SolilokuiVeritas

Prabowonomics: Ekonomi dalam Mode Perang Demi Ketahanan Bangsa

Nietzsche pernah berkata, “He who has a why to live can bear almost any how. “Siapa yang punya alasan untuk hidup, akan sanggup menanggung cara hidup yang seberat apa pun.” Jika Prabowo sungguh memahami bahwa yang sedang ia komandoi adalah ekonomi dalam logika perang, maka tidak ada waktu untuk ragu. Ia harus bersikap seperti panglima yang tahu bahwa kekalahan artinya lenyap. Ia tidak boleh berkompromi pada birokrasi korup, pada para pemburu rente, pada logika fiskal yang hanya mengejar pertumbuhan statistik, bukan daya tahan bangsa.

Oleh     :  Darmawan Sepriyossa

Segera setelah langit Tel Aviv disambar rentetan rudal balasan dari Iran, dunia seakan dibangunkan dari ilusi damai yang lama terlelap. Nyata sudah, masa depan tak lagi berjalan di lorong kenormalan. Kita tidak sedang menanti badai, —badai itu sudah datang– dan menghantam. Dunia ini bukan hanya tidak baik-baik saja. Ia telah berubah. Secara mendalam dan permanen.

Terlebih sejak Trump kembali duduk di Gedung Putih. Dunia yang dulu menyebut dirinya “berbasis aturan” kini lebih mirip sirkus kekuasaan yang sepenuhnya unilateral. Koalisi makin sempit, poros makin tegas, dan diplomasi telah berubah bentuk menjadi perintah. Tak ada lagi percakapan antarnegara yang setara, hanya instruksi dan penghakiman.

Dalam peta global semacam itu, Prabowo Subianto memegang kendali Indonesia. Dunia yang ia hadapi bukan dunia investasi lancar dan stabilitas pasar. Bukan pula dunia penuh janji lembaga donor dan keterbukaan dagang. Yang ia hadapi adalah dunia berporos-poros yang saling menunggu jatuhnya yang lain. Maka dari itu, jika ada yang menyebut Prabowonomics sebagai economic of war, barangkali ia tak sedang berlebihan.

Bukan perang senjata yang dimaksud. Tapi ekonomi dalam mode bertahan. Ekonomi untuk selamat. Ekonomi sebagai siasat untuk tidak dihancurkan sistem. Dalam dunia yang makin tidak peduli pada keadilan, siapa pun yang tidak punya daya akan tergilas. Bahkan kalau pun Indonesia memiliki cukup uang, siapa yang bisa menjamin kita bisa tetap membeli energi ketika perang melebar? Siapa yang bisa menjamin logistik pangan berjalan ketika Laut Merah ditutup oleh rudal dan drone?

Maka langkah Prabowo yang berpaling ke timur dan selatan—ke Cina, Rusia, dan dunia Islam—bukan sekadar siasat dagang. Itu strategi bertahan hidup. Amerika tidak pernah sungguh-sungguh melihat Indonesia sebagai mitra. Dan Prabowo tahu, hanya orang lemah yang terus mengetuk pintu yang tak pernah dibuka.

Apa yang mesti dilakukan dalam situasi seperti ini? Pertama, pastikan logistik nasional: energi dan pangan. Ini bukan jargon kampanye, ini soal hidup-mati. Kita harus memiliki cadangan strategis minyak, gas, bahkan batu bara, karena dunia tengah menuju sumbatan besar. Kita juga harus menanam, dan memastikan hasilnya masuk perut rakyat sendiri, bukan sekadar penuhi kuota ekspor.

Kedua, bangun ulang industri dalam negeri. Jangan hanya hilirisasi di atas kertas. Jadikan tiap sentimeter kebijakan sebagai bagian dari mesin pertahanan ekonomi. Bukan dengan larangan kosong, tapi dengan insentif dan disiplin. Kalau perlu, anggap setiap pabrik sebagai pos komando. Karena perang ini tidak terlihat, tapi nyata.

Ketiga, jangan bergantung pada satu kutub. Dunia multipolar justru memberi peluang bagi negara-negara seperti Indonesia. Bangun poros-poros ekonomi baru. Tawarkan diri sebagai mitra dagang ke Afrika, Amerika Latin, Asia Tengah. Dan jangan ragu menjalin aliansi dengan negara-negara yang selama ini dipinggirkan dalam narasi global, tapi nyatanya tumbuh dalam kesunyian: Turki, Brasil, UEA, bahkan India.

Memang ada risiko jika kita terlalu dekat dengan Cina dan Rusia. Dunia Barat bisa saja menekan balik. Tapi seperti dikatakan diplomat AS George Kennan sendiri, perluasan NATO ke timur adalah “kesalahan strategis terbesar sejak Perang Dingin”. Dunia ini tidak adil. Dan jika sistem dunia memang timpang, mengapa kita harus terus berharap diperlakukan setara?

Nietzsche pernah berkata, “He who has a why to live can bear almost any how. “Siapa yang punya alasan untuk hidup, akan sanggup menanggung cara hidup yang seberat apa pun.” Jika Prabowo sungguh memahami bahwa yang sedang ia komandoi adalah ekonomi dalam logika perang, maka tidak ada waktu untuk ragu. Ia harus bersikap seperti panglima yang tahu bahwa kekalahan artinya lenyap. Ia tidak boleh berkompromi pada birokrasi korup, pada para pemburu rente, pada logika fiskal yang hanya mengejar pertumbuhan statistik, bukan daya tahan bangsa.

Sebab, yang sedang kita hadapi bukan sekadar ekonomi yang melambat. Tapi dunia yang berantakan, satu per satu porosnya rontok. Dunia di mana pangan bisa berubah jadi senjata. Energi bisa menjadi jerat. Dan uang tak selalu bisa membeli apa-apa. Kalau Prabowo paham ini, maka Prabowonomics bukan lagi rencana lima tahun. Tapi fondasi eksistensial republik ini untuk bertahan hidup, hari demi hari.

Dan kalau kita semua tak menyadari bahwa kita sudah berada dalam ekonomi mode perang, maka kita sedang berjalan menuju kehancuran sambil bersiul-siul dalam mimpi. [ ]

Back to top button