Pilih Roti atau Kunci? Metafora Demokrasi dan Pilpres 2024
Roti itu mungkin mewakili janji-janji jangka pendek dari politikus yang didukung oleh kekuatan oligarki, yang menggunakan transfer uang tunai langsung , makan siang gratis atau insentif lain untuk memenangkan hati rakyat. Strategi ini mungkin tampak menarik pada awalnya, namun sejatinya, ia memenjara masyarakat tetap di dalam siklus kemiskinan dan kebodohan, karena masalah sistemik yang mendasari tidak pernah ditangani.
Oleh : Rahmat Mulyana*
JERNIH–Dalam pementasan panggung politik Indonesia menjelang Pemilihan Presiden 2024, sebuah ilustrasi satir dapat menangkap esensi dari dinamika kekuasaan yang sering kali diabaikan.
Bayangkan sebuah gambar yang menggambarkan seorang tahanan dalam sel, yang daripada memilih kunci yang dapat membukakan kebebasannya, malah meraih sepotong roti yang tergeletak di luar jeruji besi. Ini bukan sekadar kartun; ini adalah metafora yang menggugah pemikiran tentang pilihan politik dan kebebasan individu.
Dalam konteks ini, kunci itu bisa jadi simbol dari politikus jujur yang menawarkan ide-ide pembaruan, yang jika diterapkan bisa membebaskan masyarakat dari ‘penjara’ masalah social, seperti kemiskinan dan korupsi. Di sisi lain, roti itu mungkin mewakili janji-janji jangka pendek dari politikus yang didukung oleh kekuatan oligarki, yang menggunakan transfer uang tunai langsung , makan siang gratis atau insentif lain untuk memenangkan hati rakyat. Strategi ini mungkin tampak menarik pada awalnya, namun sejatinya, ia memenjara masyarakat tetap di dalam siklus kemiskinan dan kebodohan, karena masalah sistemik yang mendasari tidak pernah ditangani.
Kita bisa mengaitkan gambaran ini dengan pilihan yang dihadapi oleh pemilih Indonesia. Apakah mereka akan tergiur oleh roti–yang dalam hal ini adalah politik praktis berupa uang tunai dan janji manis tanpa solusi nyata–atau apakah mereka akan memilih kunci yang memungkinkan mereka untuk membuka pintu ke masa depan yang lebih baik, meskipun memerlukan kerja keras dan perubahan yang berkelanjutan?
Namun, kita juga harus memahami mengapa roti kadang-kadang menjadi pilihan yang rasional bagi sebagian orang. Dalam kondisi ketidakpastian ekonomi dan politik, kebutuhan akan keamanan dasar bisa mendominasi keinginan untuk perubahan struktural. Jadi, dalam gambaran tahanan tersebut, mungkin dia memilih roti karena itu adalah kebutuhan dasarnya yang paling mendesak.
Lebih lanjut, metafora ini juga bisa merujuk pada ide bahwa banyak pemilih mungkin tidak melihat adanya ‘kunci’ yang nyata. Mungkin bagi mereka, politikus yang mengklaim menawarkan perubahan tidak terlihat jauh berbeda dari mereka yang memberikan roti. Ini adalah tantangan yang nyata bagi politikus yang ingin membawa perubahan: bagaimana meyakinkan pemilih bahwa mereka memiliki solusi yang akan bekerja dalam jangka panjang, bukan hanya janji manis di permukaan.
Ketika pemilihan presiden 2024 mendekat, masyarakat Indonesia berada di persimpangan. Apakah mereka akan memilih kenyamanan sesaat atau memilih jalan yang lebih berat menuju pembaharuan yang sejati? Gambaran tahanan dan pilihan antara roti dan kunci bisa menjadi refleksi yang kuat atas dilema yang dihadapi oleh banyak pemilih Indonesia saat ini.
Dengan kata lain, dalam pemilihan yang akan datang, masyarakat Indonesia diharapkan untuk mempertimbangkan dengan cermat antara pilihan yang menawarkan solusi jangka pendek dan mereka yang berjanji akan membawa perubahan nyata dan berkelanjutan. Apakah pilihan itu akan seperti memilih roti yang lezat tapi cepat habis, atau kunci yang bisa membuka pintu menuju kemakmuran dan keadilan sosial yang langgeng? Ini adalah pertanyaan yang harus dijawab oleh setiap pemilih di bilik suara.
Semoga Allah SWT memberikan petunjukNya kepada kita semua. [ ]
* Dr. Ir Rahmat Mulyana, MM, pengajar ilmu manajemen dan Ekonomi Islam