Pidato Pelantikan Muhyiddin Ibnu Arabi Sebagai “Khatamul Walayah Muhammadiyah”
Shalawat semoga tercurah kepada sang kunci (sirr) dan inti (nuktah) semesta alam, yang dicari dan dituju kaum alim; sang penghulu shadiq, yang berjalan di penghujung malam kepada Rabnya pada sebuah thariq, yang menembus langit melalui tujuh buah thara’iq, yang dengannya para pejalan malam diperlihatkan ayat-ayat dan hakikat-hakikat yang meliputi seluruh makhluk Sang Khaliq; dialah baginda Muhammad
Oleh : Zaenal Mutaqqin
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang mengadakan segala sesuatu dari ketiadaan; kemudian mengembalikannya pada ketiadaan.
Shalawat semoga tercurah kepada sang kunci (sirr) dan inti (nuktah) semesta alam, yang dicari dan dituju kaum alim; sang penghulu shadiq, yang berjalan di penghujung malam kepada Rabnya pada sebuah thariq, yang menembus langit melalui tujuh buah thara’iq, yang dengannya para pejalan malam diperlihatkan ayat-ayat dan hakikat-hakikat yang meliputi seluruh makhluk Sang Khaliq; dialah baginda Muhammad.
Aku bermusyahadah dengannya SAW saat tengah mempersiapkan khutbah [Futuhāt al-Makiyyah] ini dalam sebuah persaksian di alam mitsal, pada hadirat Al-Jalāl; pada sebuah mukasyafah qalbiyah, pada hadirat ghaibiyah.
Dalam musyahadahku itu, sang Nabi saw.—yang maksum dari segala maksud dan terjaga dari segala pandangan yang terlintas—diiringi semua rasul yang berbaris bershaf-shaf; dan ummatnya, yang merupakan sebaik-baik ummat, mengelilinginya; dan para malaikat penjaga arsy mengitari tempat singgasananya; dan para malaikat yang membantu pekerjaannya berbaris di hadapannya.
Kemudian ada as-Shadīq [Abu Bakar] yang mulia di sebelah kanannya; dan al-Farūq [Umar bin Khattab] yang suci di sebelah kirinya; sementara sang Khatam berlutut di hadapannya, membawa kabar tentang ‘pasangan’ (al-untsa) untuk diberitahukan kepadanya; dan Ali [bin Abi Thalib], shalawat dan salam atasnya, menjadi penerjemah sang Khatam dengan lisannya; serta Dzu-Nurayn [Utsman bin Affan], yang mengenakan ‘jubah rasa malu’, begitu setia melayani kebutuhannya.
Sang baginda tertinggi, sang pembawa air yang segar dan manis, sang penerang yang paling jernih dan jelas, kemudian menoleh dan melihat ke arahku yang berada di belakang sang Khatam—adalah aku dan dia [sang Khatam] tidak berbeda secara formal (hukm). Seraya menatapku, Nabi saw. berkata kepada sang Khatam: “Ini adalah pasanganmu, anakmu, dan teman-dekatmu; dirikanlah sebuah mimbar dari kayu tamariska di hadapanku untuknya.”
Setelah itu Nabi saw. memberi isyarat kepadaku untuk berdiri, dan berkata: “Wahai Muhammad [bin Ali al-Arabi al-Hatimi al-Ta’i], berdirilah di atas mimbar itu, dan lantunkan puji-pujian kepada Dia yang telah mengutusku dan juga puji-pujian untuk diriku. Ketahuilah, sesungguhnya pada dirimu terdapat sehelai rambut (sya’rah) dariku, dia tidak sabar untuk kembali padaku, dia adalah penolong (sulthan) di dalam intisari dzatmu; maka jangan biarkan dia kembali kepadaku kecuali dengan keseluruhan dirimu; dia pasti akan berusaha kembali untuk bertemu aku, karena dia bukan dari alam yang tidak sempurna. Ketahuilah, manakala aku telah diutus ke dunia, tidaklah ada bagian dari diriku pada seseorang kecuali dia akan selamat; dan keberadaannya akan disyukuri dan dipuji di martabat malakutiyah yang tinggi.”
Sang Khatam mendirikan mimbar [yang diminta Nabi saw.] pada masyhad pertemuan yang terhormat tersebut, dan pada bagian depan mimbar terdapat tulisan dari cahaya yang berkilauan: “Ini adalah al-Maqām al-Muhammadi yang tersuci, barangsiapa yang ditempatkan padanya maka akan mewarisinya, dan Allah akan mengutusnya sebagai penjaga kehormatan syari’at.”
Manakala aku ditempatkan di mimbar itu, saat itu juga aku mendapat berbagai hikmah, seakan-akan menerima ‘Jawami`u l-Kalim‘ (Perangkum Firman). Maka aku bersyukur kepada Allah ‘Aza wa Jalla.
Lalu aku diangkat sedemikian tinggi hingga mencapai tempat mawaqif dan mustawa Nabi saw. Terjulur bagiku sepotong kain baju berwarna putih hingga ke derajat (tangga) tempatku berdiri. Dan aku berdiri di atas kain itu serta tidak menginjak lantai mawaqif beliau. Ini merupakan bentuk penyucian dan penghormatan kepadanya, sekaligus sebagai pengingat dan penyadar bagi diriku, bahwa maqam [di mana aku berada sekarang] itu merupakan tempat beliau bermusyahadah dengan Rabnya, adapun para pewarisnya—ketika diangkat ke tempat itu—tidak dapat bermusyahadah kecuali dari balik kain Rasulullah. Seandainya demikian (memiliki maqam yang sama), tentu akan tersingkap bagi kita apa-apa yang tersingkap baginya, dan kita akan mengetahui apa-apa yang beliau ketahui.
…
Ketika aku sampai di mawaqif yang berkilauan itu, di hadapanku berdiri sang baginda yang pada malam isra-mi’raj-nya berada sangat dekat dengan Rabnya, “sejarak dua ujung busur, atau lebih dekat lagi” (Q.S. [53]: 9). Aku berdiri di hadapannya dengan tertunduk malu; hingga manakala Ruh al-Quds menguatkanku, secara spontan kulantunkan syair:
يا منزل الآيات و الأنباء
أنزل على معالم الأسماء
Wahai yang menurunkan ayat-ayat dan nubuwah-nubuwah,
anugerahkan padaku panji-panji asma-asma
حتى أكون لحمد ذاتك جامعا
بمحامد السراء و الضراء
Hingga jadilah aku tonggak pujian (hamdu) bagi Dzat-Mu,
dengan perbuatan terpuji (mahmadu) di waktu suka maupun duka
….
Kemudian aku menoleh kepada beliau saw.:
….
و يكون هذا السيد العلم الذي
جردته من دورة الخلفاء
Dan Engkau jadikan baginda ini penghulu,
yang Engkau pilih dari daurah para khulafa.
و جعلته الأصل الكريم و آدم
ما بين طينة خلقه و الماء
Dan Engkau jadikan ia ushul yang mulia,
ketika Adam masih berbentuk tanah liat dan air.
و نقلته حتى استدار زمانه
و عطفت آخره على الإبداء
Dan Engkau mempergilirkannya hingga tiba jamannya,
lalu Engkau tautkan akhirnya pada permulaan.
و أقمته عبدا ذليلا خاضعا
دهرا يناجيكم بغار حراء
Dan Engkau menegakkannya sebagai hamba yang rendah hati dan bergantung,
yang menghabiskan waktunya untuk bermunajat kepada-Mu di Gua Hira
حتى أتاه مبشرا من عندكم
جبريل المخصوص بالأنباء
Hingga datang kabar gembira dari sisi-Mu,
dengan turunnya Jibril dengan nubuwah terkhusus
قال السلام عليك أنت محمد
سر العباد و خاتم النباء
Jibril berkata: “Salam bagimu! Engkaulah Muhammad,
kunci (sirr) para hamba dan segel (khatam) para nabi”
يا سيدي حقا أقول فقال لي
صدقا نطقت فأنت ظل ردائي
Wahai junjunanku, benarkah yang kukatakan ini? Jawabnya SAW bagiku:
“Apa yang kau ucapkan benar! Engkau lah bayangan jubahku.
فاحمد و زد في حمد ربك جاهدا
فلقد وهبت حقائق الأشياء
Maka pujilah, dan lipat gandakan pujian terhadap Rabmu, dengan sungguh-sungguh,
maka bagimu anugerah hakikat-hakikat segala sesuatu.
و انثر لنا من شأن ربك ما انجلى
لفؤادك المحفوظ في الظلماء
Dan sebarkanlah, demi kami, ihwal-ihwal Rabmu
yang terungkap pada fuadmu yang tersembunyi dalam kegelapan keberadaanmu…
من كل حق قائم بحقيقة
يأتيك مملوكا بغير شراء
… tentang segala yang haq yang tegak dengan segala hakikatnya,
yang datang padamu, menjadi milikmu, tanpa engkau membelinya.”
[ZM]