“Percikan Agama Cinta”: Manakala Agama dan Sains Dipertentangkan dalam Keseolah-olahan
Kebanalan beragama tanpa bertanya. Beriman tanpa pendalaman. Memantik huru-hara di mana-mana sampai hari ini. Wajar bila agama lantas dijadikan biang kerok oleh dunia Barat atas kerusakan peradaban kiwari.
JERNIH– Saudaraku,
Menjelang akhir abad-20. Sains telah menjelma jadi lawan tanding agama paling sengit. Agama kerap kali berbenturan dengan sains. Lalu sains menjungkirbalikkan dogma-doktrin agama—sebagaimana dilakukan penggerak atheis revolusioner sekelas Richard Dawkins dengan biologi molekulernya. Alur cerita lantas berubah drastis. Kekacauan menyusun keyakinan dalam beragama. Menjadi momok menakutkan di seantero dunia.
Kebanalan beragama tanpa bertanya. Beriman tanpa pendalaman. Memantik huru-hara di mana-mana sampai hari ini. Wajar bila agama lantas dijadikan biang kerok oleh dunia Barat atas kerusakan peradaban kiwari.
Bergeraklah. Apa pun yang kita amini, hanya terlihat pasti-terukur jika dibandingkan dengan pihak lain. Menjadi begini atau begitu, tergantung pada siapa yang memandang; tidak mutlak. Cantik, rupawan, bahkan keindahan jua, tak pernah benar-benar apa adanya. Ya, semuanya nisbi. Menjadi bermakna tatkala terikat cinta.
Sadarlah. Jikalau ada manusia dengan gagah berani menjelaskan serba-serbi Tuhan pada liyan, besar kemungkinan orang macam ini bukan lagi juru bicara ulung. Namun ia justru telah menjelma “tuhan” yang sibuk mencari pengakuan dan pengikut dari sana-sini. Maka, engkau tak perlu silau, apalagi memujanya.
Itulah kenapa kitab suci mengutuk siapa pun yang merasa paling suci dan benar. Karena pengakuan itu menjadi senjata penghancur kemanusiaan. Sebijak manusia paling bajik, hanya seolah-olah benar. Sebrengsek apa pun manusia, hanya seolah-olah salah. Kebenaran paripurna hanya Dia sahaja. “Dan sesungguhnya al-Quran itu benar-benar menjadi petunjuk dan Rahmat bagi golongan orang beriman.” [Deden Ridwan]