Pertahanan Rakyat Semesta 5.0 di Era Politik Hibrida

Indonesia, dengan konsep pertahanan rakyat semesta, sebenarnya telah lama memiliki arsitektur keamanan total, hanya saja belum dimaknai sepenuhnya dalam konteks modern. Kini sishankamrata menghadapi situasi yang berbeda. Apa saja?
JERNIH – Jika pak Nasution, salah satu jendral bintang lima itu masih hidup, mungkin ia akan tersenyum bahwa pertahanan rakyat semesta yang ia gagas itu sungguh dapat diandalkan mengikuti zaman.
Konsep Pertahanan Rakyat Semesta lahir dari rahim perjuangan kemerdekaan. Jenderal A.H. Nasution, yang merumuskannya di awal 1950-an, membangun doktrin bahwa pertahanan negara harus bersifat total dan menyeluruh, melibatkan seluruh rakyat dan sumber daya nasional.
Dalam sistem ini, rakyat bukan penonton, melainkan bagian integral dari kekuatan pertahanan negara. “Pertahanan yang kuat tidak bersandar pada senjata, tetapi pada rakyat yang sadar akan tanggung jawabnya membela negara,” ujar A.H. Nasution menerangkan idenya itu.
Pada masanya, konsep ini menjadi tulang punggung pertahanan nasional: rakyat, militer, dan negara berpadu dalam satu semangat. Hadir dan relevan dalam suasana politik akibat proses keterjajahan selama berabad-abad.
Namun, konteks zaman telah berubah. Tidak lagi berhadapan dengan perang konvensional, tetapi dengan perang narasi, perang siber, dan perang ekonomi. Ancaman kini datang dari algoritma yang memecah opini publik, dari hoaks yang menumpulkan rasionalitas politik, hingga dari intervensi asing melalui jalur investasi strategis.
Teori klasik keamanan negara yang disampaikan oleh Carl von Clausewitz menyebut perang sebagai “kelanjutan politik dengan cara lain.” Tapi di era ini, politik justru menjadi kelanjutan perang dengan cara lain — perang opini, perang algoritma, perang pengaruh.
Inilah yang disebut para ahli sebagai ancaman hibrida (hybrid threats). Ancaman hibrida menggabungkan antara ancaman militer dan non-militer, antara kekuatan keras (hard threats) dan kekuatan lunak (soft threats).
BACA JUGA: GREAT Institute Diluncurkan: Kawal Prabowo Wujudkan Revolusi Ideologis Bangsa
Ancaman ini tak lagi datang dalam bentuk invasi bersenjata, tetapi lewat ide, algoritma, dan intervensi ekonomi yang perlahan mengikis kedaulatan bangsa. Secara umum, setidaknya ada empat dimensi utama ancaman yang kini menguji ketahanan politik Indonesia.
Ancaman Ideologis dan Polarisasi Politik
Polarisasi berbasis agama, etnis, dan ideologi kini kian menajam, memecah kesadaran nasional yang dulu menjadi perekat bangsa.
Media sosial mempercepat penyebaran narasi ekstrem dan menciptakan echo chambers — ruang gema digital di mana orang hanya mendengar pandangan yang sejalan dengannya.
Kondisi ini menimbulkan keretakan kohesi sosial-politik, membuat masyarakat lebih mudah terbelah oleh isu identitas dibanding bersatu oleh kepentingan nasional.
Jika dibiarkan, fragmentasi ini dapat melemahkan basis pertahanan semesta yang bertumpu pada solidaritas rakyat.
Ancaman Informasi dan Siber
Gelombang disinformasi dan manipulasi opini publik menjadi ancaman baru yang tak kalah berbahaya dari perang konvensional.
Serangan tak lagi datang lewat peluru, tapi lewat narrative warfare — perang narasi yang merusak kepercayaan pada institusi negara dan hasil pemilu.
Dalam perspektif Teori Securitization dari Barry Buzan dan Ole Wæver, isu politik dapat diubah menjadi “ancaman keamanan” jika dikemas sedemikian rupa.
Masalahnya, ketika isu tersebut “diamankan” (securitized) secara berlebihan, ia sering digunakan untuk menjustifikasi tindakan otoriter atau membatasi kebebasan sipil. Akibatnya, demokrasi justru terancam dari dalam dirinya sendiri.
Ancaman Ekonomi dan Ketergantungan Geopolitik
Di tengah rivalitas global antara kekuatan besar seperti Amerika Serikat dan China, tekanan ekonomi menjadi bentuk baru intervensi geopolitik. Arus investasi, utang, dan proyek infrastruktur lintas negara dapat membawa ketergantungan strategis yang sulit dihindari.
Jika tidak diimbangi dengan kebijakan nasional yang cermat, pengaruh ekonomi asing dapat berubah menjadi intervensi halus terhadap kedaulatan politik. Hal ini akan memengaruhi keputusan publik melalui jalur ekonomi. Fakta di Srilanka bisa menjadi contoh kekuatan ekonomi asing lebih membahayakan ketimbang militeristik.
Dalam konteks ini, kemandirian ekonomi adalah bagian tak terpisahkan dari strategic autonomy, atau kedaulatan strategis bangsa.
Krisis Kepercayaan dan Disfungsi Lembaga Politik
Ancaman yang tak kalah serius datang dari dalam tubuh politik itu sendiri. Ketika partai politik gagal menjadi saluran aspirasi rakyat, kepercayaan publik pun menurun.
Apatisme politik tumbuh, dan negara kehilangan energi sosial untuk melakukan konsolidasi nasional. Menurut Teori Kelembagaan (Institutionalism), krisis legitimasi ini melemahkan kapasitas negara dalam merespons ancaman, terutama yang bersifat non-militer.
Sebuah sistem pertahanan semesta tidak akan kokoh jika fondasi kepercayaan antara rakyat dan negara mulai retak. Dengan kata lain ancaman ini menggabungkan dimensi militer, ekonomi, sosial, dan informasi.
Sishankamrata Masa Kini
Teori Barry Buzan tentang “Comprehensive Security” menegaskan bahwa keamanan tak lagi bisa dipahami semata dari ancaman militer, tetapi juga politik, sosial, ekonomi, dan lingkungan. Buzan, seorang pakar keamanan internasional dari London School of Economics, dikenal melalui karyanya yang berpengaruh “People, States and Fear” (1983). Dalam karya tersebut, Buzan memperluas cakupan makna keamanan (security) — yang sebelumnya dipahami secara sempit sebagai perlindungan militer terhadap ancaman eksternal — menjadi suatu konsep komprehensif dan multidimensional.
Sementara teori Civil-Military Relations dari Samuel Huntington menegaskan pentingnya keseimbangan antara profesionalisme militer dan kontrol sipil.
Dalam konteks Indonesia, dua teori ini menemukan sintesis alami dalam Sishankamrata, yakni pertahanan total berbasis rakyat yang demokratis, profesional, dan berakar pada nilai-nilai Pancasila.
Konsep ini diakomodasi dalam berbagai peraturan, termasuk UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan UU No. 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara.
Keempat ancaman di atas membentuk lanskap baru keamanan nasional — di mana batas antara politik, ekonomi, teknologi, dan pertahanan menjadi kabur.
Dalam konteks ini, konsep Pertahanan Rakyat Semesta (Sishankamrata) menemukan relevansi barunya: bukan hanya tentang kesiapan fisik menghadapi serangan bersenjata, tetapi tentang ketahanan politik, sosial, dan digital yang menyatu. Sishankamrata masa kini.
Sishankamrata 5.0
Sebagai lembaga kajian strategis, GREAT Institute memandang bahwa revitalisasi konsep Pertahanan Rakyat Semesta (Sishankamrata) tidak bisa berhenti pada pelestarian historis.
Konsep ini harus dimodernisasi agar tetap relevan di tengah era digital, ancaman hibrida, dan disrupsi geopolitik global yang semakin kompleks.
Sishankamrata yang lahir di masa perjuangan fisik kini perlu ditransformasikan menjadi paradigma pertahanan yang lebih luas — adaptif terhadap perubahan zaman dan responsif terhadap tantangan baru.
Inilah yang kami sebut sebagai arah baru yakni Sishankamrata 5.0. Ini adalah konsep transformasi pertahanan berbasis ekosistem digital dan kesiapsiagaan hybrid. Meliputi;
Pembaruan Doktrin Ancaman Hibrida
Dalam konteks modern, Sishankamrata mesti diperbarui dengan memasukkan dimensi ancaman hibrida (hybrid threats) secara eksplisit. Strategi pertahanan nasional tak lagi bisa semata berfokus pada ancaman militer konvensional.
Kini, perang terjadi juga di ranah informasi, ekonomi, dan teknologi — medan yang tak kasat mata namun berpengaruh langsung terhadap kedaulatan negara. Salah satu contohnya adalah disinformasi siber yang disokong oleh kekuatan asing.
Serangan semacam ini bukan melulu pada ranah media sosial, tetapi ancaman strategis yang dapat menggerogoti legitimasi pemerintah dan menurunkan kepercayaan publik.
Karenanya diperlukan mekanisme tanggap dini (early warning system) yang mampu mengenali dan menanggulangi serangan informasi.
Pemerintah, masyarakat sipil, dan dunia pendidikan perlu bekerja sama membangun ekosistem literasi digital dan kesadaran keamanan siber sebagai bagian dari pertahanan nasional. Termasuk menghadapi inflitrasi digital dalam upaya mengambil secara tidak sah aset negara, yang salah satu di antaranya data warga negara.
Sinergi Sipil–Militer yang Transparan
Sishankamrata hanya akan efektif bila didukung oleh hubungan sipil–militer yang sehat dan transparan. Implementasi program seperti Komponen Cadangan (Komcad) dan Bela Negara harus dijalankan secara akuntabel, bebas dari politisasi, dan berbasis partisipasi masyarakat profesional. Fokus utamanya bukan pada militerisasi rakyat, tetapi pada mobilisasi kapasitas sipil profesional dalam mendukung pertahanan nasional.
Para ahli teknologi informasi, tenaga medis, ekonom, dan ilmuwan dapat menjadi garda depan dalam menghadapi ancaman non-militer — dari keamanan siber hingga krisis kesehatan dan ekonomi.
Mereka adalah bentuk baru dari “pasukan pertahanan semesta” yang bekerja bukan di medan tempur, tetapi di ruang digital, laboratorium, pusat ekonomi, dan ruang publik. Di sinilah makna baru “bela negara” menemukan relevansinya di abad ke-21.
Pembangunan Ketahanan Nasional yang Komprehensif
Sishankamrata versi modern perlu bergeser dari orientasi semata defence (pertahanan fisik) menjadi resilience (ketahanan menyeluruh). Pertahanan bukan hanya tentang jumlah prajurit atau kekuatan alutsista, tetapi juga tentang daya tahan ekonomi, sosial, dan moral bangsa.
Bangsa yang kuat adalah bangsa yang tangguh secara sosial dan ekonominya, cerdas secara digital, dan solid secara identitas kebangsaan.
Karena itu, pembangunan ekonomi, pemerataan infrastruktur, peningkatan literasi digital, dan penguatan pendidikan harus dipandang sebagai bagian dari strategi pertahanan nasional.
Membangun jalan, memperluas akses internet, menumbuhkan industri lokal, serta memperkecil ketimpangan sosial — semuanya merupakan bentuk nyata dari pertahanan rakyat semesta dalam makna kontemporer.
Dalam pandangan GREAT Institute, arah masa depan Sishankamrata harus menempatkan rakyat bukan hanya sebagai pendukung pertahanan, tetapi sebagai aktor utama dalam membangun ketahanan nasional.
Pertahanan tidak lagi sekadar soal angkatan bersenjata, melainkan tentang bagaimana seluruh elemen bangsa — negara, swasta, akademisi, komunitas, dan individu — terhubung dalam satu ekosistem kedaulatan.
Sishankamrata 5.0 adalah ajakan untuk memperbarui cara kita memandang pertahanan: dari semangat perang gerilya menjadi semangat kolaborasi digital, dari pertahanan fisik menjadi pertahanan yang berakar pada kesadaran, ketangguhan, dan kecerdasan bangsa.(*)
BACA JUGA: Great Institute: Menyemai Pemikiran sebagai Bekal Menuju Indonesia Emas 2045






