Solilokui

Pak AR Fachruddin, Pak Harto dan Muhammadiyah

Pak AR—KH Abdul Rozak Fachruddin, Ketua (Umum) PP Muhammadiyah 1968-1990—lalu berkirim surat ke Pak Harto dengan bahasa krama inggil. “Pak AR menyatakan harga tanah itu Rp 250 juta. Pak Harto langsung memberi sedekah pribadinya senilai Rp 250 juta sesuai harga tanah. Bantuan ini tidak banyak diketahui orang karena memang tidak pernah dipublikasikan,” cerita Sukriyanto. Menurutnya ini hanya sebagian kecil dari bantuan Pak Harto kepada Muhammadiyah.

Oleh  :  Ustadz Nur Cholis Huda*

JERNIH– Kita sudah tahu bahwa Bung Karno dan Pak Harto adalah dua presiden Indonesia yang mengaku sebagai warga Persyarikatan Muhammadiyah. Namun keduanya berbeda dalam mengungkapkan “cintanya” pada Muhammadiyah.

Bung Karno sebagai jago pidato mengungkapkan cintanya lewat pidato. Sedangkan Pak Harto tidak. Namun bibit Muhammadiyah yang tertanam di hati Pak Harto tidak kalah subur. Tumbuh dalam tindakan nyata.

Ketika menghadiri Muktamar Ke-35 Muhammadiyah di Jakarta tahun 1962, Bung Karno menyatakan: “Memang benar saudara-saudara, sampai sekarang saya masih anggota Muhammadiyah. Cuma anehnya sejak saya menjadi presiden belum pernah ditagih iuran. Jadi saya minta mulai sekarang tagihlah konstribusi saya itu. Saya resmi menjadi anggota Muhammadiyah sejak tahun 1938. Sekarang sudah tahun 1962. Jadi sudah 24 tahun…”

Pidato Bung Karno di muktamar itu diperbanyak oleh Roeslan Abdul Gani, menteri penerangan saat itu. Orang- orang PKI yang sinis karena menganggap Muhammadiyah sebagai rumah pelarian orang-orang Masyumi, menjadi kecut.

Mereka tidak menyangka Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno yang mereka elu-elukan itu ternyata orang Muhammadiyah. Cabang dan ranting Muhammadiyah yang beku pun bergairah kembali. Para pejabat di daerah menjadi ramah dengan Muhammadiyah. Pidato Bung Karno yang penuh semangat itu berpengaruh sampai ke bawah.

Bibit Muhammadiyah

Pak Harto yang kalem dan murah senyum juga pernah menyatakan kebanggaannya sebagai orang yang pernah belajar di sekolah Muhammadiyah. Memang tidak lama, hanya dua tahun di SMP Muhammadiyah dan menjadi anggota Hizbul Wathan karena harus pindah ke Wonogiri, Jawa Tengah.

Ketika membuka Muktamar Ke-41 Muhammadiyah di Solo, Desember 1985, Pak Harto menyatakan: “Sebagai orang yang pernah mengenyam pendidikan di Muhammadiyah saya mengharapkan agar Muhammadiyah tumbuh semakin besar, semakin kuat dan makin banyak amalnya dalam bidang-bidang yang amat luas,” katanya.

Pernyataan hampir serupa diulang lagi ketika membuka Muktamar Ke-42 Muhammadiyah di Yogyakarta tahun 1990. Yang fenomenal ialah ketika membuka Muktamar Ke-43 Muhammadiyah di Aceh tahun 1995.

Sebelum mengakhiri pidatonya, Pak Harto mengeluarkan catatan di kertas kecil dari sakunya kemudian dibaca, “Tanpa tedheng aling-aling, saya ini merupakan bibit Muhammadiyah yang ditanam di bumi Indonesia. Alhamdulillah saya memperoleh kepercayaan dari masyarakat Indonesia untuk memimpin pembangunan nasional. Semoga apa yang saya lakukan tidak mengecewakan warga Muhammadiyah.”

Tanpa tedheng aling-aling artinya tanpa sembunyi-sembunyi atau dengan terus terang.

Setelah pidato itu banyak orang yang menyatakan dekat Muhammadiyah. Seorang menteri mengaku pernah menjadi anggota pimpinan ranting di desanya. Seorang menteri lain mengaku bukan anggota Muhammadiyah tetapi dia lahir di rumah sakit Muhammadiyah. Pejabat daerah juga menjadi ramah dengan Muhammadiyah.

Pengakuan Pak Harto sebagai bibit Muhammadiyah itu tidak sekadar diucapkan tetapi juga dibuktikan dalam bantuk tindakan nyata. Banyak bantuan moril maupun materiil yang dia berikan dengan diam-diam kepada Muhammadiyah.

Dalam buku “Pak AR dan Jejak-Jejak Bijaknya” tulisan Haidar Musyafa, diceritakan Pak Harto tahun 1970 dalam kunjungan pribadi dan rahasia ke Yogyakarta singgah ke Panti Asuhan Putri Aisyiyah di daerah Serangan Yogyakarta.

Pak Harto mengamalkan surat al-Maun dengan memberi sumbangan cukup besar untuk kepentingan panti asuhan itu. Dalam “Rahasia Cinta Pak Harto kepada Muhammadiyah” tulisan Thawaf Zuharon dinyatakan bantuan ke panti itu terus mengalir meskipun Pak Harto tidak lagi menjadi presiden. Ketika Pak Harto wafat bantuan itu datang dari salah satu yayasan miliknya.

Pada 21 Februari 1979 Pak Harto menyerahkan bantuan Rp 12.750 000 lewat Walikota Yogyakara untuk biaya pembangunan ruang kelas 1V PKU Muhamamdiyah. Beberapa tahun kemudian PKU ingin memperluas lahan rumah sakit.

Tapi harga lahan tinggi. Menurut Pak Sukriyanto, Pak AR—KH Abdul Rozak Fachruddin, Ketua (Umum) PP Muhammadiyah 1968-1990—lalu berkirim surat ke Pak Harto dengan bahasa krama inggil. “Pak AR menyatakan harga tanah itu Rp 250 juta. Pak Harto langsung memberi sedekah pribadinya senilai Rp 250 juta sesuai harga tanah. Bantuan ini tidak banyak diketahui orang karena memang tidak pernah dipublikasikan,” cerita Sukriyanto. Menurutnya ini hanya sebagian kecil dari bantuan Pak Harto kepada Muhamamdiyah.

Pak AR kalau ingin bertemu empat mata dengan Pak Harto atau berkirim surat biasanya melalui Ali Affandi, orang kepercayaan Pak Harto.

Menurut Pak Sukri pernah Pak Harto mengatakan kepada Ali Affandi, ”Jika ada permintaan bantuan dari Muhammadiyah kepada saya pribadi tolong jangan ditolak. Langsung serahkan surat itu kepada saya.”

Mungkin karena melihat sering Muhammadiyah mendapat bantuan, maka Mensegneg Sudharmono memerintahkan anak buahnya supaya bantuan pemerintah dan yayasan dibagi rata agar tidak terjadi ketimpangan di antara ormas-orams Islam yang lain.

Ali Affandi mendengar itu lalu memberi tahu Mensegneg bahwa Pak Harto berpesan kepada dirinya kalau ada surat permohonan dari Muhammadiyah, surat itu harus segera langsung diberikan kepada Pak Harto.

Sudharmono lalu mengatakan, “Ya sudah kalau begitu. Lakukan saja seperti yang diminta Pak Harto.”

Pada tahun 1990 Rektor UMY Dasron Hamid meminta Bupati Bantul mencarikan tanah di wilayahnya untuk membangun kampus yang lebih besar. Bupati menawarkan 25 hektare. Harga per meter Rp 2.500. Seluruhnya Rp 625 juta.

Dasron baru sadar bahwa Muhammadiyah sedang tidak punya uang. Pimpinan Muhamamdiyah merasa tidak enak kepada Bupati yang telah bersusah payah mencarikan lahan jika sampai gagal. Tanah itu di tempat strategis. Semua bingung. Karena tidak menemukan solusi akhirnya dengan berat hati Pak AR berkirim surat kepada Pak Harto.

Nyuwun duka Pak Harto. Lare-lare menika kok kuwanen.” Artinya mohon maaf Pak Harto, anak-anak ini kok terlalu berani.

Surat dalam bahasa Jawa halus itu menceritakan anak-anak ini tidak punya uang kok berani-beraninya mau beli tanah untuk kampus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Isi surat itu Muhammadiyah ingin pinjam uang. Pak AR berjanji akan membayar angsuran secara teratur sesuai kesepakatan.

Sekitar sepekan kemudian, menurut Sukriyanto, surat itu mendapat jawaban. Jika Muhammadiyah ingin pinjam uang, maka pemerintah tidak bisa meminjami. Pak Harto tidak berkenan. Tapi jika Pak Harto diminta bantuan secara pribadi maka dengan senang hati akan memberi bantuan sebesar Rp 500 juta.

Pak AR kaget dan terharu karena pada awalnya dia berniat meminjam, bukan meminta. Tapi malah diberi bantuan cuma-cuma. Jumlahnya sangat besar untuk ukuran saat itu.

Pak AR, Pak Dasron dan para pimpinan Muhammdiyah langsung sujud syukur atas anugerah Allah lewat tangan Pak Harto. Kekurangan 165 juta dikumpulkan dari berbagai pihak. Sekarang di atas tanah itu telah berdiri kampus UMY yang megah.

Muhammadiyah tetap kritis

Meskipun Muhammadiyah banyak menerima bantuan dari banyak pihak, Pak AR selalu bepesan kepada para kader, misalnya kepada Pak Djasman al Kindi, agar Muhammadiyah tetap bebas dan mandiri. Bantuan itu tidak boleh dengan ikatan apapun.

Hubungan baik Pak Harto dengan Muhammadiyah bukan berarti Muhammadiyah tidak bersikap kritis pada kebijakan pemerintah. Apalagi banyak kebijakan Orde Baru yang mengecewakan Muhamamdiyah.

Dalam bidang politik misalnya, Mohammad Roem dilarang memimpin Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Lalu dua tokoh Muhammadiyah Djarnawi Hadikusumo dan Lukman Harun juga dijatuhkan dari Parmusi.

Sejumlah tokoh ditahan dengan tuduhan ikut Komando Jihad. Lalu keharusan Asas Tunggal menggoncangkan internal Muhamamdiyah. Soal Asas Tunggal ini urusannya sangat melelahkan dan banyak membuang energi para pimpinan Muhammadiyah. Terutama energi Pak AR selaku ketuanya.

Alasan pemerintah banyak membantu Muhammadiyah menurut Pak Harto karena Muhammadiyah berperan besar dalam pembangunan dan menciptakan stabilitas politik. Menurut Pak Harto Pak, AR dapat bekerja sama dengan baik dan tanggap terhadap program pemerintah. Pak AR bersungguh-sungguh ikut menyukseskan pembangunan nasional.

Pak AR dan Pak Harto

Hubungan Pak AR dan Pak Harto sangat baik. Bukan hanya antara ketua (umum) Pimpinan Pusat Muhammadiyah dengan Presiden. Tetapi perkawanan dari dua sahabat yang sangat dekat. Ada yang menilai karena keduanya punya banyak kesamaan.

Pak AR dan Pak Harto sama-sama orang Yogya. Sama-sama memahami budaya Jawa. Pak Harto menjunjung tinggi unggah-ungguh Jawa. Pak AR bisa mengimbangi.

Pak AR paham dengan ajaran-ajaran Jawa. Paham literatur berkaitan budaya Jawa. Seperti Serat Wulangreh, Serat Wedhatama, Serat Centini, Serat Hidayat Jati, Babat Tanah Jawa, Wayang Purwa, dan lainnya.

Sama-sama Muhammadiyah. Pak Harto mengaku bibit Muhammadiyah sedang Pak AR ketua (umum) PP Muhammadiyah. Pak AR sebagai orang Jawa tahu mana-mana yang tabu dilakukan dan bagaimana cara nguwongno (mengorangkan) kepada orang yang memegang teguh budaya Jawa.

Ketika Pak AR sakit tampak sekali persahabatan keduanya yang sangat dekat. Pak Harto menaruh perhatian besar. Pak Harto berupaya agar Pak AR mendapat perawatan terbaik.

Pak Harto minta agar Pak AR berobat kerumah sakit Pertamina Jakarta. Dokter Setianegara, direkturnya, diminta menangani langsung. Pak Harto juga menugasi Prof dr Mahar Mardjono, dokter kepresidenan, agar ikut membantu pengobatan Pak AR. Juga Pak Harto memberi fasilitas kepada Pak AR untuk berobat ke RSPAD Gatot Subroto.

Ketika Pak AR dirawat di RS Gatot Subroto Pak Harto sedang berada di Bosnia. Beliau mengirim bunga dengan tulisan semoga Pak AR lekas sembuh. Ketika Pak AR berobat ke Australia Pak Harto juga memperhatikan seluruh kebutuhannya melalui Ali Affandi. Apapun yang dibutuhkan Pak AR langsung Pak Harto mencukupinya.

Ketika mendengar Pak AR wafat, Pak Harto langsung takziah ke Rumah Sakit Islam Jakarta. Beliau berdoa dengan khusyuk dan ikut salat jenazah. Ketika Pak Harto tahu jenazah Pak AR akan dibawa ke Yogya Pak Harto langsung meminjami pesawat Hercules dan memerintahkan AURI membawa Pak AR ke Yogya.

Menurut Pak Sukriyanto wafatnya Pak AR membuat Pak Harto sangat kehilangan. Pak AR adalah seorang sahabat sekaligus teman diskusi yang hangat.

Pak AR sering memberi masukan tentang berbagai hal. Termasuk menyarankan Pak Harto mundur, tidak lagi mencalonkan menjadi presiden. Ini soal sangat peka, tidak ada yang berani menyampaikan. Yang banyak malah menyanjung dan minta Pak Harto bersedia dicalonkan lagi.

Dengan Bahasa Jawa halus. Dengan memahami bahwa Pak Harto orang Jawa tulen yang memegang unggah-ungguh budaya Jawa Pak Harto tidak marah. Malahan berterima kasih karena Pak AR besedia memberi nasihat.

Setelah Pak AR wafat hubungan baik dengan Pak Harto dilanjutkan anak-anaknya. Ketika Pak Harto tidak menjadi presiden—bahkan ketika sudah sakit-sakitan—silaturahmi itu tetapi terjalin.

Ibu Wasilah, putra Pak AR tertua bersama Burhan, anaknya, ke Pak Harto. Ketika itu Pak Harto sudah harus di kursi roda. Beliau mengajak Bu Wasilah foto bersama. Untuk menghargai keluarga Pak AR, Pak Harto berusaha foto sambil berdiri. Tidak duduk di atas kursi roda.

Setiap orang punya kesalahan dan kebaikan. Demikian juga Pak Harto. Punya kesalahan dan punya jasa. Beliau telah menyelesaikan sejarah hidupnya. Apa yang baik dari para tokoh masa lalu bisa menjadi teladan. Sedangkan kesalahan menjadi pelajaran agar kesalahan serupa tidak terulang lagi. [PWMU.CO]

*Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur

Back to top button