Solilokui

Perang Drone dan Kebangkitan Industri Militer Iran

Pada 2018 media Israel melaporkan: “UAV Iran yang memasuki wilayah udara Israel, tampaknya merupakan tiruan siluman Amerika. Israel mencatat bahwa drone yang ditembak jatuh oleh pasukan Israel itu mirip dengan drone yang disita Iran pada tahun 2011 , dan “mengalami kemajuan dengan berbasis teknologi barat”. Kini, dari Yaman hingga Ukraina, Iran mengembangkan kemampuan industri militernya yang terbatas, namun signifikan

Oleh   : Prof Hamid Dabasi

JERNIH—Lebih dari satu dekade lalu, pada akhir 2011, muncul berita bahwa kendaraan udara tak berawak (UAV) Lockheed Martin RQ-170 Sentinel Amerika Serikat telah dijatuhkan oleh Iran. Negara itu kemudian mulai merekayasa balik, hingga akhirnya menghasilkan Shahed 171 Simorgh dan Shahed Saegheh.

Selama bertahun-tahun, mantan Presiden AS, Barack Obama, mencoba membujuk Iran untuk mengembalikan drone asli ; Iran tidak pernah terbujuk untuk melakukannya. Mereka memiliki hal-hal yang lebih baik untuk dilakukan dengan perangkat yang memata-matai negaranya itu.

Prof Hamid Dabashi

Pihak berwenang Iran membual bahwa teknik “spoofing” yang mereka gunakan untuk menurunkan pesawat tak berawak itu, yang memperhitungkan data lintang dan bujur. Cara itu, kata Iran, “Membuat drone mendarat sendiri di tempat yang kami inginkan, tanpa harus memecahkan sinyal kendali jarak jauh dan komunikasi dari pusat kendali AS.”

Drone itu dilaporkan bagian dari proyek intelijen CIA untuk mengumpulkan data di situs nuklir Iran. Drone itu, setelah diambil alih, dibawa langsung ke laboratorium militer Iran.

Pada 2013, Iran mengatakan telah memecahkan kode rekaman dari drone yang jatuh, yang kemudian disiarkan oleh kantor berita Iran. Tahun berikutnya, Iran mengatakan telah memproduksi drone versinya sendiri, sebuah pernyataan yang dibantah kebenarannya oleh pejabat AS. Laporan muncul bahwa Rusia dan Cina pun meminta Iran untuk berbagi rincian drone itu dengan mereka.

Pada 2016, Iran secara terbuka mengumumkan telah mereproduksi RQ-170 “dengan fitur yang ditingkatkan”, memilih untuk menyebutnya Simorgh, diambil dari nama burung legendaris dalam mitologi Persia, “Musyawarah Burung”.

Singkat cerita, pada 2018, media Israel melaporkan: “UAV Iran yang memasuki wilayah udara Israel, tampaknya merupakan tiruan siluman Amerika.” Israel mencatat bahwa drone yang ditembak jatuh oleh pasukan Israel itu mirip dengan drone yang disita Iran pada tahun 2011 , dan “mengalami kemajuan dengan berbasis teknologi barat”.

Perang Rusia-Ukraina

Tahun lalu, jelas sudah bahwa drone Iran itu didasarkan pada teknologi AS–tetapi direkayasa ulang dan diproduksi secara massal di dalam negeri. Drone itu secara aktif mendukung Rusia dalam invasinya di Ukraina. Menurut laporan BBC, pemerintah Ukraina dan badan intelijen barat mengatakan Rusia telah “Menggunakan drone Shahed-136 buatan Iran dalam konflik sejak musim gugur tahun 2022.”

Iran mengatakan hanya memberi Rusia sedikit pasokan drone sebelum perang. Tetapi The Guardian kemudian melaporkan bahwa militer Ukraina telah memberikan bukti bahwa setidaknya beberapa drone buatan Iran yang digunakan oleh Rusia dalam perangnya mungkin dipasok setelah invasi besar-besaran Moskow pada Februari 2022.”

Laporan berita dengan cepat mulai menghubungkan aktivitas drone Iran di Ukraina dengan perang di Yaman. “Strategi yang digunakan Rusia untuk menyerang jaringan listrik Ukraina sebagian besar dikembangkan oleh proksi Iran di Yaman,” tulis sebuah artikel di National Interest.

Pada September 2019, Iran adalah tersangka utama di balik serangan terhadap fasilitas minyak Saudi, yang diklaim pertanggungjawabannya oleh pemberontak Houthi Yaman. “Iran telah menolak tuduhan AS bahwa mereka bertanggung jawab atas serangkaian serangan pesawat tak berawak yang meledak di fasilitas pemrosesan minyak terbesar di dunia di Arab Saudi, yang mengganggu lebih dari setengah produksi minyak kerajaan dan dapat memengaruhi pasokan global,” lapor Guardian saat itu.

Pada akhir 2022, Iran sepenuhnya berada di kancah global sebagai pemasok militer utama. Menurut laporan Reuters Oktober tahun itu, Iran telah berjanji untuk memberi Rusia rudal permukaan-ke-permukaan, selain lebih banyak drone. “Langkah itu langsung membuat marah Amerika Serikat dan kekuatan barat lainnya yang mendukung Ukraina dalam perang,” tulis Reuters.

Yaman dan Ukraina bukan satu-satunya wilayah operasi drone Iran, laporan itu menambahkan. “Iran dan pasukan regional yang didukungnya semakin bergantung pada drone di Yaman, Suriah, dan Irak dalam beberapa tahun terakhir, di mana ia telah menyebarkan pengaruh melalui proksi.”

Negara garnisun

Pada pertengahan September tahun lalu, setelah kematian seorang wanita muda Iran Kurdi, Mahsa Amini, dalam tahanan, pemberontakan sosial besar-besaran melawan negara merebak di Iran. Elit penguasa telah begitu mengakar kuat dalam geopolitik kawasan sehingga tampaknya melupakan tanggung jawab domestiknya di negara yang miskin dan babak belur itu.

Saat ini, Korps Pengawal Revolusi Islam, atau yang secara umum dikenal dalam bahasa Persia sebagai Sepah, adalah kompleks industri-militer. Ia semacam  Praetorian yang hampir seluruhnya berdiri sendiri dalam terma teritorial, ekonomi, strategis, intelijen, keamanan, ideologis, dan geopolitik.

Dari Yaman hingga Ukraina, Iran mengembangkan kemampuan kompleks industri militernya yang terbatas namun signifikan, sambil menghadapi pemberontakan sosial yang meluas di dalam negeri. Ketidakmampuannya untuk mempertahankan legitimasi internal selama empat dekade terakhir, terkait dengan kebangkitannya sebagai “negara garnisun”.

Dua istilah yang saling terkait dari “negara garnisun” dan “kompleks industri militer” berasal dari Amerika, dan dimaksudkan untuk menggambarkan AS itu sendiri. Istilah itu diciptakan oleh sosiolog Amerika, Harold Lasswell, pada tahun 1941 dan mantan Presiden Dwight Eisenhower pada tahun 1961. Namun kedua istilah tersebut sekarang telah diterapkan secara luas di negara lain, terutama Israel, yang secara harfiah adalah negara garnisun yang memandang dirinya sebagai vila di hutan.

Memang, persaingan berkelanjutan dari AS, Israel, Arab Saudi, dan Iran untuk dominasi regional telah secara efektif mengubah mereka semua menjadi negara garnisun yang berperang, masing-masing mengejar proyek kekaisaran mereka.

Kebangkitan Iran sebagai pemasok militer yang signifikan di kawasan itu memiliki risiko yang telah diperhitungkan. Seperti yang dicatat oleh seorang analis: “Bagi Iran, krisis Ukraina menawarkan cara untuk menikmati hubungan yang lebih adil dengan kekuatan besar—Rusia– meskipun memasok drone kepada Presiden Vladimir Putin itu telah menimbulkan kerugian yang signifikan bagi Teheran. Hal itu, antara lain, memicu mendinginnya minat dari pemerintahan Presiden Joe Biden dalam kesepakatan nuklir baru dengan Iran, selain mendorong Uni Eropa memasukkan negara itu ke dalam sanksi terkait Ukraina.”

Transmutasi agresif dari rezim yang berkuasa menjadi negara garnisun yang berperang dan memimpin kompleks industri militer yang kompetitif, telah membuat semua negara ini merosot menjadi kekuatan asing yang memperlakukan seluruh negara sebagai pangkalan militer mereka.

Pemberontakan negara-negara, apakah Palestina melawan Israel, Mesir melawan junta militer Sisi, atau rakyat Iran melawan Republik Islam, adalah peringatan bahwa terma “business as usual tidak lagi dapat berjalan. [The Guardian/Reuters/Middle East Eye]

Hamid Dabashi adalah profesor kajian Iran dan sastra komparatif Hagop Kevorkian di Universitas Columbia di New York City. Ia mengajar kelas Sastra Komparatif, Sinema Dunia, dan Teori Postkolonial. Buku terbarunya antara lain The Future of Two Illusions: Islam after the West (2022); The Last Muslim Intellectual: The Life and Legacy of Jalal Al-e Ahmad (2021); Reversing the Colonial Gaze: Persian Travelers Abroad (2020), danThe Emperor is Naked: On the Inevitable Demise of the Nation-State (2020). Buku dan esainya telah diterjemahkan ke banyak bahasa.

Back to top button