Sistem perpajakan yang ada saat ini secara tidak langsung menciptakan subsidi terselubung dari rakyat jelata kepada orang kaya. Kenaikan PPN menjadi 12 persen hanya akan memperparah ketimpangan ini, sementara kontribusi dari kelompok berpenghasilan tinggi tetap rendah. Kondisi ini mencerminkan kegagalan pemerintah dalam mengoptimalkan sumber-sumber pajak yang lebih adil dan progresif.
Oleh : Rahmat Mulyana*
JERNIH– Indonesia tengah menghadapi paradoks besar dalam sistem perpajakannya. Sistem yang seharusnya menjadi instrumen pemerataan justru menciptakan ketimpangan baru, di mana beban pajak lebih berat ditanggung oleh masyarakat umum melalui Pajak Pertambahan Nilai (PPN), sementara kontribusi dari kelompok berpenghasilan tinggi masih jauh dari optimal. Kondisi ini menggambarkan tantangan besar dalam menciptakan keadilan perpajakan di negeri ini.
Dominasi PPN dalam Struktur Pajak
Berdasarkan data Kementerian Keuangan 2024, penerimaan pajak Indonesia masih sangat bergantung pada PPN, yang menyumbang sekitar 35 persen dari total penerimaan pajak negara. Rinciannya, PPN Dalam Negeri berkontribusi Rp275,69 triliun (23,04 persen), sementara PPN Impor menyumbang Rp176,33 triliun (14,74 persen). Sebaliknya, pajak yang umumnya dibayarkan oleh kelompok berpenghasilan tinggi, seperti Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi, hanya menyumbang Rp11,44 triliun, atau kurang dari satu persen—sekali lagi, satu– dari total penerimaan pajak.
Ketergantungan yang besar pada PPN itu menunjukkan bahwa masyarakat umum menjadi tulang punggung utama sistem perpajakan Indonesia. Hal itu menciptakan beban yang tidak proporsional, mengingat PPN adalah pajak konsumsi yang bersifat regresif—membebani masyarakat berpenghasilan rendah secara relatif lebih besar daripada kelompok kaya.
Ketimpangan Tarif dan Tax Ratio
Paradoks ini semakin nyata ketika membandingkan tarif PPN dengan tax ratio atau rasio pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Indonesia berencana menaikkan PPN menjadi 12 persen pada tahun 2025, tetapi tax ratio masih stagnan di angka sembilan persen. Ini berarti kontribusi pajak dari sumber non-PPN, seperti PPh dan pajak lainnya, masih jauh dari potensi maksimalnya. Sebagai perbandingan, Singapura memiliki tax ratio 12,3 persen dengan tarif PPN (GST) hanya tujuh persen. Artinya, kontribusi pajak di Singapura lebih banyak berasal dari sumber-sumber non-PPN, mencerminkan sistem perpajakan yang lebih progresif dan berkeadilan.
Data dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) 2024 juga menunjukkan bahwa kekayaan 50 orang terkaya di Indonesia setara dengan kekayaan 50 juta warga lainnya. Potensi pajak kekayaan dari 50 orang terkaya tersebut diperkirakan mencapai Rp81,6 triliun per tahun—hampir tujuh kali lipat dari realisasi penerimaan PPh Orang Pribadi yang hanya Rp11,44 triliun.
Struktur Pajak yang Tidak Seimbang
Laporan Kementerian Keuangan dalam APBN KiTa September 2024 mengungkapkan struktur penerimaan pajak Indonesia yang timpang. Berikut kontribusi masing-masing jenis pajak terhadap total penerimaan:
-PPN Dalam Negeri: 23,04 persen
-PPh Badan: 17,78 persen
-PPN Impor: 14,74 persen
-PPh Pasal 21: 14,72 persen
-PPh Final: 7,35 persen
-PPh Pasal 26: 5,14 persen
-PPh Pasal 22 Impor: 4,26 persen
-PPh Orang Pribadi: 0,96 persen
Meskipun sistem PPh dirancang progresif berdasarkan tingkat penghasilan (UU No. 7/2021), realisasi penerimaan menunjukkan bahwa kontribusi dari kelompok berpenghasilan tinggi masih jauh dari harapan. Sebaliknya, PPN terus menjadi andalan utama, meskipun lebih membebani masyarakat berpenghasilan rendah yang sebagian besar pendapatannya digunakan untuk konsumsi.
Potensi Pajak Kekayaan yang Tidak Tergarap
Paradoks perpajakan ini menjadi lebih mencolok ketika melihat potensi pajak kekayaan. CELIOS mencatat bahwa potensi pajak kekayaan Rp81,6 triliun dari 50 orang terkaya dapat dimanfaatkan untuk berbagai program kesejahteraan, seperti:
-Program makan siang gratis untuk 15 juta orang selama setahun.
-Pembangunan 339.000 rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah.
-Distribusi 558 juta paket bantuan beras.
-Pembiayaan kuliah untuk 18,5 juta mahasiswa.
-Pembangunan 877 pusat layanan kesehatan jiwa.
Namun, potensi besar ini belum tergarap dengan optimal. Hal ini disebabkan oleh kurangnya kebijakan pajak kekayaan yang progresif, seperti pajak berbasis nilai harta, pajak warisan, atau pajak atas aset finansial seperti saham, sebagaimana direkomendasikan oleh IMF dalam laporan “How to Tax Wealth” (2024).
Subsidi Terselubung untuk Orang Kaya
Sistem perpajakan yang ada saat ini secara tidak langsung menciptakan subsidi terselubung dari rakyat jelata kepada orang kaya. Kenaikan PPN menjadi 12 persen hanya akan memperparah ketimpangan ini, sementara kontribusi dari kelompok berpenghasilan tinggi tetap rendah. Kondisi ini mencerminkan kegagalan pemerintah dalam mengoptimalkan sumber-sumber pajak yang lebih adil dan progresif.
Rekomendasi Menuju Keadilan Perpajakan
Untuk menciptakan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan, Indonesia perlu melakukan beberapa langkah strategis:
1.Mengevaluasi Kenaikan PPN
Rencana menaikkan PPN menjadi 12 persen harus ditinjau kembali, mengingat dampaknya yang signifikan terhadap masyarakat umum.
2.Mengoptimalkan PPh dari Kelompok Kaya
Pemerintah harus meningkatkan efektivitas pemungutan PPh, terutama dari kelompok berpenghasilan tinggi, melalui pengawasan yang lebih ketat dan administrasi yang lebih baik.
3.Menerapkan Pajak Kekayaan
Pajak berbasis nilai harta, pajak warisan, dan pajak atas aset finansial perlu dipertimbangkan sebagai instrumen pemerataan.
4.Meningkatkan Basis Pajak Non-PPN
Upaya untuk memperluas basis pajak dari sektor-sektor non-PPN, seperti PPh Badan dan Pajak Kekayaan, harus menjadi prioritas.
5.Memperbaiki Administrasi Perpajakan
Reformasi administrasi perpajakan, termasuk penggunaan teknologi digital untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak, sangat diperlukan.
Dengan tax ratio yang masih di bawah tarif PPN, jelas bahwa sistem perpajakan Indonesia saat ini lebih banyak membebani masyarakat umum melalui PPN, sementara kontribusi dari kelompok berpenghasilan tinggi masih jauh dari optimal. Kondisi ini menciptakan subsidi terselubung dari rakyat jelata kepada orang kaya, sebuah paradoks yang harus segera dibenahi. Reformasi perpajakan yang progresif dan berkeadilan tidak hanya akan meningkatkan penerimaan negara, tetapi juga menciptakan masyarakat yang lebih sejahtera dan adil. []
*Dr Rahmat Mulyana, dosen IAI Tazkia