Solilokui

Part II Covid, Catatan Harian 2 : Jadilah Raja Tega

Bila perlu lockdown, Australia dan Selandia Baru terbukti berhasil. Saya iri sekali melihat foto kawan-kawan saya kemana-mana tanpa masker. Dan sekarang Turki melakukan kebijakan yang cukup berani, kebijakan draconian melakukan lockdown sebelum sesal kemudian.

Oleh : Dian Islamiati Fatwa

JERNIH– Kamis malam ketika di IGD, Bang Zul, Zulkifli Hasan–Ketua Umum PAN– menelepon menanyakan kondisi terakhir. Saya tidak bisa menyelesaikan pembicaraan, karena sesak dan batuk, sampai hampir muntah. Kami lalu banyak berkomunikasi lewat WA agar saya tidak banyak bicara.

Dian Islamiati Fatwa

I paid the price. Saya tertular dari cluster keluarga yang semua masuk rumah sakit dan satu meninggal. Dan saya sempat bertemu dengan salah satu anggota keluarga yang negatif, sebab saya tidak tega.

“Kamu kok Jawa banget Mbak, wong sudah berpuluh tahun di Australia,”kata Beawiharta, kawan wartawan lama ketika tadi pagi kami ngobrol. Tidak sesimple itu. Di Australia saya bisa bilang ‘no’ means ‘no’. Infrastruktur segala rupa termasuk hotline dan fasilitas kesehatan bisa tuntas dengan telepon atau mendaftar lewat online. Tidak direspon, well, I’ll see you in the ballot box. Sampai jumpa di bilik suara. Pemerintah, anggota DPR bisa ambyar, mereka harus mendengar dan melayani rakyat, sang tax-payer.

Nah kalau  di Indonesia, you know-lah, wallahu alam.

Saya percaya pemerintah telah bekerja namun memang belum sempurna. Komunikasi publik masih belepotan sehingga menimbulkan kebingungan dan kita punya tugas bersama mengoreksi secara konstruktif.

Kembali ke raja tega. Ada banyak layer antropologi ke-Indonesiaan yang harus menjadi banyak pertimbangan sebelum saya mengatakan ‘no‘. It tests your leadership actually.

Warren Buffet, orang ke-7 terkaya di dunia mengatakan kunci suksesnya menjadi orang kaya, selalu bisa mengatakan ‘no‘. Yah, Buffet tinggal di Amerika, coba dia tinggal di Indonesia. Pasti mikir.

Sejujurnya kalau saya boleh memilih, saya akan bilang ‘no’, to send a clear message daripada string someone along or give them ‘slow no’.

Namun di musim pandemi kali ini, jadilah raja tega. Tega nggak nengok kawan sakit, tega nggak datang takziah, tega nggak mudik sungkem ke orang tua, tega nggak ‘munggahan‘, tega nggak ziarah ke kubur, tega nggak kumpul-kumpul.

Belajarlah dari kasus India. Bila kawan kalian tampak tega, don’t be judgmental. Itu adalah langkah yang tepat. Melindungi dirinya, keluarga, kawan kantor dan masyarakat luas.

Kirim kue atau bunga, atau bisa juga pesan WA yang penuh dengan ekspresi suasana kebatinan atau simbol hati, tanda sayang.

Asal komunikasi tetap berjalan. Paling gampang memang telepon, bisa menangkap suara renyah kerabat atau orang tua di bagian bumi lain mengobati rasa rindu.

“Ah, Ibu tinggal di Jakarta, saya ini di Maba, Halmahera Timur. Mau laporan keuangan ke Jakarta, kami harus naik mobil 5 jam, lalu naik perahu, baru dapat signal untuk upload data,”kata anggota DPRD Halmahera Timur.

Saya memang harus mingkem dan banyak mendengar bila bertemu saudara-saudara dari Indonesia Timur. Kejujuran hasil pembangunan republik ini kadang terlontar tanpa sengaja, termasuk soal signal yang muntup-muntup. Padahal ini hal vital saat pandemi berlangsung.

Bagi Anda pemegang keputusan, boss-boss, para CEO, direktur perusahan, bupati-walikota dan pemimpin bangsa. Anda punya duty of care melindungi anak buah, staf dan rakyat. Tanggung-jawab ini akan melekat sampai nanti berhadapan dengan Tuhan.

Bila perlu lockdown, Australia dan Selandia Baru terbukti berhasil. Saya iri sekali melihat foto kawan-kawan saya kemana-mana tanpa masker. Dan sekarang Turki melakukan kebijakan yang cukup berani, kebijakan draconian melakukan lockdown sebelum sesal kemudian.

Di tingkat perusahaan, dalam unit organisasi yang lebih kecil, WFH dengan orientasi result adalah kebijakan yang tepat asal porporsional. Jangan juga back-to-back meeting zoom sampai jam 11 malam, sampai anak buah klenger dan overwhelmed.

Lesson to learn: jadilah raja tega for the time being. Jangan seperti saya, yang akhirnya harus terbaring di rumah sakit.

Akan banyak kemafhuman dan orang-orang yang akan berlapang dada menerima ‘ketegaan’ kita.  Benar kata James Douglas, care shouldn’t start from the emergency room! [  ]

1 May 2021–RS Siloam Mampang, Duren Tiga

Back to top button