Solilokui

Peristiwa Pembunuhan Tentara di Lembang: Pekerjaan Rumah yang Kritis

Kita sudah memulai diskusi untuk meniadakan frasa ‘orang Indonesia asli’ sebagai syarat pencalonan seorang presiden. Mengapa kita tak juga berani untuk memulai diskusi dan praksis tentang lumernya SARA berupa kemungkinan kawin-mawin di antara sekian suku bangsa yang ada di Indonesia, dengan komunitas yang hingga hari ini masih saja disebut ‘keturunan Cina’?

Oleh  : Darmawan Sepriyossa

JERNIH– Pada saat saya mengetahui terjadinya pembunuhan H Muhammad Mubin, seorang pensiunan letkol tentara berusia 63 tahu, oleh Henry Hernando alias Aseng (30 tahun) di Lembang, Jawa Barat, saya terkejut dan penuh was-was. Dua hari kemudian, saya bersyukur tak ada kejadian buruk yang membetot kita kembali puluhan tahun ke belakang setelah peristiwa itu.

Bagaimana saya tidak was-was? Sejarah Indonesia penuh dihiasi konflik suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) seperti itu. Dari semua potensi itu, konflik anti-Cina terbukti merupakan bahaya laten paling kritis. Jadi, manakala situasi Lembang dan Jawa Barat umumnya tetap terjaga sampai hari ini, rasa syukur tentu harus kita panjatkan. Barangkali, tetap terjaganya situasi ini juga erat berkaitan dengan kian meningkatnya kesadaran kita sebagai bangsa yang majemuk, serta konsistennya pemerintah terus menggemakan program anti-radikalisasi. Mungkin, kan, siapa tahu?

Darmawan Sepriyossa

Apalagi, dalam sejarah konflik anti-Cina, kejadian yang mengambil lokasi di Jawa Barat tak hanya tercatat sekali-dua. Selama Indonesia merdeka saja, setidaknya beberapa kasus huru-hara anti-Cina terjadi di Tanah Pasundan. Dimulai dari huru-hara anti-Cina di Sukabumi dan Garut pada 17-18 Mei 1963. Di Sukabumi, pelakunya adalah para pelajar dan mahasiswa, bahkan anak-anak. Mereka merusak, membakar, menjarah toko-toko milik pengusaha keturunan. Media massa saat itu mencatat, kerugian material yang terjadi saat itu senilai Rp 2,5 miliar, pada saat kurs dolar AS pada Januari 1963 tercatat pada angka Rp 1.900. Riset literasi yang saya lakukan tidak dengan tegas menemukan apa penyebab kerusuhan saat itu.

Berbarengan dengan Sukabumi, saat itu di Garut pun meledak kerusuhan anti-Cina. Selain konon dipicu para anggota DI/TII, faktor kesenjangan social juga menjadi penyebabnya saat itu. Di masyarakat Garut sendiri, hingga saat ini peristiwa tersebut dikenal dengan istilah “Beset Cina”, bahasa lokal untuk pengertian yang sedikit keji.

Hampir satu dekade berlalu, hingga kerusuhan serupa kemudian meledak di Bandung pada 5 Agustus 1973. Jurnal “Historia” no 6, volume III Desember 2002, menulis, kejadian 1973 itu dipicu pemukulan seorang kusir gerobak urang Sunda, Asep Tosin, oleh tiga pemuda keturunan Cina : Tan Kiong Hoat, A Kiong dan Goan Chong, yang tengah jalan-jalan menikmati Bandung, berkendaraan sedan VW putih bernomor polisi D 1231 AA. Mobil itu sendiri sedang diparkir di Jalan Astana Anyar, tidak jauh dari gedung bioskop “Siliwangi”, manakala sebuah gerobak G 20 BD—ternyata gerobak pun saat itu memakai nomor—yang ditarik seekor kuda  bernama Ruslan menyerempetnya. Tak jelas, apakah kuda “Ruslan” yang harus disalahkan, atau Asep Tosin, kusir yang memandu kuda itu.

Yang jelas, akibat spatbor sedan itu tergores, Tan Kiong Hoat marah dan mengejar gerobak. Kiong Hoat tanpa ba-bu langsung menghajar Asep Tosin. Mungkin karena kerasnya pukulan, Asep Tosin pun langsung kapaehan alias pingsan, sebelum kemudian dibawa ke rumahnya, di Jalan Kalipah Apo No.77. Persoalannya, yang beredar ke seantero bandung saat itu bukan kapaehan, melainkan paeh, alias mati.

Hanya perlu tiga jam dari kejadian sekitar pukul 14 siang, pada sekitar pukul 17 di seantero Bandung telah bergema sas-sus: “Asep Tosin paeh alias mati terbunuh karena pukulan karate dan tusukan kuntauw pada lehernya, yang dilakukan oleh seorang pemuda Cina”. Lebih hebat lagi, isi perut Asep Tosin pun sampai amburadul alias terburai. Setelah itu, ibarat mengulang peristiwa heroik 23 Maret 1946, dalam versi yang buruk Bandung pun kembali menjadi lautan api. Toko-toko milik pengusaha Cina dibakar, isinya dijarah. Jalan-jalan sekitar Astana Anyar, Cibadak, Kelenteng, Kebonjati, Suniaraja, Viaduct, dan Gereja, dipenuhi lautan manusia yang marah terbakar isu yang jelas juntrungnya.

Sedan VW putihnya sendiri kemudian tak hanya tergores. Dua jam setelah tergores gerobak “Ruslan”,VW yang ditinggal kabur pemiliknya itu didatangi ratusan orang.Awalnya mereka hanya noel-noel, lalu berlanjut pada pelemparan. Akhirnya mereka membalikkan VW itu dan membakarnya. Tan Kiong Hoat disebutkan lari ke markas polisi, menyerahkan diri.

Malam itu, tak hanya di sekitar Jalan Astana Anyar, hamper seluruh Bandung, bahkan hingga Kopo, Bojongloa, Babakan Ciparay, Kiara Condong,—di timur dan selatan Bandung—hingga Sukajadi dan Jalan Setiabudhi dan Cidadap di Bandung barat, resah. Demikian pula di Dayeuh Kolot dan Padalarang. Ratusan bahkan ribuan orang berhimpun, baru bisa dibubarkan apparat pada tengah malam.

Media yang memuatnya beberapa hari kemudian menyebutkan, pada 6 Agustus 1973, pukul 01.00, di Tasikmalaya telah ditangkap seorang laki-laki bernama Machpudin Abusahrir, pengusaha becak asal Majalaya, Kabupaten Bandung, yang dicurigai menghasut para pengemudi becak di Tasikmalaya untuk melakukan peristiwa seperti terjadi di kota Bandung.

Usai bertemu Presiden di Bina Graha pada 9 Agustus, Gubernur Jawa Barat, Solihin GP, menyatakan hal yang diulanginya pada Sidang Pleno DPRD Jawa Barat, 11 Agustus 1973. Menurut Mang Ihin, peristiwa 5 Agustus 1973 itu merupakan kejadian yang sangat sensitif, sehingga apabila tidak cepat dan tepat ditanggulangi dikhawatirkan akan bisa menjalar ke seluruh Indonesia. Bila hal itu sampai terjadi, maka jelas akan berakibat fatal. “Terciptanya situasi vakum hukum, chaos dan anarkisme adalah sasaran kaum petualang politik PKI dengan tujuan melemahkan posisi Orde Baru dalam rangka usaha come back-nya,” kata Solihin GP saat itu.

Sementara Wali Kota Bandung, R. Otje Djundjunan, merinci kerugian yang terjadi. Menurut Otje, kejadian itu menyebabkan satu orang meninggal dunia, 1.509 rumah/toko Cina (termasuk 46 toko emas dan 24 apotik) hancur, 101 mobil, 122 motor, 86 sepeda, 64 becak, 12 televisi, 11 kios, 5 huller, 1 kulkas, 1 gereja, dan 44 kg emas hancur, rusak atau lenyap. Barang-barang seharga Rp. 261.575.000 hilang, uang tunai sebesar Rp 589.000 tak jelas lagi kemana. Jumlah total kerugian menurut Walikota Otje diperkirakan lebih dari Rp 1,1 miliar. Asal tahu saja, kurs dollar AS mulai tahun 1971, setelah ekonomi bisa dibuat ‘meroket’ oleh Orde Baru, tercatat Rp 415. Kerugian lain, sekian orang ditangkap apparat dan dipenjara, termasuk tokoh Angkatan Muda Siliwangi (AMS) Tjetje Hidayat Padmadinata.

“Tidak ditunggangi apa-apa,” kata Otje, menjawab pertanyaan wartawan saat itu. Ia berbeda dengan kesimpulan Mang Ihin.

Warga Cina bahkan tak jarang menjadi korban semata hanya karena ia jadi kambing hitam. Pada 26 Desember 1996, misalnya. Warga keturunan di Tasikmalaya harus merelakan harta benda mereka dibakar massa yang mengamuk marah. Urusan awalnya tak ada kait-mengaitnya dengan mereka: massa yang marah karena penyiksaan polisi– Kopral Nursamsi, Serda Agus M, Serda Agus Y, dan Serda Dedi—kepada Ustad Habib Hamdani Ali dan Ustadz Farid hingga babak belur di markas polisi, membuat Tasikmalaya terbakar. Toko-toko dan sebagian permukiman warga keturunan Cina terbakar atau dihancurkan.

Sebulan kemudian, kerusuhan serupa meledak di Kota Rengasdengklok, Karawang, 30 Januari 1997. Kali ini memang berawal langsung akibat kemarahan sepasang suami-istri peranakan Cina, Kou Gue Nio, meledak hanya karena menurutnya beduk itabuh terlalu keras. “Anjing goblog, gandeng sia! Teu ngahargaan ka aing!” katanya, tanpa perlu saya terjemahkan. Lalu kerusuhan pun meletus. Rengasdengklok poranda. Gereja Kristen Indonesia (GKI), ratusan rumah, toko, gudang beras dan mobil milik orang Cina dirusak. Beberapa gereja dan vihara hancur dan dibakar. Tak ada media yang menulis bagaimana nasib Kou Gue Nio.

Akan halnya kerusuhan anti-Cina pada 1998, tampaknya tak perlu lagi saya tulis di sini. Kita semua telah sama-sama mafhum, tentunya.

Potensi laten

Sikap anti-Cina di Indonesia tampaknya sudah berurat akar lama. Guru besar sejarah Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Prof Helius Sjamsuddin, pernah menulis sebuah artikel yang mengulas soal ini. Mengutip NA Simoniya, Prof Sjamsuddin mengatakan, salah satu masalah sosial-ekonomi dan politik terpenting dalam sejarah negara-negara Asia Tenggara, adalah masalah penduduk Cina di negara-negara tersebut. Pengaruh itu tak hanya pengaruh baik, melainkan juga yang buruk dalam perkembangan negara-negara tersebut.

Yang baik, misalnya, bahwa “Imigrasi penduduk Cina telah memberikan pengaruh yang luar biasa pada perkembangan ekonomi Asia Tenggara. Ini merangsang perkembangan pasar domestik dan hubungan kapitalistik,” kata Simoniya.

Sikap—katakanlah secara sederhana—anti-Cina itu tampaknya terbentuk seiring pemberian privilege dari Pemerintah Hindia Belamda kepada para warga Cina dan keturunannya saat itu. Sebagaimana diundangkan melalui Indiche Stactsregeling (IS), pemerintah Hindia Belanda membagi penduduk Nusantara dalam tiga golongan penduduk, berdasarkan pasal 163 ayat 1 IS.  Warga kelas pertama adalah warga Eropa. Lalu golongan Timur Asing, di antaranya warga yang datang dari Cina, Jepang, Arab dll. Yang paling nelangsa adalah Bumiputera, sebagai warga kelas tiga dalam tatanan colonial Belanda tersebut.

Sebagai kalangan yang diprioritaskan, wajar bila dalam kehidupan sehari-hari saat itu, warga Cina dan keturunannya pun lebih condong memihak kepada Belanda, dibanding kepada Indonesia yang saat itu baru berdiri. Sejarah dengan gampang bisa memberikan contoh-contohnya. Misalnya, organisasi warga Cina, Poh An Tui,  yang dipersenjatai Belanda dan menjadi kaki-tangannya selama perang kemerdekaan; atau sikap dari berbagai kelompok-kelompok Cina yang gembira-ria dengan kedatangan kembali Belanda sesudah usai pendudukan Jepang. Hal itu sering dikutip sebagai contoh betapa hubungan antara warga negara Indonesia dengan warga Indonesia lainnya yang keturunan Cina, seringkali ibarat air dengan minyak.

Dan pada titik itu pun warga keturunan Cina tidaklah beruntung. Mary F. Somers dalam magnum opusnya, “Peranakan Chinese politics in Indonesia”, menggambarkan sebagai berikut: “Bahkan seandainya pihak berwenang Indonesia menahan diri dari melakukan kebijakan yang merugikan kepentingan Cina, kesulitan ekonomi dapat dengan sendirinya menumbuhkan kebencian terhadap orang Cina. Dalam situasi seperti itu, insiden lebih lanjut dapat dihasilkan dari provokasi yang relatif kecil.”

Menurut Prof Sjamsuddin, sebenarnya sesudah kemerdekaan–terutama pada masa Orde Baru, Pemerintah Indonesia telah memberikan garis-garis kebijaksanaan yang tegas mengenai “masalah Cina”. Indonesia hanya mengenal warga negara Indonesia (WNI) dan warga negara asing (WNA). Tidak ada yang disebut “warga keturunan”, atau apa pun.

Namun memang perasaan laten anti-Cina itu tak bisa dinafikan begitu saja. Ahli Cina (sinology), Dr. Lie Tek Tjeng, mengakui hal itu. Ia meyakini pula bahwa masih terdapat suatu perasaan anti-Cina yang laten dalam kalangan orang Indonesia ‘asli’,  yang dapat diprovokasi atau dibakar sehingga mencapai proporsi yang membahayakan bangsa dan negara.

Lie Tek Tjeng tidak kontan menyalahkan orang ‘asli’ Indonesia. Selain sebab-sebab dari sisa interaksi kolonialisme, perasaan anti-Cina yang laten itu terutama juga akibat adanya Chinese culturalism. Akibat adanya politik pemisahan dari warga pribumi semasa Kolonialisme itu, menurut Lie Tek Tjeng, perasaan Chinese culturalism,yang berhubungan  dengan ikatan kepada kebudayaan Cina yang gilang-gemilang berusia lebih dari 3.000 tahun itu pun semakin kuat.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, menurut Prof Sjamsuddin, warga Cina mengalami apa yang disebutnya split personalities: “tidak mempunyai orientasi tegas kepada serta identifikasi penuh dengan Indonesia”. Apalagi, warisan budaya Kolonialisme pun memberi mereka perasaan superiority complex terhadap pribumi. Apalagi, perasaan itu diperkuat karena, di lain pihak, ada pula perasaan inferiority complex pada pihak pribumi sendiri, terutama dengan adanya jarak antara the haves (Cina) dan the haves not (pribumi). Itulah yang membuat proses asimilasi tak pernah terjadi di negeri ini.

Pemerintah Indonesia sendiri bukan tidak menyadari bom waktu ini. Hal itu pernah ditulis Pemerintah Indonesia pada Desember 1959, ketika menjawab kecaman pemerintah Republik Rakyat Cina (RRC) berkenaan dengan kebijaksanaan Indonesia mengenai “masalah Cina”. Pemerintah RI menulis,  bahwa “The seeds of anti-Chinese sentiments already existed ever since the Dutch period as well as during the Japanese occupations. Benih-benih sentimen anti-Cina sudah ada sejak zaman Belanda dan juga pada masa pendudukan Jepang”.  Mengapa? Karena “Sentimen ini semakin terasa akibat perilaku orang Cina perantauan setelah Indonesia merdeka.” Apa itu? Kembali ke contoh-contoh seputar Poh An Tui, dll, di atas itu.

Asimilasi baru, mungkinkah?

Kita tahu, selama Orde Lama dan Orde Baru, bukan tak ada upaya untuk meluruhkan sekat-sekat kuat yang menghalangi hubungan sosial antara orang Indonesia ‘asli’ dengan warga keturunan tersebut. Meski lebih sering dilihat sebagai upaya menghalangi hak asasi orang untuk berbudaya dan berperadaban, pembatasan Orde Baru pada aksara dan budaya Cina, bisa jadi awalnya didasari niat untuk tidak membuat warga keturunan menjadi komunitas eksklusif.

Mungkin saat ini kita bisa tertawa mengapa Soe Hok Jin, misalnya, menjadi Arief Budiman. Atau Auw Jong Peng-Koen memilih nama Petrus Kanisius Ojong atau P.K. Ojong. Dan sebagainya. Boleh jadi, mendiang Arief dan PK Ojong mengerti bahwa di balik urusan ‘pemaksaan’ itu ada hal mendasar yang boleh jadi turut membantu warga Indonesia lumer dan larut dalam wadah bernama Indonesia.

Dibanding misalnya seperti saat ini, manakala terasa bahwa antara warga ‘pribumi’ dan ‘keturunan’, setelah 77 tahun merdeka pun, terasa betul masih bagai air dengan minyak.    

Atau, mungkin kita bisa juga bertanya, benarkah orang-orang ‘Cina’ itu memang eksklusif, dan menikmati eksklusivitas itu? Benarkah mereka laiknya analogi terbangunnya Tembok Raksasa, yang menjadi gambaran historis bahwa orang-orang Cina sejak dulu hanya ingin hidup menyendiri; menutup diri terhadap dunia dan orang luar?

Saya kira, ke depan akan kurang beradab manakala istilah ‘pribumi’ dan ‘keturunan’ itu masih ada. Ini negeri memang milik warga Indonesia, apa pun SARA mereka. Membiarkannya terpecah pada ‘asli’ dan ‘keturunan’, hanya memelihara bom waktu untuk meletus di suatu saat di masa depan.

Kita sudah memulai diskusi untuk meniadakan frasa ‘orang Indonesia asli’ sebagai syarat pencalonan seorang presiden. Mengapa kita tak juga berani untuk memulai diskusi dan praksis tentang lumernya SARA berupa kemungkinan kawin-main di antara sekian suku bangsa yang ada di Indonesia, dengan komunitas yang hingga hari ini masih saja disebut ‘keturunan Cina’? [dsy]

Back to top button