Dalam “The rise and fall of Argentina”, Rok Spruk menyebut kegagalan Argentina adalah “… menyelesaikan transisi menuju demokrasi terbuka yang berlandaskan pada penegakan hukum”. Silih bergantinya pemerintahantelah menghambat pengembangan institusi politik dan ekonomi secara berkelanjutan. Kecurangan pemilu telah membuat terkikisnya sistem checks-and-balances.
Oleh : Ahmad Muchlis*
JERNIH– Negara miskin yang paling kaya di dunia, the richest poor country in the world. Begitulah julukan yang diberikan dalam sebuah artikel di majalah National Geographic edisi Agustus 1986. Negara yang dimaksud adalah Argentina, negara yang sebulan sebelum edisi tersebut beredar baru saja menjuarai Piala Dunia sepakbola untuk kali kedua.
Artikel Bryan Hodgson, “Argentina’s New Beginning” itu menceritakan tentang beratnya tantangan yang dihadapi Presiden Raul Alfonsin yang terpilih di penghujung 1983. Alfonsin, seorang sipil ahli hukum, mewarisi Argentina yang selama periode 1976-1983 berada di bawah kekuasaan junta militer.
Selama masa hampir delapan tahun berkuasa, junta militer menjalankan pemerintahan dengan tangan besi. Pelanggaran hak asasi manusia terjadi secara brutal. Diperkirakan sekitar 10 ribu orang diculik, disiksa dan dibunuh oleh tentara dan polisi.
Junta militer juga mewariskan perekonomian yang berantakan. Guido di Tella menyebutkan bahwa di awal masa jabatannya, pemerintahan Alfonsin antara lain menghadapi utang luar negeri yang mencapai sekitar 70 persen produk domestik bruto (PDB), beban tagihan pinjaman sekitar delapan persen PDB, defisit fiskal lebih dari 12 persen PDB, tingkat inflasi tinggi yang sulit dikendalikan dengan kenaikan harga barang sampai melampaui 17 persen dalam sebulan, serta uang beredar berada pada tingkat terendah (The Political Economy of Argentina, 1946-83, hal. 320). Dalam istilah Hodgson, Argentina ketika itu sudah bangkrut. Pemerintahan Alfonsin pun segera menjadi pasien IMF.
Walaupun menghadapi berbagai gejolak di awal berdirinya, Argentina adalah negara yang menjanjikan. Konstitusi 1853 adalah konstitusi yang progresif. Imigran berdatangan untuk memanfaatkan potensi negara muda itu. Pada awal abad ke-20, Argentina tergolong negara terkaya di muka bumi. Pendapatan per kapita setara dengan negara-negara Eropa Barat. Bahkan, pada akhir Perang Dunia Kedua, produk nasional bruto Argentina, total ataupun per kapita, masih berada di posisi kedua seantero Amerika, hanya kalah dari Amerika Serikat. Saat ini pun Argentina termasuk produsen hasil pertanian dan peternakan utama dunia.
Junta militer yang berkuasa pada periode 1976-1983 memang bertanggung jawab, tetapi tidak sepenuhnya. Negara ini mengalami kudeta pertama di tahun 1930. Sejak itu pemerintahan silih berganti, tetapi masa-masa sulit tidak pernah meninggalkan Argentina, sampai saat ini. Di abad ke-21 ini saja, Argentina mengalami gagal bayar utang pemerintah tiga kali, yaitu tahun 2001, 2014 dan 2020.
Mengapa Argentina sampai mengalami hal itu?
Dalam “The rise and fall of Argentina”, Rok Spruk menyebut kegagalan Argentina adalah “… menyelesaikan transisi menuju demokrasi terbuka yang berlandaskan pada penegakan hukum” (Latin America Economic Review 28:16, 2019). Itulah penyebabnya. Silih bergantinya pemerintahan, baik melalui jalan demokratis maupun kudeta, telah menghambat pengembangan institusi politik dan ekonomi secara berkelanjutan. Kecurangan pemilu telah membuat terkikisnya sistem checks-and-balances. Kerangka kelembagaan yang secara de jure dan de facto tidak stabil menumbuhkan favoritisme pemerintah kepada kelompok-kelompok kepentingan yang dominan, serta mendorong pencarian keuntungan semata dengan mengabaikan kontribusi pada aktivitas ekonomi produktif. Hal itu berujung kepada produktivitas yang mandek dan pertumbuhan ekonomi yang buruk.
Pengalaman Argentina ini boleh jadi ekstrem. Namun ia memberi pelajaran berharga yang patut kita ambil hikmahnya. Dari Konstitusi 1853 sampai kudeta militer pertama tahun 1930 ada rentang waktu 77 tahun, kurang lebih sama dengan usia negara kita. Sebagaimana Argentina, transisi yang kita alami menuju demokrasi belum tuntas. Kelembagaan legislatif kita masih perlu mencari bentuk yang lebih baik. Sistem checks-and-balances belum sepenuhnya berjalan karena kelembagaan eksekutif masih lebih dominan.
Checks-and-balances memerlukan adanya kelompok oposisi yang efektif. Kelompok ini tidak mesti berbentuk fraksi oposisi parlementer. Kelompok masyarakat di luar parlemen yang bersikap kritis terhadap pemegang kewenangan perlu didorong untuk eksis dengan memberikan kebebasan berpendapat secara bertanggung jawab.
Di dalam pemerintahan sendiri seharusnya ada perbedaan pendapat dan sikap kritis. Pandangan berbeda dari bawahan perlu mendapat saluran untuk sampai kepada pengambil keputusan. Pemerintah hendaknya membangun dan mengembangkan mekanisme yang memungkinkan hal ini terjadi.
Sikap bahwa bawahan hanyalah pelaksana titah atasan tidak sepatutnya dipertahankan. Kultur birokrasi pemerintahan hendaknya berlandaskan pada rasa tanggung jawab aparatnya, dalam pengertian responsibility, bukan semata-mata accountability. Loyalitas aparat pemerintahan seharusnya ditujukan kepada negara, bukan kepada pemerintah atau partai politik.
Negara tidak pernah salah. Pemerintah sebagai penyelenggara negaralah yang dapat melakukan kesalahan. Kesalahan-kesalahan pemerintah yang membuat negara Argentina direndahkan dengan julukan “negara miskin yang paling kaya di dunia.”
Argentina masih bisa membanggakan diri sebagai tiga kali juara dunia sepakbola, olahraga paling populer sejagat. Kalau Indonesia yang mengalami nasib buruk seperti Argentina itu, prestasi apa yang bisa kita banggakan? [ ]
*Dosen matematika, berkhidmat di Bandung