“Percikan Agama Cinta” : Rahmatan Lil Alamin dan Semangat Zaman
Islam yang universal—shalih li kulli zamân wa makân—menuntut aktualisasi nilai-nilai Islam dalam konteks dinamika kebudayaan. Kontekstualisasi ini tidak lain dari upaya menemukan titik temu antara hakikat Islam dan semangat zaman. Hakikat Islam yang rahmatan li al-‘âlamîn berhubungan secara simbiotik dengan semangat zaman, yaitu kecondongan kepada kebaruan dan kemajuan.
JERNIH–Saudaraku,
Meneroka situasi runyam. Kehidupan keagamaan satu tahun terakhir. Tatkala Islam begitu ramai dibincangkan di garis simbolik. Sesekali diiringi gema takbir. Menggelagar di majelis-majelis, lapangan, atau bahkan jalanan. Namun tanpa menusuk substansi aspek ajaran Islam secara mendalam.
Aku tiba-tiba terlintas waktu mahasiswa dulu. Di setiap Jumat, aku selalu merapat ke Paramadina, di kawasan Pondok Indah. Dengan tujuan bisa menyimak khutbah Jum’at dengan khatib sang raushanfikr: Cak Nur. Guru sekaligus favoritku.
Menyimak pesan khutbah Cak Nur sungguh kenikmatan tersendiri. Aku seolah diajak berkelana ke alam pikiran dan spiritual yang menembus batas-batas spektrum. Usai shalat Jumat, pikiran dan hatiku menjadi tercerahkan. Apalagi dilengkapi nasi bungkus gratis. Ruhani dan jasmani pun kenyang, menikmati asupan bergizi. Asyik. Nikmat. Berkah anak kosan…
Aku masih teringat. Waktu itu, entahlah pastinya lupa, khutbah Cak Nur mengupas tentang makna Islam universal. Temanya tentu biasa, dan umum dibahas. Namun karena khatib-nya seorang Cak Nur, terasa ada titik-beda yang menggetarkan. Kata Cak Nur, Islam tak bisa dimungkiri, adalah agama universal. Memiliki misi rahmatan li al-‘âlamîn. Memberikan rahmat bagi seluruh alam. Meruang dan menyapa bumi dengan penuh cinta.
Di dalamnya, mengandung ajaran yang mencakup semua aspek kehidupan. Mengatur seluruh ranah kehidupan umat manusia, baik berhubungan dengan habl min Allâh (hubungan dengan sang khalik), habl min al-nâs (hubungan dengan sesama umat manusia), serta habl min al-‘âlam (hubungan dengan alam lingkungan).
Dengan terciptanya harmoni pada ketiga wilayah hubungan tersebut, maka akan tercapai kebahagiaan hidup sejati di dunia dan di akhirat. Karena Islam bukan hanya berorientasi duniawi semata, melainkan duniawi-ukhrawi sekaligus.
Aku hanya bisa mangut-mangut, kagum. “Ini khutbah benar-benar keren,” pikirku dalam hati.
Di tengah kesyahduan itu, Cak Nur melanjutkan khutbah-nya. Jamaah pun tampak antusias. Tak terlihat seorang pun yang tertidur.
“Konsep universalisme Islam itu meniscayakan bahwa ajaran Islam berlaku pada setiap waktu, tempat, dan semua jenis manusia, baik bagi bangsa Arab, maupun non-Arab dalam tingkat serupa, dengan tidak membatasi diri pada suatu bahasa, tempat, masa, atau kelompok tertentu. Dengan ungkapan lain, nilai universalisme itu tidak bisa dibatasi oleh formalisme dalam bentuk apa pun: bersifat dinamis, adaptif, dan kontekstual”, tegas Cak Nur disertai kutipan-kutipan ayat suci al-Quran secara fasih.
Di mata Cak Nur, universalisme Islam juga memiliki makna: Islam telah memberikan dasar-dasar yang sesuai dengan perkembangan umat manusia. Namun demikian, tidak semua ajaran yang sifatnya universal itu diformulasikan secara teperinci dalam al-Quran dan al-Sunnah.
Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk menginterpretasikannya agar sesuai dengan segala tuntutan perkembangan, sehingga konsep universalitas Islam yang mencakup semua bidang kehidupan dan semua zaman dapat diwujudkan, atau diperlukan upaya rasionalisasi ajaran Islam.
Aku terpana. Terpekur sejenak. Maka, berdasarkan pesan khutbah Cak Nur itu, tak bisa ditolak, watak universalisme Islam meniscayakan adanya pemahaman baru untuk menyikapi perkembangan kehidupan manusia yang selalu berubah.
Islam yang universal—shalih li kulli zamân wa makân—menuntut aktualisasi nilai-nilai Islam dalam konteks dinamika kebudayaan. Kontekstualisasi ini tidak lain dari upaya menemukan titik temu antara hakikat Islam dan semangat zaman. Hakikat Islam yang rahmatan li al-‘âlamîn berhubungan secara simbiotik dengan semangat zaman, yaitu kecondongan kepada kebaruan dan kemajuan. Dalam bingkai inilah, Cak Nur lahir atau dilahirkan sebagai pembaru.
Aku kira, kelahiran seorang pembaru adalah keniscayaan. Ya, supaya pesan-pesan langit itu bisa mewarnai perjalanan hidup para penghuni bumi demi saling memuliakan satu sama lain. Bagiku, dengan spirit ini pula Cak Nur acap kali menegaskan bahwa Islam itu agama kemanusiaan.
Saudaraku, engkau pasti rindu menikmati kelezatan Islam semacam ini. Engkau kini memerlukan pencerahan ketika kematian akal dalam beragama dirayakan secara terbuka. [Deden Ridwan]