Solilokui

Pendidikan yang Berkebudayaan

Pendidikan harus memberikan kapabilitas agar manusia dapat melampaui jangkauan teknologi dan data, dengan memberikan wawasan kemanusiaan dan kebijaksanaan. Peserta didik harus menguasai cara kerja baru dengan kemampuan untuk mendekap teknologi, bukan membuat diri jadi mesin. Dengan penguasaan teknologi anak-anak masa depan harus bisa menemukan “rumah pesanggrahan” (home), bukan menjerumuskannya ke pengasingan.

Oleh     : Yudi Latif

JERNIH–Saudaraku, buku “Pendidikan yang Berkebudayaan” menyiapkan visi pembangunan kualitas hidup manusia Indonesia yang dapat berkembang kreatif-inovatif ke masa depan seraya berakar kuat pada nilai-nilai budi kemanusiaan.

Ibarat budi daya tanaman. Pohon ideal itu berakar dalam, berbatang tinggi, bercabang rapi, berdaun rindang, berbuah lebat. Akarnya akhlak-karakter mulia, batangnya wawasan ketinggian pengetahuan, cabang-rantingnya keterampilan dan kecakapan tata kelola, daunnya kerukunan-kolaboratif, buahnya kreativitas inovasi.

Yudi Latif

Konsepsi pendidikan berkebudayaan menjadi kunci memasuki masa depan. Seperti diingatkan Gerd Leonhard dalam Film Change. Pada masa ketika disrupsi teknologis jadi normalitas, segala sesuatu yg tak bisa didigitalisasi jadi sangat penting.

Dengan artificial intelligence, big data dan connectivity, hal yang bersifat teknis-taktikal bisa dikerjakan mesin. Pendidikan lebih memberikan perhatian pada sesuatu di luar jangkauan mesin.

Karakter, etika, etos kerja, kreativitas, imaginasi, intuisi, emosi, menjadi fokus perhatian. Mesin memang bagus dalam simulasi, namun tidak dalam proses “menjadi”. Teknologi merepresentasikan “bagaimana” berubah, tapi tidak soal “mengapa”.

Pendidikan harus memberikan kapabilitas agar manusia dapat melampaui jangkauan teknologi dan data, dengan memberikan wawasan kemanusiaan dan kebijaksanaan. Peserta didik harus menguasai cara kerja baru dengan kemampuan untuk mendekap teknologi, bukan membuat diri jadi mesin. Dengan penguasaan teknologi anak-anak masa depan harus bisa menemukan “rumah pesanggrahan” (home), bukan menjerumuskannya ke pengasingan.

Tentang buku ini, budayawan Prof. Dr. Mudji Sutrisno memberikan komentar. “Saya yang mengamati tulisan-tulisan Yudi Latif sebagai pemikir, pendidik dan budayawan, saya catat tesisnya mengenai manusia Indonesia yang diperjuangkan via pencerahan yaitu: yang fajar nalar (cerdas budi dan bening moral serta jernih nurani). Kini buku Pendidikan yang Berkebudayaan ini mengajak kita untuk paham dalam budi dan laku hidup, betapa pendidikan itu kunci untuk pencerdasan bangsa dan itu adalah pendidikan berkebudayaan yang transformatif. Selamat membaca!” [ ]

Back to top button