SolilokuiVeritas

Simalakama Indonesia dalam Presidensi G-20

Tetap mengundang kehadiran Rusia berisiko pada ketidak hadiran Amerika dan G7-nya plus EU, sebagai pemegang otoritas terbesar perekonomian dunia secara kolektif sekitar 51,6 persen perekonomian global, belum termasuk sekutu Amerika lainnya seperti Australia, Korea Selatan, Turki, Afrika selatan, dan Saudi Arabia.

Oleh :  Prof.Yuddy Chrisnandi *)

JERNIH—Untuk mengerti realitas dunia yang terjadi hari ini, ada baiknya kita membaca ulang buku yang ditulis Joseph Stiglitz, peraih penghargaan Nobel untuk ekonomi 2001, “Globalization and its Discontents”. Di era komunikasi canggih dewasa ini, di saat informasi serba transparan, bahan pengambil keputusan tersedia, namun kecerdasan tetap menjadi basis pengambilan pilihan.  

Dunia terlihat datar seperti dikatakan Thomas L Friedman, “The world is flat.” Globalisasi membawa Indonesia masuk G20, yang dibentuk tahun 1999. Sebelumnya perekonomian global dilanda krisis keuangan pada kurun 1997-1999. Organisasi ini bertujuan mencapai stabilitas keuangan internasional. Secara kolektif, organisasi ini mewakili sekitar 65 persen penduduk dunia, menguasai 80 persen perdagangan global dan menyerap 85 persen perekonomian dunia.

Yuddy Chrisnandi

Kehadirannya merupakan kelanjutan berdirinya G7 (Amerika Serikat, Inggris, Italia, Jepang, Jerman,Kanada dan Perancis) yang dibentuk tahun 1975 pasca- krisis minyak bumi yang  melanda dunia, untuk pemulihan ekonomi serta memimpin demokrasi industri. Dalam perkembangannya ia mencakup isue perdamaian-keamanan, perubahan iklim dan kerja sama global termasuk penanganan pandemi COVID-19. Prinsip-prinsip kerja sama global melandasi kehadiran G7 maupun G20,  guna mengatasi masalah perekonomian global secara kolektif, yang mutlak membutuhkan perdamaian dunia, keamanan dan rasa saling percaya. Kata kunci dari kehadiran organisasi ini adalah : kerja sama, saling percaya, aman dan damai.

Presidensi Indonesia 2022 tengah menghadapi ujian eksistensinya. Legacy politik luar negeri pemerintahan Jokowi sedang bertaruh di kancah diplomasi interna-sional. Agresi Rusia menyerang Ukraina 24 februari 2022 disertai tuduhan kejahatan perang serta pelanggaran berat HAM yang dilakukan terhadap masyarakat sipil Ukraina, membuat berang Amerika Serikat dan sekutunya.

Amerika Serikat meminta Rusia dikeluarkan dari keanggotaan G20. Sementara Indonesia sebagai koordinator pelaksana KTT (konferensi tingkat tinggi, para kepala Negara) sudah terlanjur mengirimkan undangan kepada Presiden Rusia Vladymir Putin untuk hadir, dua hari sebelum Rusia menyerang Ukraina. Indonesia dengan dalih netralitas polugri yang bebas aktif bernarasi kukuh menghadirkan Russia, dihadapkan pada desakan Amerika Serikat yang mungkin diikuti negara lainnya untuk memboikot.

Dengan memahami filosofi sejarah terbentuknya G20, dapat dimengerti mengapa pada tahun 1992 setelah USSR bubar, Rusia yang dianggap pewaris Uni Sovyet (walaupun saat itu bukan masuk katagori negara kaya, dengan GDP ratusan miliar dollar AS saja) diadopsi kehadirannya dalam forum G7 karena diharapkan memberikan kontribusi keamanan dan perdamaian dunia sebagai fondasi kerja sama global. Pada tahun 1999 itu kehadiran Rusia mengubah G7 menjadi G8. Situasi sebaliknya, pada tahun 2014 Rusia dikeluarkan atau ditangguhkan dari G8 karena mencaplok semenanjung Crimea yang merupakan wilayah kedaulatan Ukraina.

Resolusi PBB dikeluarkan agar Rusia menghormati kedaulatan negara  lain. Russia dianggap berbahaya bagi perdamaian dunia. Desakan Amerika serikat yang didukung anggota G20 lainnya untuk mengeluarkan atau menangguhkan keanggotaan Rusia bukan hal yang baru. Rusia yang tidak belajar dari pengalamannya , mengulangi kesalahan serupa : menginvasi Ukraina dengan brutal.

Pencaplokan Semenanjung Crimea tanpa darah, tanpa letusan senjata, menyebabkan Rusia dikeluarkan dari G8. Terlebih lagi tindakannya menyerang Ukraina, menyebabkan kematian ribuan rakyat sipil yang di antaranya diduga sebagai kejahatan perang serta pelanggaran HAM. Rusia di-suspend keanggotaannya di United Nations Human Right Council melalui voting dimana mayoritas 93 negara setuju dengan tudingan pelanggaran HAM, 24 menentang dan 58 suara  abstain ( termasuk Indonesia). Rusia juga dinyatakan bersalah melanggar kedaulatan Ukraina oleh 134 Negara dari 193 anggota PBB melalui resolusi United Nations General Assembly, Maret lalu.

Rusia, dalam pandangan mayoritas masyarakat international dilihat sebagai ancaman keamanan dan perdamaian dunia, yang tidak menghormati Hukum Internasional dan nilai-nilai kemanusiaan.

Presidensi Indonesia di tahun 2022 ini, bermakna Strategis. Sebagai tuan rumah perhelatan negara-negara adidaya perekonomian dunia yang akan berlangsung November tahun ini, Indonesia akan menjadi pusat perhatian internasional sekaligus menjadi magnet bisnis international dari berbagai side event yang sudah berjalan sejak serah terima dari Italia, akhir tahun lalu.

Di tengah kohesivitas kerja sama global menghadapi pandemi COVID-19, posisi presidensi dapat bermanfaat besar untuk  promosi sukses Indonesia mengatasi pandemi. Sektor industri farmasi, manufaktur, pertanian, perikanan, pertambangan, pariwisata hingga produk industri kreatif dapat memberikan keuntungan transaksional menambah devisa nasional berlipat ganda. Secara politik, keberhasilan penyelenggaraan KTT G20 yang dihadiri seluruh kepala pemerintahan anggotanya akan meningkatkan daya tawar, membuka pintu kerja sama yang lebih lebar, terbangunnya kepercayaan lebih besar atas pengakuan kepemimpinan Indonesia di kancah internasional.

Terlebih lagi, jika Indonesia berhasil mewujud-kan konsep kerja sama yang kongkret dari mottonya : Recover Together, Recover Stronger. Misalnya mewujudkan pembangunan industri farmasi global berorientasi penanganan pandemi di setiap kawasan, atau kerjasama pariwisata masyarakat dunia melalui pembentukan korporasi global, penurunan pajak bea masuk bahan baku industri pangan, hingga merumuskan konsep menjaga keamanan transportasi global atas produk industri dari satu negara ke negara lainnya, bahkan merumuskan kerja sama global di bidang ketersediaan energi dan membangun korporasi global produk renewal energy. Ini semua bisa menjadi legacy bagi Presiden Jokowi yang akan menempatkannya sebagai pemimpin berkelas dunia, world class leader.

Persoalannya tidak semudah dapat diraih dalam situasi yang anomali dewasa ini. Posisi politik Indonesia yang netral-bebas aktif tempo doeloe era 60-an, sudah berbeda masa di era milenial-Z’s Generation sekarang ini.

Paradigma melihat perang dingin AS-Sovyet masa lalu dengan peristiwa krisis Teluk Babi di Kuba, 1961, yang menempatkan Indonesia netral dimana Presiden Soekarno begitu lincah menjalin persahabatan dengan John F Kennedy (Presiden Amerika yang ke-35, 1961-1963) bersamaan dengan Nikita Khrushchev (Pemimpin tertinggi Unisovyet, 1953-1964), sulit dilakukan di zaman now. Historical backround dan paradigma melihat situasinya berbeda jauh.

Kini tidak mungkin bagi Indonesia dalam ruang G20-nya merangkul kedua sisi : Amerika dan Rusia. Indonesia harus berlayar di antara dua karang, berlabuh di salah satunya, atau melewati saja keduanya tanpa harus berlabuh. Indonesia harus melakukan kalkulasi mendalam bagi kepentingan nasional saat ini dan masa depannya.

Kalkulasi dimaksud bukan sekadar simulasi kedudukan Indonesia dalam hubungan internasional namun kesinambungan pembangunan nasional, stabilitas ekonomi-politik, kesejahteraan dan kemakmuran Indonesia, berlandaskan perdamaian abadi dan kemanusiaan yang adil beradab, sebagai prinsip dasar. Memilih kehadiran Amerika serikat dan sekutu Ekonominya di G20 berarti membatalkan undangan yang sudah dikirim kepada Vladymir Putin.

Tetap mengundang kehadiran Rusia beresiko ketidak hadiran Amerika dan G7-nya plus EU, sebagai pemegang otoritas terbesar perekonomian dunia secara kolektif sekitar 51,6 persen perekonomian global, belum termasuk sekutu Amerika lainnya seperti Australia, Korea Selatan, Turki, Afrika selatan, dan Saudi Arabia.

Indonesia juga secara cermat harus melihat neraca perdagangannya dengan Rusia yang besarnya tidak lebih dari 2,4 miliar dollar AS dibandingkan dengan Amerika serta negara lainnya. Sebagai catatan penting dari sisi  kemampuan mesin ekonomi nasional, GDP Russia hanya selisih 430 miliar dollar AS saja dengan Indonesia yang menempati ranking ke 16 G20 (GDP Russia 1,48 T USD, Indonesia 1,05 T USD, tahun 2020) berbeda jauh kemampuannya dari GDP Amerika yang mencapai 20,94 T USD atau EU 15,73 T USD , 1 T USD di atas GDP Cina yang tercatat 14,72T USD.

Hal penting lainnya yang harus diperhatikan adalah interdependensi kedua negara dari sisi kebutuhan teknologi, keuangan, energi, bisnis-perdagangan, pendidikan dalam spektrum yang luas. Dengan bekal pemahaman dan telaah mendalam, seharusnya Indonesia sudah dapat mengambil keputusan di tengah dilemanya.

Jika pun nanti Indonesia tidak berhasil menghadirkan semua kepala Pemerintahan G20 bahkan dianggap gagal menyelenggarakan KTT, itu tidak sepenuhnya kesalahan Indonesia. Ini semua akibat sebuah peristiwa dunia di mana ulah sebuah negara yang tidak memahami landasan dasar kerja sama ekonomi global yaitu : keamanan dan perdamaian. Nonsense suatu kerja sama tanpa rasa percaya dalam bayangan ancaman ketakutan. Begitulah Amerika dan sekutunya memandang Rusia sekarang.

Di sisi lain, Indonesia perlu menunjukan empatinya atas penderitaan rakyat Ukraina akibat invasi rusia. Masih ada waktu bagi tuan rumah untuk bebenah dan berbuat sesuatu yang berharga bagi perdamaian dunia dan kemanusiaan. Pemerintah Indonesia, hendaknya kini mengerti bahwa G20 bukan sekedar  Ekonomi. [  ]

*) Penulis adalah Duta Besar Indonesia untukUkraina 2017-2021; dan Guru Besar Ilmu Politik Universitas Nasional, penulis buku “Dari Kyiv Menulis Indonesia”

Back to top button