
Di berbagai ruang diskusi yang digelar GREAT Institute, persoalan transformasi digital terus mencuat. Faktanya jelas bahwa sesungguhnya dunia tengah menghadapi digital gap, “penjajahan” kawasan melalui berbagai akses digital, juga lahirnya digital war terutama melalui evolusi layanan digital bernama artificial intelligence (AI).
JERNIH–Salah satu butir dalam Asta Cita Presiden Prabowo Subianto menitikberatkan pada penguatan teknologi. Dalam konteks era digital teknologi menjadi basis kuat untuk mendukung berbagai bidang yang menjadi perhatian pemerintah.
Teknologi digital merupakan back bone untuk penyelenggaraan roda kepemerintahan. Dalam praktiknya, sejumlah misi Asta Cita menempatkan digitalisasi dan pemberdayaan SDM sebagai alat penting untuk menyukseskan program-program sosial-ekonomi dan strategis pemerintahan.
Persoalan yang dihadapi Indonesia di bidang transformasi digital setidaknya dapat dikelompokkan menjadi tiga hal. Pertama, kesenjangan akses yang masih besar. Persentase orang dewasa yang belum punya akses internet tetap signifikan. Data World Bank menyoroti bahwa pertumbuhan pengguna internet pesat, tetapi digital divide antara kota dan desa dan antara kelompok pendapatan tinggi dan rendah tetap besar.
Akibatnya langsung berpengaruh pada rendahnya literasi masyarakat. Bursah Zarnubi, Ketua APKASI sekaligus Bupati Lahat pada diskusi yang digelar GREAT Institute Juni silam, menyoroti rendahnya literasi bangsa. “Kita peringkat 70 dari 82 negara menurut PISA. Rata-rata baca hanya 35 menit sehari.”
Dari sisi infrastruktur, yang merupakan kelompok persoalan kedua, kualitas dan stabilitas infrastruktur belum merata. Ketersediaan serat optik, cakupan fixed broadband, kapasitas data center, dan kualitas layanan seluler (termasuk 5G) masih menunjukkan disparitas antardaerah. Sejumlah laporan teknis menggarisbawahi kebutuhan investasi tambahan pada infrastruktur dasar.
Meskipun upaya Komdigi lewat BAKTI telah mengupayakan pengisian akses jaringan dan informatika ke kawasan 3T (tertinggal, terdepan, terluar) ternyata masih membutuhkan waktu jika menganut performa jaringan yang memadai. Ingat, hari ini arus lalu lintas data nasional begitu tinggi dengan beban data yang semakin besar.
Di tengah dua upaya di atas, masih ditambah lagi dengan persoalan keamanan siber juga pemanfaatan telekomunikasi yang salah seperti penggunaan akses judi online. Indonesia dihadapkan pada tantangan regulasi, tata kelola, dan keamanan siber. Sementara percepatan digital menuntut kerangka regulasi yang modern (data protection, tata kelola cloud, interoperabilitas layanan publik) dan peningkatan kapabilitas pertahanan siber pada level pemerintahan dan sektor privat.
Di berbagai ruang diskusi yang digelar GREAT Institute, persoalan transformasi digital terus mencuat. Faktanya jelas bahwa sesungguhnya dunia tengah menghadapi digital gap, “penjajahan” kawasan melalui berbagai akses digital, juga lahirnya digital war terutama melalui evolusi layanan digital bernama artificial intelligence (AI).
Dalam pemikiran GREAT Institute tersebut memunculkan pula peta faktor yang menghambat transformasi itu sendiri. Peta ini mengelompokkan secara jelas dan detil faktor-faktor penghambat tersebut. Apa saja?
Keterbatasan Infrastruktur Fisik
Harus diakui kurangnya serat optik ke daerah terpencil, backhaul yang mahal, dan kapasitas data center domestik yang belum memadai. Sementara jaringan telekomunikasi dan informatika yang paling akomodatif sesungguhnya adalah serat optik. Jaringan ini tidak saja unggul dalam hal kecepatan arus transfer data namun juga jauh lebih stabil dibandingkan nirkabel, termasuk satelit.
Keterjangkauan dan Ekonomi Skala
Infrastruktur telekomunikasi untuk proses digitalisasi itu sendiri merupakan biaya padat modal. Ongkosnya sangat mahal, seperti anggaran pembelian perangkat misalnya. Akibatnya biaya langganan fixed broadband mempengaruhi daya beli masyarakat untuk menahan adopsi layanan digital yang lebih produktif.
Fragmentasi Ekosistem
Di lapangan seringkali tumpang tindih antara pendanaan dan koordinasi. Peran berbagai pemangku kepentingan seperti pemerintah pusat dan daerah, BUMN, operator swasta, investor asing perlu dikoordinasikan untuk menghindari duplikasi dan gap layanan.
Kesenjangan Keterampilan Digital
Banyak angkatan kerja yang belum tersertifikasi keterampilan digital. Padahal talenta digital di Tanah Air bukannya minim. Jumlahnya melimpah. Akibat hal ini menurunkan kemampuan negara memanfaatkan teknologi untuk produktivitas dan inovasi.
Regulasi yang Belum Sinkron
Teknologi tanpa payung hukum berupa regulasi akan menjadi liar. Kecepatan respon atas kemajuan teknologi dan lahirnya regulasi yang mampu beradaptasi dengan teknologi terbaru menjadi krusial. Kebutuhan pembuatan aturan yang memfasilitasi (bukan menghambat) cloud, data center, fintech, e-government, sekaligus melindungi privasi dan keamanan sungguh dinanti.
Percepatan transformasi digital yang inklusif akhirnya beradu dengan laju pembuatan kebijakan itu sendiri di saat produk teknologi yang terus membombardir. Karenanya agenda teknologi digital nasional seharusnya telah menyiapkan berbagai solusi strategis.
Sejumlah gagasan yang muncul dari ruang diskusi GREAT Institute menawarkan strategi yang pragmatis, prioritas, dan dapat dioperasionalkan untuk memperkuat ekosistem teknologi digital nasional.
Diawali dengan percepatan infrastruktur inti (backbone, backhaul dan edge). membangun jaringan serat optik nasional tambahan dan titik-titik peering regional melalui skema pembiayaan campuran. Juga mendorong pembangunan data center lokal dan kawasan cloud nasional (untuk menampung data pemerintahan dan industri strategis) lewat insentif fiskal dan kemudahan perizinan.
Di daerah-daerah baru dan terpencil menjadi perhatian, terutama soal cakupan dan keterjangkauan (Demand-side). Tidak cukup dengan hal itu, di kawasan ini perlu diperluas program subsidi atau voucher broadband untuk rumah tangga berpendapatan rendah. Caranya dapat menggunakan skema universal service obligation (USO) yang lebih fokus pada fixed broadband di daerah tertinggal. Sehingga memungkinkan untuk meningkatkan program literasi digital dan pemberian perangkat murah (program kerja sama dengan industri).
Dari sisi SDM, pengembangan talenta digital mesti jadi program bersama. Bentuknya berupa program skilling dan reskilling skala besar. Menerbitkan pula sertifikasi kompetensi digital untuk pelajar, tenaga kerja, dan UKM (kolaborasi kampus, pelatihan industri, bootcamps). Bagi perusahaan yang sadar dan melakukan upskilling perlu diberi insentif.
Sedangkan untuk pelaku usaha khususnya UKM disuntik dengan akselerator treansformasi digital, macam marketplace, integrasi pembayaran digital, hingga pembukuan digital. Stimulus juga perlu diberikan kepada startup deeptech dan scale-up lokal berupa akses modal, akses pasar pemerintah, dan program inkubasi.
Namun semua itu bisa saja menghadapi persoalan serius akibat serangan keamanan siber. Ketahanan digital sebagai benteng wajib hadir sepanjang waktu tanpa kenal lelah. Maka kehadiran CERT (Computer Emergency Respons Team) nasional maupun daerah yang lebih kuat dengan pelatihan respons insiden skala nasional yang reguler. Juga pemberlakuan standar keamanan untuk penyedia infrastruktur penting.
Agar transformasi teknologi digital lebih progresif sesuai amanat Asta Cita, tentulah diperlukan reformasi regulasi dan tata kelola digital. Terutama dalam soal percepat pembentukan dan penyempurnaan aturan perlindungan data pribadi, interoperabilitas layanan publik, serta regulasi cloud dan data center. Di proses ini juga terkait pembentukan digital regulation sandbox untuk fintech, healthtech, edtech, agar inovasi diuji sebelum di-scale-up.
Strategi tanpa KPI bak berjalan tanpa tujuan. KPI dapat meliputi hal teknis dan kebijakan, seperti umpamanya; internet penetration rate, kecepatan akses internet baik fixed maupun broadband, digital skill index, indeks ketahanan siber dan lainnya.
Lewat pemikiran ini GREAT Institute menawarkan peta jalan dan strategi. Transformasi digital bukan sekadar modernisasi teknologi, melainkan upaya membangun kedaulatan digital yang inklusif, tangguh, dan berdaya saing.
“GREAT mengawal arah, menjaga agar tak melenceng,” ujar Dr. Syahganda Nainggolan, Ketua Dewan Direktur GREAT Institute. (*)






