“Percikan Agama Cinta”: Tentang Mereka yang Pongah Dalam Palsu
Manusia-manusia bergerak bersama kepalsuan dan kepongahan. Merebut hati para pecundang yang gemar pamer lumpur-lumpur kehidupan dengan penuh bangga. Menyebarkan kepura-puraan beraroma cahaya langit, bercita-rasa kebajikan. Namun sesungguhnya dia sedang mengajakmu tenggelam bersama-sama menikmati lautan debu, dikutuk waktu.
JERNIH–Saudaraku,
Di setiap sudut engkau berada, topeng-topeng itu pasti selalu hadir. Menemani setiap langkahmu. Berkeliaran di mana-mana, tak terbendung; terbang bersama angin menyusuri bumi. Menembus batas-batas arus.
Benar kata Nawal El-Saadawi: “Manusia dilahirkan telanjang, dan mati pun telanjang. Baju-baju ini hanyalah pretensi, sekadar pembungkus demi menutupi sifatnya yang asli.” Keaslian adalah barang antik. Selalu diburu sekaligus dirindukan untuk disimpan di museum.
Manusia-manusia bergerak bersama kepalsuan dan kepongahan. Merebut hati para pecundang yang gemar pamer lumpur-lumpur kehidupan dengan penuh bangga. Menyebarkan kepura-puraan beraroma cahaya langit, bercita-rasa kebajikan. Namun sesungguhnya dia sedang mengajakmu tenggelam bersama-sama menikmati lautan debu, dikutuk waktu.
Ketahuilah. Mereka sebenarnya manusia-manusia berkarakter bukan-manusia.
Manusia-manusia berjiwa binatang. Manusia-manusia serakah. Manusia-manusia egois berhati batu yang tak pernah selesai dengan urusan dirinya. Ya, manusia-manusia yang terlalu mencintai dirinya-sendiri secara berlebihan, bagai demagog-demagog agung dengan kata-kata menyihir. Hanya pandai berbicara tanpa mampu mendengar.
Mereka sadar atau tidak sadar: menghancurkan sendi-sendi kemanusiaan, tempat pelbagai kesibukan tetap beredar. Kezaliman menjadi pertunjukan teater yang bergemuruh di atas pentas. Ketidakadilan mewujud tontonan yang mengasyikkan. Keduanya dirayakan penuh keceriaan dan suka-cita tanpa ketelanjangan.
Renungkanlah. Tanggung jawabmu salah satunya adalah memutuskan mata-rantai budaya spectacle durjana. Mempersiapkan generasi pelanjut yang paham dan sadar siapa dirinya secara telanjang.
Siuman akan potensi dirinya yang diberikan Tuhan, Sang Mahacinta, tatkala bergerak menundukkan matahari kebisingan. Insaf akan identitas dirinya sebagai makhluk termulia yang dibekali dengan cinta. [Deden Ridwan]