Seandainya Jadi Advokat Ferdy Sambo [1]: Siapa Berani Bela Sambo?
Menurut Yap, yang dibela advokat adalah unsur kemanusiaan dari manusia. Siapa pun yang menjadi terdakwa, dari kalangan mana pun, dari suku bangsa manapun, dari profesi apapun, kalau perlu dibela, harus dibela. Penjahat seberat apapun, bagi seorang advokat kalau diminta menjadi advokat, harus rela dan berani membelanya. Jangan takut. Jangan jadi advokat pengecut.
Oleh : Wina Armada Sukardi*
JERNIH—Karier Irjen Polisi Ferdy Sambo tamat sudah. Dia yang sebelumnya bagaikan hidup di awang-awang, kini justru menukik memasuki fase paling nadir dalam kehidupan dan penghidupannya. Dan itu terjadi sedemikian cepat.
Dua bintang yang menempel di pundak Sambo sudah dicopot. Jabatan mentereng Kadiv Propam pun sudah melayang. Keanggotaannya di Polri telah pula diberhentikan dengan tidak hormat. Sebelumnya, telunjuk Sambo yang begitu berkuasa menentukan seorang polisi dapat digiring ke dalam sebuah sidang etik, masuk sel atau tidak, kini justru Sambo sendirilah yang duduk di kursi pesakitan sidang etik, dan harus meringkuk dalam jeruji besi.
Sambo juga masih harus menghadapi azab yang tak kalah keras. Dia dapat diancam hukuman mati atau seumur hidup. Sekurang-kurangnya 20 tahun penjara. Tak heran jika para “loyalisnya” yang selama ini mengerubunginya dan memberikan puja-puji, sudah menjauhinya, terang-terangan atau secara terselubung.
Tak hanya itu, orang-orang atau polisi yang pernah dibantu pun tak lagi mengingat pertolongan yang pernah diberikan oleh Sambo kepada mereka. Kalau pun bertemu, mereka cuma berbasa-basi sebagai mantan atasan atau orang yang pernah menolong. Selebihnya, Sambo dililit sepi yang sejati.
Kesengsaraan yang sempurna
Sementara di luar urusan hukum formal, masyarakat mencela dan menghujatnya. Sambo menjadi sasaran kemarahan masyarakat. Sambo dijadikan contoh manusia yang tidak bersyukur karena walaupun telah diberikan kekuasaan, kesejahteraan, istri yang telah memberikan tiga anak, bukan merawat amanah yang diberikan itu, tetapi malah melakukan dugaan pembunuhan yang meluntuhlantakan harkat dan martabatnya, dan keluarganya.
Maka di tulisan atau percapakan sehari-hari maupun media sosial kita dapat mendengar, ”Dasar Sambo kelewat batas!” atau “Karena tak dapat menjaga amanah, Sambo memang wajar dikasih hukuman kontan oleh Tuhan” dan sebagainya.
Sambo yang sebelumnya sedemikian berwibawa, saat ini menjadi bahan olok-olok. Tindakan polisional atau atas nama hukum dia sebelumnya, lantas mulai banyak dikulik dan dimaki. Sudah tak jelas lagi mana yang benar dan mana yang sekedar kabar atau fitnah.
Dia menjadi semacam “musuh bersama” yang menjadi “sah” dilaknat apapun. Celakanya, Sang Istri, Putri Candrawati, juga ikut senasib dan sepenanggungan. Dia sudah ditetapkan sebagai tersangka dengan tuduhan yang ancaman hukuman sama dengan suami: hukuman mati, seumur hidup atau sekurang-kurangnya 20 tahun. Sosialita kelas atas dengan barang-barang branded itu, harus hidup berdampingan dengan para pencuri di super market, penipu dan juga pembunuh lainnya.
Kurang apa lagi derita Sambo? Kesengsaraan yang nampaknya sudah sempurna. Sambo oh, sambo!
Konsukuensi advokat Sambo
Nah, jika Sambo dalam keadaan demikian, dia lantas meminta bantuan kita menjadi advokat, pengacara atau penasihat hukumnya, akankah kita bersedia membelanya? Tidakkah kita takut juga bakal dihujat hebat oleh masyarakat? Ini menyangkut konsukuensi yang berat bagi siapa pun yang bersedia menjadi advokatnya.
Jika kita sekadar dianggap mata duitan karena bersedia membelanya, itu sih tak seberapa dan tak mengapa. Konsukuensi lebih berat menunggu, kita bakal menerima caci maki, hinaan dan berbagai cap negatif lainnya.
Ngapain membela orang bejad? Apa cuma mau cari popularitas saja? Apa nggak mengerti perasaan rakyat? Nggak sadar membela “musuh” rakyat? Apa tak pikir hati anggota keluarga korban. Belum lagi ada kemungkinan jika kita membela Sambo, advokatnya malah disamakan dengan Sambo. “Wah, ini orang sama juga dengan Si Sambo.” Advokatnya dapat dicap tak tahu diri. Sombong. Advokat tak mensyukuri nikmat dari Tuhan. Apa nggak ada cara lain mencari rezeki, dan sebagainya dan sebagainya.
Beranikah kita, terutama para lawyer, advokat, menerima permintaan itu?
Kisah Yap Thiam Hien
Advokat kawakan almarhum Yap Thiam Hien dalam karier profesinya hampir selalu bersikap berani. Ketika awal Orde Baru (Orba) PKI (Partai Komunis Indonesia) masih jadi momok menakutkan. Siapa yang diidentifikasikan atau dituding terafiliasi dengan PKI, selain bakal dijauhi masyarakat, juga nyawanya pun setiap saat dapat terancam. Begitu pula hubungan Indonesia dengan RRC kala itu sedang panas dan regang. Dampaknya etnis keturunan Cina di Indonesia pun sering menjadi sasaran rasial.
Tapi Yap Thiam Hien sebagai orang keturunan etnis Cina, dan dari agama minoritas pula, tidak takut untuk membela anggota bahkan gembong PKI yang sedang terjerat problem hukum. Sebagai advokat, Yap sama sekali tidak tidak gentar untuk membela para terdakwa anggota atau pengurus PKI. Padahal Yap menghadapi resiko yang besar. Dia dari etnis keturunan Cina yag saat itu masih sangat sensitif. Apalagi pembelaanya terkait orang-orang PKI. Dengan atau tanpa alasan mereka yang “berbau” PKI dapat “dibantai” begitu saja.
Kasusnya dapat menguap atau diuapkan tanpa jejak. Namun, kesemua itu, tak membuat Yap surut. Dalam lingkungan yang peka dan penuh ancaman bahaya bagi dirinya, Yap tak mundur selangkah pun untuk terus membela anggota PKI yang sedang berhadapan dengan hukum.
Menurut Yap, yang dibela advokat adalah unsur kemanusiaan dari manusia. Siapa pun yang menjadi terdakwa, dari kalangan mana pun, dari suku bangsa manapun, dari profesi apapun, kalau perlu dibela, harus dibela.
Penjahat seberat apapun, bagi seorang advokat kalau diminta menjadi advokat, harus rela dan berani membelanya. Jangan takut. Jangan jadi advokat pengecut. Seorang advokat dalam menjalankan profesinya, menurut Yap, sudah jamak bakal menghadapi tantangan dan ancaman. Itu biasa. Kode Etik Advokat hanya tidak memperbolehkan seorang advokat menjanjikan kemenangan.
“Kalau Anda mengharapkan kemenangan, jangan menunjuk saya sebagai advokat. Tapi kalau ada menginginkan pelayanan terbaik, bolehlah menunjuk diri saya,” kata Yap. Memang yang boleh dan harus dilakukan advokat ialah memberikan layanan terbaik buat kliennya.
Maka kalau Sambo meminta kita atau advokat manapun menjadi pembelanya, kita harus berani menerimanya.
Advokat yang bersedia membela Sambo, bukan berarti setuju perbuatan Sambo. Bukan pula untuk membenarkan tindakan Sambo, apalagi kita menjanjikan “kemenangan” bagi Sambo dan para pendukungnya. Para advokat menerima permintaan Sambo lantaran amanah dari profesi advokat. Profesi yang dituntut untuk bersedia dan berani membela siapapun, termasuk klien yang memiliki beban sosial berat, terlepas dari orang itu kaya atau miskin, salah atau benar.
Jadi, seandainya kelak ada yang berani menjadi advokat Sambo di pengadilan, janganlah kita menghujatnya. Jangan pula kita memakinya. Bahkan kita harus salut kepada advokat yang berani menerimanya kasus Sambo, karena dia bersedia mendapat banyak tentangan dari masyarakat. [ ]*Wina Armada Sukardi, advokat