“Percikan Agama Cinta”: Gilbert dan Islam yang Mencintai Sesama di Lombok yang Miskin
Ini adalah pengalaman terindah dalam hidup saya. Bukti kasih sayang Ilahi yang tercurah lewat perempuan Muslimah sederhana ini, yang saya tidak tahu namanya, bahkan sampai saat ini. Perempuan Muslimah ini tidak mengenal saya. Tidak memiliki kepentingan apa pun dengan saya.
JERNIH– Saudaraku,
Aku terus mengempik pada agama berasa cinta. Aku yakin tiada agama tanpa cinta. Pun aku bersaksi tiada Tuhan selain Cinta. Karena cinta, Tuhan mencipta. “Cinta adalah asasku dalam beragama,” demikian sabda Rasulullah Saw, menetakkan dekritku. Maka, demi tekad itu, aku terus menjelajah jejak-jejak cinta yang terhampar luas di setiap coretan para pecinta.
Suatu waktu penjelajahanku membawa pada satu rintik. Aku sekonyong-konyong teringat rekaman wawancara dalam acara “Super Saul Sunday”, ketika Oprah Winfrey duduk bersama penulis laris, Elizabeth Gilbert, berbagi cerita menarik tentang seorang wanita Muslimah di sebuah desa terpencil di Lombok, Indonesia, yang telah membentuk pemahamannya tentang rahmat dan keyakinan Islam.
Ketahuilah. Elizabeth Gilbert adalah seorang penulis novel, esai, cerita pendek, biografi dan memoar Amerika Serikat. Ia banyak dikenal berkat memoar “Eat, Pray, Love”, yang sejak Desember 2010 telah bertahan selama 199 pekan di daftar Buku Terlaris New York Times dan dibuat menjadi sebuah film dengan judul serupa pada 2010 silam.
“Ceritakanlah hal yang paling mengesankan dan menyentuh relung hati terdalammu?” tanya Oprah pada Elizabeth.
Lalu, Elizabeth berkisah. Saya baru saja bercerai dan berat sekali rasanya. Saya putuskan pergi ke sebuah pulau kecil di Lombok, Indonesia. Setiap hari, saya jalan pagi di pinggir pantai dan sering berpapasan dengan perempuan Muslimah yang menyapa ramah saya sambil meletakkan tangan di dadanya,”Assalamualaikum”. Saya pun sontak membalas demikian. Pulau kecil ini sangat miskin, tipikal nelayan yang memakan tangkapannya untuk sekadar makan hari itu.
Suatu hari, saya jatuh sakit berat. Mungkin malaria. Perempuan itu mengetuk semua kapal untuk mencari saya. Ia datang membesuk saya. Begitu melihat saya sakit, dia pergi dan kembali lagi dengan membawa makanan dan air segar yang baru dibuat. Dengan telaten, saya dirawatnya. Saya menangis kencang dalam pelukannya. Dia memeluk saya penuh cinta. Seakan saya adalah anaknya terkasih.
Ini adalah pengalaman terindah dalam hidup saya. Bukti kasih sayang Ilahi yang tercurah lewat perempuan Muslimah sederhana ini, yang saya tidak tahu namanya, bahkan sampai saat ini. Perempuan Muslimah ini tidak mengenal saya. Tidak memiliki kepentingan apa pun dengan saya. Ia tulus ikhlas menolong saya.
“Sejak momen itu, saya percaya, itulah wajah sebenarnya Islam,” jawab Elizabeth dengan raut wajah haru dan suara bergetar yang muncul dari dasar lubuk hatinya.
Aku sungguh terpana menyimak kisah itu. Tatkala aku menuliskan kembali kisahnya demimu, air mataku menetes. Bagaimana dengan engkau, saudaraku? [Deden Ridwan]