu sik. Jangan tergesa-gesa. Meskipun, mungkin yang kita dukung ada di sini. Sudah dibilang, jangan tergesa-gesa, ojo kesusu,”kata Jokowi saat itu, yang diiringi sorak sorai para relawan.
Pernyataan Presiden Jokowi itu jelas mengisyaratkan bahwa Presiden kurang memahami etika politik (fatsoen) yang ada. Bagaimanapun besar kekuasaan yang dimilikinya saat ini, Presiden Jokowi adalah kader PDIP yang harus menghormati tata krama dan sopan santun dalam partai. Kita menyaksikan sendiri, berkali-kali, dalam istilah yang meski barangkali kurang mengenakkan, Ibu Megawati sempat mengatakan bahwa Jokowi adalah “petugas partai” yang tengah mendapatkan kepercayaan dan amanah rakyat untuk menjadi presiden Republik Indonesia.
Hingga saat ini, PDIP belum menentukan siapa yang akan mereka usung sebagai calon presiden dari satu-satunya parpol yang bisa secara sendirian mengajukan pasangan calon presiden-wapres di Pilpres 2024 itu. Kabar yang berhembus memang mengarah kepada Ketua DPR RI Puan Maharani. Tetapi sekali lagi, PDIP belum memberikan pernyataan resmi soal itu.
Jadi, alih-alih mengajak relawannya untuk ‘’ojo kesusu”, pernyataan yang disambung dengan “…meskipun, mungkin yang kita dukung ada di sini,” justru pernyataan kesusu yang dilontarkan Presiden di depan massa yang mengklaim diri sebagai massa pendukungnya itu.
Pernyataan Presiden Jokowi tersebut memang multitafsir, hingga wajar ada interpretasi publik bahwa Jokowi sebagai entitas presiden–dengan segala kekuasaan yang dimilikinya– menyatakan dukungan kepada pencalonan Ganjar Pranowo. Di Indonesia, dengan sistem presidensial yang memberi presiden kekuasaan yang besar, dukungan dari lembaga negara se-powerful itu jelas adalah sesuatu yang sangat besar nilai politiknya.
Namun jangan salah, pernyataan itu pun bisa juga ditafsirkan sebagai tekanan dari relawan Projo—dan Jokowi—kepada kepemimpinan PDIP. Tekanan untuk tidak saja mempertimbangkan, tapi memilih Ganjar sebagai calon presiden yang pada saatnya resmi diajukan PDIP. Jadi, tidak harus kita heran manakala bagi Direktur Pusat Riset Politik, Hukum dan Kebijakan Indonesia (PRPHKI), Saiful Anam, pernyataan itu bahkan dianggap pernyataan perang terbuka relawan Projo kepada kandidat yang mulai digaungkan oleh PDIP, yakni Ketua DPR RI, Puan Maharani.
Apalagi, kata Saiful Anam, Ganjar yang selama ini seolah diekskomunikasi dengan tidak diundang pada pertemuan-pertemuan PDIP, namun justru—dalam pernyataan Anam kepada kantor berita politik RMOL–”..diundang dan hadir dalam acara Projo.”
Ke dalam PDIP, pernyataan di Rakesnas Projo itu juga mengisyaratkan kurangnya penghargaan Jokowi kepada kepemimpinan PDIP yang bahkan tampaknya belum membicarakan soal pencalonan pasangan presiden yang akan mereka dukung di 2024 itu dalam rapat-rapat mereka.
Kita tentu sangat mengerti bahwa perolehan PDIP pada Pileg 2019 yakni 19,33 persen suara dan 128 kursi DPR RI atau lebih dari 22 persen kursi, tidaklah didapat sebagai curahan berkah begitu saja dari langit. Selama setidaknya lima tahun—karena banyak juga pemilih yang mempertimbangkan kinerja dan kepedulian sebuah parpol ke publik jauh melampaui tahun-tahun pemilihan—setiap kader partai berusaha berjuang meraih simpati publik, dari hari ke hari.
Hal itu berbeda dengan kerja para relawan tokoh-tokoh politik tertentu, yang perjuangan mereka relative lebih singkat. Jarang ada relawan tokoh yang mulai bekerja lima tahun sebelum hari H pemilihan. Relawan Anies Baswedan yang saat ini terlihat sangat antusias pun, baru bekerja sekitar beberapa bulan lalu, atau tak sampai tiga tahun dari hari pelaksanaan Pilpres nanti.
Artinya, seyogyanya kita menghormati kenyataan tersebut lebih arif lagi. Apalagi, hak untuk menentukan siapa yang akan dicalonkan untuk berlaga di Pilpres sejatinya merupakan domain internal partai politik. Sebagai kader PDIP, Presiden Jokowi tentu berhak mengajukan usulan siapa saja yang dianggap layak untuk menjadi calon penggantinya di periode berikut. Hanya, sebagaimana juga dikemukakan komunikolog Emrus Sihombing, usulan tersebut seyognyanya dikomunikasikan kepada para petinggi PDIP dalam pembahasan internal partai yang tertutup.
“Jadi, tidak sebagaimana saat ini, ada pertarungan politik sesama kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), yakni antara Puan Maharani dengan Ganjar Pranowo menjelang 2024, yang seharusnya tidak perlu dipertontonkan di ruang publik,”kata Emrus. Pasalnya, kata Emrus, kompetisi yang dipertontonkan telanjang di ruang publik akan memperlihatkan kesan kurangnya soliditas di internal partai.
Lebih lanjut Emrus mengatakan, pertarungan di ruang publik antara sesama kader partai hanya akan merugikan partai itu sendiri. Sebab, ketika mekanisme partai nanti akan dilakukan maka semua kader seharusnya bersatu dan bergotong royong menjalankan keputusan partai. “Bila soliditas partai rusak akibat konflik internal yang tidak segera diatasi, maka mesin politik PDIP pun tidak akan bekerja secara maksimal pada saat diperlukan,”kata Emrus.
Berkenaan dengan keberadaan relawan yang saat ini berfungsi laiknya kelompok penekan, Emrus mengatakan, sesuai ketentuan yang ada, jika ingin mengajukan calon presiden, sebaiknya relawan yang mengusung tokoh siapa pun membentuk parpol sendiri. “Bukan malah seolah-olah mendikte parpol untuk menentukan siapa bakal capres,”kata dia. Karena itulah, kata Emrus, ia lebih senang menyebut para relawan tokoh politik itu bukan relawan, melainkan sebutan khas ‘polatis’, alias politisi lapangan pragmatis.
“Sebab sejatinya relawan itu ya harus taat aturan. Undang-undang menyebutkan, pasangan calon presiden 2024 (Paslon 2024) hanya diusung oleh partai politik, bukan kekuatan politik lainnya,” kata dia.
Kekhawatiran yang dikemukakan Emrus tersebut tidak hanya masuk akal, bahkan tampaknya sudah terjadi seiring indikasi memanasnya hubungan PDIP-Istana. Setidaknya hal itu ditunjukkan dengan beredarnya komentar anggota DPR RI Fraksi PDIP, Trimedya Panjaitan, di berbagai media massa. Seraya mempertanyakan kinerja Ganjar selama menjabat gubernur Jawa Tengah, Trimedya menilai Ganjar terlalu ambisius dengan langkah-langkah yang dilakukannya, yang terindikasi berhubungan dengan kontestasi 2024.
“Ganjar apa kinerjanya delapan tahun jadi gubernur selain main di medsos?” kata Trimedya dalam keterangan tertulis, Rabu (1/6). Ia menilai manuver Ganjar untuk mencalonkan diri sebagai capres di 2024, sudah kelewat batas. Dalam istilah masyarakat Jawa, menurut Trimedya hal itu bisa disebut kemlinthi, alias sok atau congkak.“Harusnya (dia) sabar dulu jalankan tugasnya sebagai gubernur Jateng, berinteraksi dengan kawan-kawan struktur di sana; DPC, DPD, DPRD dan sebagainya,” kata Wakil Ketua MKD DPR RI itu.
Benar kata Ibnu Mas’ud sebagaimana hadits yang diriwayatkan Abu Dawud,”Bertengkar itu semuanya jelek.” [dsy]