Saat Kota Garut Menjadi Latar Karya Sastra
Saat itu Garut terkenal keindahannya, sebagai “Mooi Garut”. Tokoh-tokoh terkenal yang pernah berkunjung ke Garut waktu itu, antara lain Charlie Chaplin, bintang film Holywood zaman film bisu, dan Pablo Neruda, sastrawan Peru, yang meraih“Nobel” sastra tahun 1978.
Oleh : Usép Romli HM
Kota Garut, Jawa Barat, sering menjadi latar (setting) karya sastra. Mungkin karena punya dayatarik sendiri sebagai kotayag memiliki keindahan panorama alam, sehingga pada tahun 1930-an pernah bergelar “Swisss van Java”.
Di samping digunakan oleh para sastrawan kelahiran Garut, juga oleh sastrawan luar Garut. Antara lain Sastrawan Arab peranakan tahun 1930-an, Abdullah Asségaf. Ia menulis novel berjudul “Fatat Garut” (Gadis Garut). Sastrawan Jerman, Max Dauthendey (1867-1918), menulis sajak “An den Cikuray” (Kepada Cikuray), dan “Unter dem grossen Warringinbaum” (Di Bawah Kemegahan Pohon Beringin). Keduanya diberi titimangsa “Garut,1915”. Dauthendey tergila-gila panorama alam eksotis Nusamtara, sehingga sastrawan Jerman penganut paham impresionis ini, sering melanglang Asia. Terutama Pulau Jawa, hingga meninggal kota Malang.
Achdiat Kartamiharja, pengarang novel “Athéis” (1949), asli kelahiran Garut. Yaitu di Cibatu, tahun 1908. Namun wafat di Canberra, Australia tahun 2010. Dalam novel yang hingga kini masih menjadi bacaan wajib di SMA dan perguruan tinggi itu, Achdiat berkisah tentang tokoh Rusli yang “urakan”, waktu berkunjung ke kampungnya Panyérédan, Wanaraja. Perilaku Rusli yang ingkar dari tata krama kesopanan, berhadapan dengan keadaan penduduk kampung yang tenang dan memegang teguh ahlak agama.
Sastrawan lainnya asli Garut, Dodong Djiwapradja (1927-2009), banyak menulis sajak yang berkaitan dengan Garut. Baik sebagai latar kasang (latar belakang), téma, mau pun judul. Pada buku-buku kumpulan sajaknya “Kastalia” (1997), pene-rima anugrah “Buku Utama” (1998), Dodong menulis sajak berjudul “Garut”. Ditujukan kepada “Madro’i, petani pembajak sawah, bertiti mangsa tahun 1955. Sedangkan pada sajak “Bendéra” (titimangsa 1961), Dodong menulis :
Seperti jalan ke Garut, lalu lewat Wanaraja
Angin dingin menggelitik tubuh kita
Orang-orang tak berbaju, anak-anak tak bercelana
Setelah pensiun dari perwira TNI-AU, Dodong kadang-kadang mudik ke kampung kelahirannya di Pasirmuncang, Banyuresmi. Sering memancing di Sungai Cimanuk, yang ditulisnya menjadi sajak “Memancing di Kali Cimanuk” (1972).
Penyair terkenal WS Rendra, dalam pengantar “Kastalia” menyatakan, semua sajak Dodong menunjukkan sikap hidup hati-hati, menghargai kebahagiaan masa kanak-kanak, dengan cara mensyukuri keindahan yang diserahkan oleh alam kepada dirinya. Selanjutnya dilukiskan dengan kata-kata yang indah dan tertib.
Demikian pula Ramadhan KH (1927-2006) Penyair kelahiran Cianjur, menggam-barkan alam Cikajang salah satu kota kecil bersuhu dingin di Selatan Garut, dalam kumpulan sajaknya “Priangan Si Jelita” (`1958).
Nasjah Djamin (1924-1997), mengisahkan pengalaman berjuang pada masa revolusi kemerdekaan di Garut. Salah satu ceritera berjudul “Sekelumit Nya-nyian Sunda” berlatar belakang perdesaan Leles, dengan Situ Cangkuang yang indah dan termasyhur. Judul cerpen tersebut dijadikan judul bukunya yang terbit tahun 1957. Selain terkenal sebagai sastrawan, Nasjah juga terkenal sebagai pelukis seangkatan dengan Nashar, Zaini, A. Wakijan, dll. Ia juga menulis buku “Hari-Hari Terakhir Sang Penyair” (1982), sebagai kenangan pergaulannya dengan Chairil Anwar (1922-1949).
Karya mutakhir yang mengambil setting Garut adalah “Senja di Tenjolaya“, tulisan sastrawan Akmal Nasery Basral. Novel itu bercerita tentang seorang warga Korea, Yang Chil-sung yang bergabung dengan pejuang kemerdekaan di Garut, menjadi Muslim dan berganti nama menjadi Komarudin Yang Chil-sung. Dia dieksekusi mati Belanda setelah tertangkap. Mayatnya kini dimakamkan di TMP Tenjolaya, Garut.
Karya sastra Sunda, yang berlatar belakang “full Garut”, di antaranya “Numbuk di Sué”, karya Mohammad Ambri (1885-1936). Sastrawan kelahiran Sumedang itu menulis “Numbuk di Sué” (1932) untuk bacaaan anak remaja. Tapi menarik untuk orang tua juga. “Numbuk di Sue” secara tidak langsung mengandung unsur-unsur sejarah, ekologi, antropologi dan budaya Garut tahun 1920-1930-an, yang merupakan dokumén penting untuk perkembangan Garut masa lampau dan masa kini.
Isi kisah, berupa paparan pengalaman “Emang” (paman) kepada Utun, kepona-kannya, waktu berlibur ke “Nagara” (Pameungpeuk). Sepanjang perjalanan selalu “numbuk di sué” Sial melulu. Mulai dari waktu berangkat, ketinggalan buntalan pakaian dalam kereta api di Statsion Leles. Keberangkatan ke Pameungpeuk juga terlambat di Cisompet, karena belum mendapat kuda untuk menuju pantai Cilaut-eureun, Samudra Hindia.
Nama-nama tempat yang dilalui, cermat diceriterakan. Seperti Simpang, Bayong-bong, Situayu atau Giriawas. Waktu itu masih ada perkebunan teh “Waspada” lembah gunung Cikuray, yang dikelola “Tuan Kawasa” KF Holle, seorang yang besar perhatiannya terhadap sejarah dan kebudayaan Sunda. Bekerja sama dengan Penghulu Besar Garut, RH Muhamad Musa, KF Holle mengumpulkan folklore setempat, yang dikumpulkan dalam “Dongeng-Dongeng Picontoeun”.
Dengan “Numbuk di Sue” Moh. Ambri, mengajak berkelana ke Garut masa lalu. Ketika menjadi tujuan wisata dari mana-mana. Terkenal keindahannya, sebagai “Mooi Garut”. Tokoh-tokoh terkenal yang pernah berkunjung ke Garut waktu itu, antara lain Charlie Chaplin, bintang film Holywood zaman film bisu, dan Pablo Neruda, sastrawan Peru, yang meraih“Nobel” sastra tahun 1978.
Sastrawan Sunda lainnya, yang mencipta karya sastra berlatar belakang Garut, adalah Wahyu Wibisana (1935-2004), dengan karya puisinya “Malati ti Gunung Guntur”. Puisi ini dijadikan lagu oleh maéstro kawih Sunda, Mang Koko (1915-1985). Cukup terkenal karena ditembangkan para jurukawih terkenal dan diabadikan dalam rekaman kaset/CD.
Selain nama-nama di atas, masih banyak sastrawan kelahiran Garut yang menulis karya “dwi bahasa” (Sunda dan Indonesia) dan cukup terkenal di kancah sastra nasional. Antara lain Surachman RM (lahir 1936), penulis kumpulan puisi “Di Balik Matahari” (1978), Wing Karjo (1939-2005), penulis kumpulan puisi “Selembar Daun”, dan Apip Mustopa, penulis kumpulan puisi “Angin Bandung”. [ ]