SolilokuiVeritas

Sekilas  Tentang Kebudayaan Indonesia

Secara hardware maupun software, bangsa-bangsa di Kepulauan Nusantara sudah memiliki peradaban yang komplet. Namun peradaban itu cepat ambyar karena–kata Mochtar Lubis– bangsa kita memiliki enam ciri yang positifnya hanya satu. Keenam ciri itu meliputi: hipokrit, enggan bertanggung jawab atas perbuatannya, percaya takhayul, berjiwa feodal, artistik dan ini satu-satunya positif, dan berkarakter lemah alias gampang menyerah.

Catatan  Marlin Dinamikanto

JERNIH– Sejak kuliah dulu ada Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU) yang dinamakan Ilmu Budaya Dasar, tapi karena saya kuliah di era Orde Baru yang ada malahan Ilmu Budaya Dengar. Jadilah Menteri Penerangan Harmoko membuat acara di TVRI, mengumpulkan petani dari berbagai penjuru negeri bertajuk “Kelompen Capir” yang diplesetkan Bang Eggie Sujana saat menjadi pembicara di Universitas Muhammadiyah Metro, Lampung, sebagai Kelompok Pendengar Capai Berpikir.

Tentu saja bukan semata-mata karena Klompencapir maka studi tentang kebudayaan menjadi sangat terpinggirkan. Gengsinya di kalangan generasi mahasiswa seangkatan saya kalah dengan ilmu-ilmu terapan yang lebih menjanjikan masa depan gemilang. Pandangan itu ternyata salah juga. Sepandai-pandainya menguasai ilmu pengetahuan, kalau tidak dekat dengan kekuasaan ya tidak jadi apa-apa juga. Orang pinter secara akademis biasanya “hanya” jadi dosen. Tanggung jawabnya berkardus-kardus gajinya hanya dalam hitungan sen. Artinya, baik lulusan fakultas bergengsi maupun fakultas ilmu budaya dua-duanya zonk ternyata.

Padahal kebudayaan itu bisa dijadikan tolok ukur apakah sebuah bangsa akan take off atau take down dengan cara crash landing. Bangsa-bangsa besar dunia seperti Mesopotamia hancur karena pemimpinnya tidak kompatibel dengan panggilan zaman. Kebudayaan bisa menjadi cermin apakah sebuah bangsa bisa selalu updated dalam meniti perubahan. Mengutip Koentjaraningrat, secara universal kebudayaan mencakup tujuh unsur meliputi bahasa, sistem pengetahuan, sistem organisasi sosial, sistem peralatan dan tekhnologi, sistem sumber mata pencarian, religi dan kesenian.

Dari penemuan Candi Borobudur, situs Liyangan dan sejumlah artefak di beberapa tempat yang berserak, dapat disimpulkan bangsa kita memiliki peradaban yang tinggi, baik secara arsitektur maupun tekhnologi kemaritiman di era pra kolonial. Mengapa itu bisa ambyar? Tentu saja tidak semua kesalahan kita timpakan ke bangsa penjajah. Karena dalam sudut pandang tertentu kita justru harus berterima kasih kepada Belanda. Karena kalau tidak ada Hindia Belanda mungkinkah ada Indonesia?

Perlu diingat pula, bangsa kita bangsa yang kosmopolit, bahkan mungkin sejak zaman prasejarah. Maka akulturasi kebudayaan sudah terjadi sejak zaman baheula. Prinsip unity in diversity yang diagung-agungkan bangsa Amerika sudah ada di sini sejak Amerika Serikat belum ada. Dari era Kerajaan-kerajaan pertama yang tercatat di Nusantara, kita sudah mengenal istilah Bhinneka Tunggal Ika Tan Hanna Dharma Mangrwa. Berbeda-beda tapi satu juga, namun tidak ada kebenaran yang bersifat mendua.

Artinya, secara hardware maupun software, bangsa-bangsa di Kepulauan Nusantara sudah memiliki peradaban yang komplet. Namun peradaban itu cepat ambyar karena–kata Mochtar Lubis– bangsa kita memiliki enam ciri yang positifnya hanya satu. Keenam ciri itu meliputi: hipokrit, enggan bertanggung jawab atas perbuatannya, percaya takhayul, berjiwa feodal, artistik dan ini satu-satunya positif, dan berkarakter lemah alias gampang menyerah.

Keenam ciri itu yang bertolak belakang dengan budaya adi luhung era pra kolonial, dan ini pula yang menjadi polemik kebudayaan era 1930-an antara Sutan Takdir Alisyahbana dan Sanusi Pane. Tidak ada yang benar 100 persen antara kedua-duanya, dan tidak ada yang salah serratus persen, karena itu dibatasi sudut pandang.

Tantangan kebudayaan hari ini tentu saja harus beyond dari polemik kebudayaan itu. Juga polemik kebudayaan antara Lekra dan Gelanggang di tahun 1960-an. Yang perlu dirumuskan di antara tujuh unsur kebudayaan yang ditulis Koentjaraningrat bagaimana bangsa Indonesia bangkit ke depan. Hadirnya tekhnologi informasi bisa menjadi tantangan sekaligus peluang menuju “Indonesia Terang” sebagaimana yang dicita-citakan Presiden Prabowo. [ ]

Back to top button