
Hampir sepuluh tahun di era Jokowi, ketika suara buruh dihancurkan, tanpa hak penting merumuskan kebijakan, khususnya dalam pembuatan UU Omnibuslaw Ciptaker, kini diakui kembali. Presiden sendiri menempatkan buruh kembali sebagai salah satu stakeholder penting perekonomian nasional, bukan sekedar budak yang menjadi objek eksploitasi.
Oleh : Syahganda Nainggolan*
JERNIH– Pertemuan Sufmi Dasco Ahmad yang didampingi Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo dan Sekretaris Kabinet, Letkol Teddy Indra Wijaya dengan tiga tokoh sentral buruh, yakni Ketua Umum KSPSI Pembaruan, Jumhur Hidayat, Presiden KSPSI, Andi Gani Nena Wea dan Presiden Partai Buruh, Said Iqbal, berlangsung Rabu (16/4), menindaklanjuti rencana Prabowo membentuk Satgas PHK.
Sebuah respon cepat dan tepat. Satgas PHK sendiri merupakan usulan Presiden Partai Buruh Said Iqbal untuk mengantisipasi gelombang PHK ke depan secara sistematis dan terukur serta memberi respon yang komprehensif. Saran Said ini berlangsung dalam tanya jawab seluruh pemangku kepentingan perekonomian nasional pada Sarasehan Ekonomi 2025, yang berlangsung di Jakarta beberapa waktu lalu.

Isu PHK memang menjadi momok yang menakutkan belakangan ini. Di mulai dengan kasus PHK pabrik tekstil Sritex dan PHK lainnya terjadi di berbagai kawasan industri kita. Taksiran PHK belakangan ini bervariasi antara angka puluhan ribu ke jumlah ratusan ribu jiwa. Sebagaimana rujukan yang digunakan antara data resmi pemerintah dengan data yang di luar pemerintah, seperti data dari serikat buruh. Yang paling gawat lagi, prediksi lembaga kajian ekonomi Celios, dalam sebuah majalah nasional, disebutkan angka PHK akan menjadi 1,2 juta jiwa akibat perang tarif yang terjadi baru-baru ini.
Hubungan Industrial Pancasila
Dialog pemerintah, buruh dan pengusaha dalam Sarasehan Ekonomi 2025 yang lalu menghasilkan rencana aksi membentuk Satgas PHK, tentu merupakan gambaran hubungan industrial yang baik saat ini. Hampir sepuluh tahun di era Jokowi, ketika suara buruh dihancurkan, tanpa hak penting merumuskan kebijakan, khususnya dalam pembuatan UU Omnibuslaw Ciptaker, kini diakui kembali. Presiden sendiri menempatkan buruh kembali sebagai salah satu stakeholder penting perekonomian nasional, bukan sekedar budak yang menjadi objek eksploitasi.
Dalam respons terhadap gagasan Said Iqbal itu, Prabowo secara lantang mengatakan bahwa Satgas PHK harus beranggotakan wakil pengusaha, buruh, pemerintah dan kalangan akademis. Khusus untuk pernyataan Prabowo terkait pentingnya kalangan akademis, dapat memicu keinginan kalangan intelektual dan kampus menimba kembali ilmu-ilmu hubungan industrial, yang selama ini sudah tidak diminati lagi. (Sebagai catatan ketika saya menjadi doktor kajian perburuhan, hanya empat orang yang mendalami penelitian hubungan industrial dan kesejahteraan buruh di UI antara lain mendiang Cosmas Batubara).
Hubungan industrial adalah sebuah relasi sosial antara pemberi kerja (pengusaha), buruh dan pemerintah dalam pembangunan, khususnya industri. Konsep ini pernah menjadi sentral di era Suharto dengan nama Hubungan Industrial Pancasila (HIP). Konsep HIP kala itu menekankan peran buruh sebagai agen pembangunan. Meskipun buruh bukan menjadi “shareholder“, tapi buruh merupakan “stakeholder” dari sebuah perusahaan.
Pada skala nasional, buruh terlibat dalam merumuskan kebijakan perburuhan. Memang, situasi pengendalian hak-hak atas demokrasi dan HAM di era Orba dulu, membuat dialog sosial antara buruh dan pengusaha terbatas dalam kontrol yang dikendalikan pemerintah. Sehingga, antara konsep HIP yang sempurna saat itu, gagal dalam implementasinya, walaupun secara konsep cukup baik.
Hubungan industrial yang ideal dimaksudkan untuk menghindari adanya eksploitasi manusia dalam industri. Eksploitasi terjadi jika buruh hanya dijadikan alat produksi semata, yang akan ditinggalkan dalam suatu fase hubungan kerja tertentu, tanpa harus menikmati keuntungan perusahaan selanjutnya. Misalnya sebuah perusahaan ojek online (ojol) yang berbasis utama tukang ojek, ditempatkan hanya semata-mata pada industri transportasi saja, padahal desain besar bisnis tersebut sesungguhnya menempatkan sisi transportasi hanya bagian kecil saja. Sedangkan bagian besarnya adalah bisnis “fintech” dan berbagai bisnis derivatif lainnya. Tukang ojek juga tidak mempunyai hak kesejahteraan besar dalam hubungan industrial terbatas transportasi tersebut, karena mereka ditempatkan sebagai alat.
Jika hubungan industrial didesain secara adil, maka pekerja akan menjadi subjek yang menciptakan nilai tambah bagi perusahaan. Sedangkan perusahaan akan mengembalikan keuntungan atas nilai tambah itu secara ideal kepada perusahan. Sehingga, akumulasi keuntungan perusahaan dapat dinikmati buruh serta keluarganya. Dalam jangka panjang buruh akan mengalami mobilitas vertikal untuk menjadi manusia atau masyarakat kelas menengah.
Langkah Prabowo mengembalikan hubungan industrial sejak dia berkuasa, khususnya ketika bertemu beberapa tokoh buruh sebelum menaikkan upah 6,5% November tahun lalu, dapat dimaknai sebagai HIP. Sebuah era baru adanya keadilan dalam merencanakan pembangunan yang bermartabat, yakni dari Indonesia untuk semua bangsa kita.
Satgas PHK
Pertemuan Sufmi Dasco Ahmad dengan para tokoh buruh kemarin, dalam berita yang tersebar mencermati ancaman PHK ke depan, bagaimana mitigasinya dan bagaimana memastikan buruh mendapatkan hak-haknya. Dalam jangka pendek satgas ini dapat menjadi kekuatan rakyat yang bersifat kekeluargaan dan gotong royong dalam menghadapi situasi buruk ke depan. Namun, jika sifat kekeluargaan ini dapat dipertahankan, maka ke depan satgas ini dapat menjadi motor bagi pembangunan yang berkeadilan.
Namun, kecurigaan berbagai pihak telah muncul atas rencana ini. Ada yang mencurigai satgas ini dimanfaatkan untuk melegitimasi PHK ditengah isu perang tarif saat ini. Ada juga yang menyoroti satgas ini dapat mengakibatkan pengeluaran anggaran baru di tengah isu efisiensi yang belum maksimal. Oleh karenanya pemerintah perlu menjamin agar satgas yang dibentuk benar-benar kredibel.
Penutup
Pertemuan Sufmi Dasco Ahmad dengan Jumhur dan dua tokoh buruh lainnya untuk membicarakan pembentukan Satgas PHK, merupakan quick response atas keputusan Prabowo untuk membentuk Satgas PHK. Gelombang PHK ke depan bisa saja terjadi peningkatan, baik karena kelesuan ekonomi, maupun perang tarif era Donald Trump. Satgas ini akan berkejaran dengan waktu. Pertemuan ini sangat perlu diapresiasi.
Kita berharap satgas PHK ini merupakan bentuk kepedulian Prabowo pada Hubungan Industrial Pancasila, yang di masa lalu pernah menjadi acuan dalam pembangunan. Sebuah konsep yang menempatkan buruh sebagai subjek pembangunan. Kita berharap juga kalangan akademis mulai tertarik lagi menjadikan isu perburuhan maupun hubungan industrial sebagai bahan riset di kampus-kampus nantinya. Sehingga pembangunan ke depan paska perang tarif dapat berjiwa Pancasila. []
*Dr. Syahganda Nainggolan, Doktor Bidang Kesejahteraan Buruh, Pendiri GREAT Institute