SolilokuiVeritas

Presiden Prabowo dan Tantangan Kekayaan Alam Indonesia: Mengingat Sejarah, Mengambil Tindakan Nyata

Studi oleh Transparency International menunjukkan bahwa negara dengan skor korupsi yang tinggi cenderung memiliki tata kelola sektor ekstraktif yang buruk, menyebabkan pendapatan dari sektor tersebut lebih banyak mengalir ke kantong para elite dibandingkan ke kas negara. Dengan mengambil pelajaran dari kisah Mukhtar Tompo, yang dengan keberanian dan dedikasinya di parlemen berhasil menantang dominasi asing, Prabowo dapat menunjukkan komitmennya untuk menegakkan kedaulatan dan harga diri bangsa.

Oleh    : Radius Anwar

JERNIH– Sebagai presiden terpilih, Prabowo Subianto harus menyadari pentingnya kekayaan alam Indonesia yang melimpah sebagai kekuatan ekonomi strategis. Pasal 33 UUD 1945 menegaskan bahwa kekayaan alam harus dikelola untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bukan menjadi ladang keuntungan bagi perusahaan multinasional. Dalam konteks ini, Indonesia memiliki sejarah panjang menghadapi perusahaan tambang asing, seperti Freeport, yang selama puluhan tahun mengeksploitasi kekayaan alam Papua dengan keuntungan yang sangat besar.

Sosiolog Amerika, Immanuel Wallerstein, dalam teorinya tentang sistem dunia, menekankan bahwa negara berkembang sering kali terjebak dalam posisi subordinat karena ketergantungan pada kapital asing dan eksploitasi sumber daya alam. Perusahaan multinasional, yang beroperasi di negara-negara berkembang, seringkali mengeksploitasi celah regulasi dan lemahnya sistem hukum lokal untuk memperoleh keuntungan maksimal. Hal ini relevan dengan sejarah panjang Freeport di Indonesia, yang sejak 1967 telah menikmati hasil tambang Papua tanpa ada tekanan serius untuk membangun fasilitas pemurnian (smelter) di dalam negeri hingga tahun-tahun terakhir.

Divestasi saham Freeport sebesar 51 persen yang akhirnya dicapai pada 2017 menjadi tonggak sejarah penting. Namun, banyak yang menganggap langkah ini belum cukup ideal, mengingat Indonesia harus membeli kembali sahamnya sendiri dengan harga yang sangat tinggi. Menurut ekonom Ha-Joon Chang dalam bukunya Bad Samaritans: The Myth of Free Trade and the Secret History of Capitalism, perusahaan multinasional seringkali mengambil keuntungan dari kelemahan birokrasi dan regulasi negara berkembang untuk memaksimalkan keuntungan mereka, sementara pemerintah setempat kerap kali tak berdaya karena korupsi dan ketergantungan finansial.

Dalam kasus divestasi Freeport, peran seorang anggota DPR muda, Mukhtar Tompo, seharusnya menjadi inspirasi. Pada tahun 2017, Mukhtar dengan berani menantang kepentingan asing di parlemen, sebuah langkah yang tak lazim dilakukan oleh wakil rakyat di Indonesia. Ia menuntut agar Freeport mematuhi UU Minerba yang mewajibkan perusahaan tambang untuk membangun smelter di dalam negeri. Meskipun menghadapi intimidasi dari pihak perusahaan, keberaniannya memicu gelombang dukungan publik yang mempercepat proses negosiasi divestasi. Keberhasilan ini membuktikan bahwa dengan keberanian dan dukungan rakyat, Indonesia dapat menegosiasikan kembali kontrak dengan perusahaan multinasional untuk memperoleh manfaat yang lebih adil.

Langkah patriotisme Mukhtar Tompo di tengah kompleksitas hubungan antara pemerintah Indonesia dan perusahaan tambang asing adalah sebuah contoh nyata dari keberanian seorang wakil rakyat dalam memperjuangkan kepentingan nasional. Pada saat ia bersikeras agar Freeport mematuhi undang-undang, Mukhtar menghadapi intimidasi, termasuk dugaan ancaman dan perlakuan tidak menyenangkan dari pihak perusahaan.

Salah satu insiden yang paling mencuat adalah ketika Mukhtar mengalami intimidasi dari Presiden Direktur Freeport saat itu, Chappy Hakim, yang memicu kemarahan di kalangan koleganya di DPR dan para kader partai Hanura. Langkahnya melaporkan insiden tersebut ke pihak berwenang menunjukkan bahwa ia tidak gentar untuk berdiri teguh membela kedaulatan bangsa, meski berada di bawah tekanan yang kuat​.

Sikap patriotik Mukhtar berhasil memantik dukungan luas dari masyarakat dan elite politik lainnya. Melalui berbagai pernyataannya, ia menggemakan aspirasi banyak rakyat Indonesia yang sudah lama merasa bahwa kekayaan alam bangsa ini tidak sepenuhnya dikelola untuk kepentingan nasional. Desakan Mukhtar agar Freeport hengkang jika tidak mau patuh pada UU Minerba memperlihatkan keberaniannya dalam menyuarakan kepentingan publik, di mana ia menekankan bahwa pengelolaan tambang harus kembali ke tangan bangsa sendiri. Keberanian ini tidak hanya menyuarakan kepentingan masyarakat Papua yang selama ini merasa dirugikan, tetapi juga membawa isu kedaulatan sumber daya alam ke dalam percakapan nasional dan internasional.

Langkah Mukhtar yang menolak tunduk pada tekanan korporasi asing, bahkan ketika banyak anggota parlemen lain lebih memilih bersikap netral atau diam, menonjol sebagai aksi heroik yang patut dihargai. Dalam konteks divestasi saham Freeport, kontribusi Mukhtar bukan sekadar aksi simbolis; ia secara aktif mempengaruhi arah kebijakan dan mempercepat proses negosiasi yang selama ini berjalan alot.

Ketika divestasi saham 51 persen akhirnya terjadi, banyak yang menyebutnya sebagai keberhasilan pemerintahan Jokowi, tetapi sedikit yang memberikan kredit kepada Mukhtar, yang telah memicu terjadinya negosiasi ulang secara serius sejak 2017. Meskipun hasil akhir divestasi tersebut masih belum ideal, upaya Mukhtar menunjukkan bahwa perubahan nyata bisa dicapai melalui keberanian dan kegigihan di jalur parlemen.

Namun, perjuangan untuk memperoleh kembali kendali atas kekayaan alam tidak cukup hanya dengan menaikkan porsi kepemilikan saham. Smelter Freeport di Gresik, yang baru diresmikan pada 2024 setelah 55 tahun eksploitasi tambang di Papua, menunjukkan betapa lambannya pembangunan fasilitas hilirisasi di Indonesia. Bahkan setelah diresmikan, smelter tersebut mengalami kebakaran pada unit asam sulfatnya pada Oktober 2024, yang menimbulkan kekhawatiran mengenai kualitas pengawasan proyek.

Menurut laporan dari beberapa ahli, termasuk Profesor Richard Auty yang mencetuskan teori resource curse, negara-negara kaya sumber daya alam cenderung mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah karena kegagalan dalam mengelola sumber daya tersebut secara berkelanjutan. Hal ini terjadi karena pendapatan dari sektor ekstraktif seringkali menciptakan insentif untuk korupsi dan pengabaian diversifikasi ekonomi.

Sebagai presiden terpilih, Prabowo memiliki kesempatan besar untuk membuktikan bahwa ia dapat melampaui capaian pendahulunya dengan memperkuat regulasi dan memastikan bahwa proyek-proyek besar seperti smelter benar-benar membawa nilai tambah bagi perekonomian nasional. Pendekatan ekonomi berbasis sumber daya yang berdaulat harus dimulai dengan mereformasi tata kelola industri pertambangan. Perlu adanya kebijakan yang tidak hanya mengandalkan investasi asing, tetapi juga mengutamakan keterlibatan BUMN dan perusahaan lokal dalam proyek strategis.

Hal ini sejalan dengan pemikiran Joseph Stiglitz dalam bukunya Globalization and Its Discontents, yang menyarankan bahwa negara berkembang harus menegosiasikan ulang kontrak dengan perusahaan multinasional untuk memastikan bahwa keuntungan yang dihasilkan benar-benar digunakan untuk kepentingan publik.

Prabowo juga perlu belajar dari pengalaman banyak negara berkembang yang gagal mengelola sumber daya alamnya karena terjebak dalam politik patronase dan korupsi. Studi oleh Transparency International menunjukkan bahwa negara dengan skor korupsi yang tinggi cenderung memiliki tata kelola sektor ekstraktif yang buruk, menyebabkan pendapatan dari sektor tersebut lebih banyak mengalir ke kantong para elite dibandingkan ke kas negara. Dengan mengambil pelajaran dari kisah Mukhtar Tompo, yang dengan keberanian dan dedikasinya di parlemen berhasil menantang dominasi asing, Prabowo dapat menunjukkan komitmennya untuk menegakkan kedaulatan dan harga diri bangsa.

Menghadapi tantangan besar ini, presiden terpilih harus mengedepankan visi yang lebih luas tentang pengelolaan sumber daya alam. Smelter bukan hanya proyek simbolis, tetapi harus menjadi fondasi untuk industrialisasi yang berkelanjutan dan berkeadilan sosial. Indonesia memiliki potensi untuk menjadi negara dengan ekonomi berbasis hilirisasi yang kuat, tetapi hanya jika pemerintah berani mengambil langkah-langkah strategis yang melindungi kepentingan nasional dan tidak hanya tunduk pada tekanan kapital asing.

Dengan demikian, semangat nasionalisme yang dicanangkan dalam kampanye Prabowo harus dibuktikan melalui tindakan nyata, bukan hanya retorika. Sudah waktunya presiden terpilih menunjukkan bahwa janji-janji kampanye tentang kedaulatan ekonomi dapat terwujud, dan bahwa Indonesia benar-benar mampu keluar dari bayang-bayang eksploitasi perusahaan multinasional yang selama ini menguasai kekayaan alam bangsa. [ ]

*pemerhati sosial-politik

Back to top button