“Percikan Agama Cinta”: Monolog Kolor
Aku makhluk terdakwa: mesti memilih di antara dua kegetiran yang saling cerca.
Aku berdialog dengan purnama
JERNIH– Saudaraku,
Sebutlah, namaku color. Aku tak peduli dengan namaku sendiri.
Tapi mereka sangat peduli denganku. Menguntitku kemana pun aku bergerak.
Aku tinggal di hotel berbintang lima. Beralaskan batu-batu yang berasal dari samudra biru. Bertetangga dengan lautan debu. Bersemayam dalam perdebatan tanpa batas. Aku busuk dikutuk bisu, membatu di atas bukit-bukit salju.
Aku makhluk dualitas. Aku bergerak berbenturan melawan ruang.
Karena paradoks, jiwaku batu.
Terdiam seribu kata di dalam sumur tua berbentuk persegi panjang.
Mereka berteriak lantang bagai demagog.
Aku tetap menulang ke angkasa.
Kenapa mereka jadi gundah?
Aku dipaksa bergerak
menyapa dunia senyap yang asing. Menegur keramaian kota yang angkuh.
Lagi, aku benar-benar kontradiksi.
Ketika aku berdiam, mereka menjadi pemberontak.
Ketika aku bergerak,
mereka melupakan diri.
Ah, dasar paradoks
ditelan kuman-kuman keangkuhan kuasa.
Aku seorang petualang
yang sanggup berjalan di atas kecepatan,
secepat kehidupan.
Aku bisa membuat semesta tersenyum.
Merayakan pergerakan,
berbagi zat vitamin.
Membuat kemewahan,
mengubah perubahan.
Aku makhluk terdakwa: mesti memilih di antara dua kegetiran yang saling cerca.
Aku berdialog dengan purnama
di tengah malam yang diam. Kuputuskan untuk kembali ke hotelku yang mewah supaya mereka berhenti berpesta. Karena aku tak rela,
mereka dikutuk Tuhan.
Semua karena aku,
mereka tak sanggup menemukan jalan pulang.
Mungkinkah karena aku jua,
mereka berdamai dengan Sang Pemilik Cinta? [Deden Ridwan]