SolilokuiVeritas

Raden Devi atau Dewi Sartika

  • Dewi Sartika mungkin tak membaca Hilda van Suylenburg dan membuat pikirannya berkelana.
  • Ia hanya punya sedikit pengetahuan, dan itulah yang digunakan untuk mengentaskan perempuan Jawa dari buta huruf.

JERNIH — Ketika feminis liberal Aletta Jacobs mengunjungi Hindia-Belanda tahun 1912, Raden Ajeng (RA) Kartini telah wafat. Ia hanya mendapat cerita tentang putri Jepara itu dari gadis-gadis di keraton Yogjakarta.

Dineke Stam, dalam tulisannya di javapost.nl, mengatakan Jacobs hanya sekali menyebut Kartini, yaitu dalam salah satu suratnya; “Kepada putri-putri muda ini saya menyapa wanita Jawa modern, gadis-gadis perang Kartini yang ingin lebih mengembangkan diri untuk mengangkat saudara perempuan Jawa-nya.”

Jacobs melanjutkan; “Akankah Hilda van Suylenburg berpikir bahwa di sini, di tengah Jawa, dia akan menemukan pemujanya di kalangan putri-putri rumah Paku Alam. Pemuja yang begitu manis, muda, dan bersemangat.”

Hilda van Suylenburg adalah novel feminis yang ditulis Cécile Goekoop-de Jong van Beek en Donk. Kartini dipastikan membaca novel itu seca intensif, dan terlihat dari surat-suratnya kepada rekan-rekannya di Belanda.

Novel itu juga dibaca kalangan putri bangsawan Yogjayakarta, Pakualaman, karena hanya mereka yang mendapat pendidikan cukup dan bisa berbicara Bahasa Belanda.

Wujud Nyata Cita-cita Kartini

Jacobs tak berlama-lama mendengar cerita tentang Kartini dari para pengagumnya, dan lebih suka menulis sebanyak mungkin tentang Dewi Sartika. Baginya, Dewi Sartika adalah perempuan yang memberi wujud kongkret cita-cita Kartini.

Dewi Sartika mungkin tidak membaca Hilda van Suylenburg, nggak secerdas Kartini, atau memiliki kemampuan berpikir seperti putri-putri keraton Yogja dan Pakualaman. Dia hanya memiliki sedikit, dan itulah yang dia bagikan.

“Saya mengunjungi sekolah untuk gadis pribumi di sini bersama Nyonya Oudemans, pelindung sekolah,” tulis Jacobs, seperti dikutip Dineke Stam. “Pendiri dan direktur sekolah itu adalah Raden Devi, istri seorang guru pribumi.”

Raden Devi, menurut Jacobs, bersekolah sampai usia 12 tahun, menikmati pendidikan lanjutan pertama dari ibunya — yang pasti seorang bangsawan — dan suaminya.

Ketika telah menjadi ibu beberapa anak, Raden Devi terpanggil untuk membagikan sedikit pengetahuan yang dimiliki — namun jauh di atas kebanyakan wanita di Pulau Jawa saat itu — kepada wanita lain.

Raden Devi, atau Dewi Sartika, mengumpulkan tujuh atau delapan gadis dan mengajar mereka membaca dan menulis. Hari-hari berikut gadis-gadis datang dan bertanya apakah kami bisa ikut belajar.

Sulit bagi Raden Devi untuk menggeleng atau berkata tidak. Akibatnya, dalam waktu singkat jumlah siswa Raden Devi mencapai 230 orang.

Resminya, Dewi Sartika membuka sekolah pertamanya tahun 1904, yang diberi nama Sekolah Keoetamaan Isteri. Enam tahun kemudian jumlah sekolah mejadi sembilan. Tahun 1920, sekolah Dewi Sartika ada di setiap kota dan kabupaten di Jawa.

Gadis-gadis itu tak sekedar belajar membaca dan menulis, tapi diperkenalkan dengan matematika, kerajinan tangan, dan memasak. Ia, tentu saja dibantu suaminya, mengembangkan kurikulum sendiri — tentu saja dengan muatan khas lokal dan keindonesiaan.

Dewi Sartika meletakan pondasi dan membangun sistem pendidikan, yang kemudian berkembang dengan sendirinya. Entah berapa ribu perempuan yang mendapatkan manfaat Sekolah Keoetamaan Isteri. Yang pasti, Dewi Sartika mengentaskan ribuan perempuan Jawa dari buta huruf.

Pada 11 September 1947, saat evakuasi dari Bandung pada Perang Kemerdekaan, Dewi Sartika meninggal dunia. Raden Devi atau Devi Sartika mewujudkan cita-cita Kartini dengan caranya, yaitu membagi sedikit ilmu yang dia miliki tapi mencerahkan ribuan anak bangsa.

Back to top button