Solilokui

Pak Harto, Penggusuran Jin-Demit-Mambang, dan Celana Dalam Nenek

Saat kegelapan turun seolah menjadi tirai yang menyelimuti kampung, dan pekat seketika menjadi ruang yang tak bisa sepenuhnya dilawan. Di dalam rumah atau halamannya, orang kebanyakan hanya bisa menyalakan pelita untuk menolak  gulita.

JERNIH– Di zaman saya kanak-kanak, periode sebelum terlaksananya program Listrik Masuk Desa (LMD) yang dicanangkan Presiden Soeharto tahun 1983, tak banyak yang bisa dilakukan manakala malam tiba.

Saat kegelapan turun seolah menjadi tirai yang menyelimuti kampung, dan pekat seketika menjadi ruang yang tak bisa sepenuhnya dilawan. Di dalam rumah atau halamannya, orang kebanyakan hanya bisa menyalakan pelita untuk menolak  gulita.

Darmawan Sepriyossa

Keluarga-keluarga yang rada berada umumnya menyalakan lampu semprong–lampu minyak tanah dengan penutup api dari gelas kaca gembung, yang bisa diatur kadar terangnya. Hanya orang kaya yang saat itu memiliki lampu petromaks (dinamai sesuai merknya, seperti penyebutan Sanyo pada pompa air), atau bahkan berlangganan listrik meski hanya berdaya 110 volt, dari Pabrik Gula Kadipaten, sebelum orang-orang yang linglung dan marah tanpa sebab menghancurkannya di tahun 1998. Dalam satu kampung, jumlah mereka tak lebih dari banyaknya jari-jari di tangan seseorang. 

Minyak tanah, BBM yang paling banyak digunakan rakyat kala itu, harganya kalau tak salah cuma sekitar Rp 25 per liter. Itu pun jauh lebih tinggi dibanding harga tahun 1965, yang menurut tulisan sebuah media massa tahun 2008 hanya 30 sen atau Rp 0,3. Media itu menulis, dihitung sejak 1965 hingga 2008, harga BBM Indonesia sudah naik 1.000.000 persen alias 10 ribu kali lipat!

Kegelapan membuat orang biasa hanya rela keluar rumah untuk shalat berjamaah. Umumnya sejak maghrib mereka telah berada di langgar, mushala atau masjid, sampai usai waktu Isya. Hanya para pecandu hiburan—menonton bioskop di kota yang lumayan jauh jaraknya, atau menonton wayang golek, reog dan bangreng alias ronggeng di sebuah hajatan di kampung lain, yang masih memaksakan keluar malam-malam.

Karena tak banyak kampung yang berinisiatif membangun penerangan jalan, orang-orang membawa colen—obor minyak tanah dari batang bambu, ke masjid.  Bila tergesa, mereka hanya akan berpenerangan selaput batang atau kadang mayang kelapa yang dibakar. ‘Obor’ jenis ini disebut obor baralak, dan tentu saja nyalanya tak bisa bertahan lama.

Dalam budaya gulita, hantu, jurig, jin, gergasi dan mambang tentu merajalela. Dilestarikan dengan cerita-cerita pengantar tidur, yang membuat anak-anak seketika bergulung menutupi diri dengan sarung, tak lagi lompat-lompat di ranjang besi, sisa dari trend tahun 1950-60-an.

Manakala burung-burung malam berteriak, terutama Koreak dan Sirit Uncuing, segera setiap nenek ‘men-camahi’ cucu-cucu mereka. Caranya, tangan si nenek mengusap milik pribadinya, lalu tangan yang telah ‘berkekuatan’ itu pun diusap-usapkan ke wajah para cucunya. Senyampang itu, para nenek akan merapal mantera yang saat ini hanya saya hafal awalnya:

“Hiiiriii…hiriii

Jurig nyingkir setan lumpat…”

Berapa kali? Tergantung keyakinan setiap nenek akan kekuatan dari barang miliknya itu.  Saat itu orang-orang—setidaknya di kampung masa kecil saya, Cibasale–yakin bahwa suara Koreak dan Sirit Uncuing itu menandakan adanya dedemit yang hendak menculik anak-anak balita. Camahlah yang bisa menghalaunya. Seolah ada keyakinan bahwa bau nenek akan mampu membuat jin menyingkir, setan segera mencari tempat untuk migrasi.

Bahkan pada beberapa kampung, tak hanya anak-anak yang dicamahi para nenek, baju-baju balita yang masih tergantung di jemuran pun akan segera diambil, dibawa ke dalam rumah sebagai bentuk penyelamatan.

Saya masih bisa mengingat apa yang selalu nenek lakukan manakala dalam perjalanan—siang hari, kami melewati jembatan kecil, pojokan kali yang cenderung menampilkan gelap dalam keteduhan pohon, atau manakala lewat pohon besar. Cukup sering, karena biasanya setiap hari libur, saya akan ikut nenek dan kakek dari pihak ayah ke ‘leuweung’, hutan kecil tempat penduduk memanfaatkannya untuk bercocok tanam atau mencari kayu bakar.

Hiiiri…hiiiiri…Jurig nyingkir setan lumpat, jauh…jauh ti anak-anak aing!” kata nenek selalu.  Tetapi meski nadanya mengusir, lanjutan mantera itu sesungguhnya meminta izin lewat.

Jangan berpikir kakek-nenek saya kalangan yang sangat memegang teguh urusan klenik. Meski rada-rada animis, mereka sangat percaya bahwa satu-satunya Tuhan yang layak disembah, ya hanya Pangeran Nu Agung Allah SWT. Setidaknya, mereka juga rajin shalat, bahkan shalat tahajud di dini-dini hari.

Ada untungnya juga bagi saya. Meski kehidupan zaman itu agak seret, setiap malam Jumat saya masih bisa ngopi, minum air kepala muda dan menikmati juadah alias kue-kue yang dibeli nenek di pasar. Syaratnya, saya harus sabar menunggu bada Isya.

Biasanya bada maghrib di malam Jumat, Mama—kakek saya, akan masuk ‘goah’ atau kamar persediaan, tempat beras, buah-buahan dan palawija disimpan. Malam Jumat adalah waktu ‘nyuguh’, berterima kasih kepada Allah, sembari mengingat para ‘karuhun’ atau leluhur yang telah wafat. Dengan tekun dan serius Mama akan ngukus  alias membakar kemenyan. Wanginya yang khas, seolah membawa siapa pun yang menghirupnya ke ‘alam tengah’, perbatasan alam dunia dan akhirat. 

Mama selalu memulai mantera—bagi saya lebih merupakan doa, dengan syahadat dan shalawat. Baru setelahnya, ia mulai menyapa para leluhur, mulai dari buyut yang telah wafat, hingga Mbah Terong Peyot, Mbah Kondang Hapa, Prabu Kian Santang, bahkan Syekh Abdul Kadir al-Jilani.

Saya akan berada di samping beliau saat doa dipanjatkan. Ikut pula manakala beliau keluar goah, mempersilakan para leluhur itu ngopi. Bada Isya nanti, giliran saya mereguk semuanya, karena adik kembar saya lebih sering menolak menikmatinya. [dsy]

Back to top button