Siapa yang Berhaji Tahun Ini?
“Berapa orang jamaah haji tahun ini?” tanya Malaikat kesatu. “Enam ratus ribu,”jawab Malaikat kedua. “Berapa ribu yang mabrur?” “Tak seorang pun. Ada seorang yang mabrur, tapi dia tidak datang ke sini. Tak ikut wukuf, tak ikut jumrah. Tinggal saja di rumahnya.”
Oleh H.Usep Romli H.M*
Kabar simpang-siur tentang pelaksanaan ibadah haji tahun 1441 Hijrah (2020) sudah merebak. Seiring dengan ancaman wabah Covid-19, yang mengglobal, kemungkinan pembatalan ibadah haji tahun ini sangat besar. Media “Green Prophet”, 5 Maret 2020 menurunkan berita di bawah judul “Mecca’s Hajj canceled this year”.
Tanda-tanda ke arah itu, sudah tampak sejak bulan lalu. Pemerintah Saudi Arabia menutup dua kawasan suci (Haramain) dari kedatangan para jamaah umroh mancanegara. Bahkan jamaah domestik pun dilarang melakukan ibadah umroh. Pekan lalu, pemerintah Kerajaan Saudi Arabia menutup semua masjid. Kecuali masjidil Haram di Mekkah dan Masjid Nabawi di Madinah yang tetap dibuka.
Jika penyebaran wabah terus berlanjut hingga dua-tiga bulan ke depan, pelaksanaan ibadah haji kemungkinan besar batal. Bulan Zulhijjah tinggal hanya tinggal empat bulan lagi. Padahal, pemerintah Saudi Arabia sebagai tempat pelaksanaan ibadah haji, memerlukan waktu 7-8 bulan menyongsong rangkaian kegiatan haji yang biasa dimulai bulan Syawal. Puncak ibadah haji, yaitu wukuf, berlangsung 9 Zulhijjah di Padang Arafah. Dilanjutkan dengan mabit 1-2 jam di Muzalifah. Dilanjutkan mabit (menginap) di Mina untuk jumrah, pada 10-13 Zulhijjah.
Semua itu kerja raksasa yang menuntut kesiapan teknis luar biasa. Raja Saudi Arabia, sebagai “Khadamun Haramain” (Pelayan Dua Tanah Suci Mekah-Madina), tentu tak ingin pelaksanaan ibadah haji “compang-camping”. Maka pembatalan akibat keadaan gawat darurat kemungkinan jadi pilihan.
Bagaimana para calon jamaah haji 2020 harus menyikapinya, terutama bagi mereka yang sudah menunggu (waiting list) berbelas tahun? Sebagian besar pasti kecewa. Tak sedikit yang putus asa. Tensi meninggi dan penyakit ikutan pun kambuh.
Seharusnya tidak demikian. Terima saja kenyataan dengan tenang. Ikhlas, sabar, tawakkal. Serta mengembalikan semuanya kepada Allah SWT. Anggaplah musibah dan ujian keimanan.
Allah SWT berfirman, dalam Quran, Surat Al-Baqarah 155-156 :“Sesungguhnya, Kami akan mencoba kalian dengan rasa takut, rasa lapar, kekurangan harta benda dan buah-buahan, sebagai kabar gembira bagi orang-orang yang sabar. Yaitu orang-orang yang tatkala mendapat musibah, mengucapkan “inna lillahi wa inna ilaihi raji’un” (segala sesuatu berasal dari Allah, dan kepadaNya akan kembali).
Mengucapkan “istirja” (innalillahi wa innailahi rajiun) dianjurkan Nabi Muhamamd Saw, kepada setiap orang yang mendapat musibah. Disambung dengan doa : Allahumma ajirni fi musibati wahlufly khaira minha”. Semoga Allah mengganti musibah ini dengan segala sesuatu yang lebih baik lagi (hadis sahih).
Itulah kemurahan Allah SWT kepada orang sabar, dengan memberi berita gembira. Dan kepada orang tawakkal, ihlas menerima keadaan apa saja, dijanjikan akan dicukupi kebutuhannya (Q.s.at Thalaq : 3).
Bagi setiap Muslim beriman, kegagalan selalu mendatangkan hikmah kebaikan dan kebajikan. Tidak jadi berhaji, membuka peluang untuk meraih pahala setara haji “mabrur” (yang diterima), dengan membuat kebaikan dan kebajikan lain, baik bersifat material, maupun immaterial.
Dalam khazanah literatur Islam klasik yang disebut “kitab kuning” teks kajian di pesantren, terdapat kisah Abdullah bin Mubarak, seorang ulama “tabiit tabi’in” (pernah belajar kepada “tabi’in” yang sempat dididik para sahabat Nabi Saw. Fariduddin Attar, penulis sufi abad 12, ikut pula mengisahkan pengalaman Abdullah bin Mubarak dalam bukunya yang terkenal “Tadzkiratul Auwlia” yang telah diterjemahkan ke bebagai bahasa.
Dikisahkan, Abdullah bin Mubarak melaksanakan ibadah haji. Usai “thawaf ifadhah” (salah satu rukun haji, di samping wukuf, dan jumrah), ia mengantuk di dekat Multazam (tempat paling mustajab, antara Hajar Aswad dan pintu Kabah). Terlayap-layap setengah tidur, ia mendengar dua Malaikat berbincang di arah kepalanya.
“Berapa orang jamaah haji tahun ini?” tanya Malaikat kesatu.
“Enam ratus ribu,”jawab Malaikat kedua.
“Berapa ribu yang mabrur ?”
“Tak seorang pun. Ada seorang yang mabrur, tapi dia tidak datang ke sini. Tak ikut wukuf, tak ikut jumrah. Tinggal saja di rumahnya.”
“Subhanallah. Allahu Akbar. Siapa dia ?”
“Abdullah ibnul Muqaffa, seorang tukang sepatu di Damaskus”.
Mendengar percakan dua Malakit itu, Abdullah bin Mubarak, segera bangun. Mmbaca istigfar berkali-kali. Kemudian segera menyelesaikan ibadah hajinya dengan melakukan thawaf wada (thawaf perpisahan). Lalu cepat berangkat ke Damaskus. Ingin menemui Abdullah ibnu Muqaffa, yang mendapat anugrah haji mabrur tanpa melaksanakan haji di Mekkah.
Perjalanan lama, jauh dan berat tak dirasakan oleh Abdullah bi Mubarak. Karena keingintahuannya, apa yang diperbuat Abullah ibnu Muqaffa hingga mendapat anugrah haji mabrur.
Sesampai di Damaskus dan menemui Ibnu Muqaffa, Abdullah bin Mubarak menceriterakan kembali percakapan dua Malaikat di Multazam. “Nah, amal perbuatan apa yang Anda lakukan, sehingga Anda mendapat nikmat haji mabrur tanpa melaksanakan haji?”
Setelah terus didesak, Abdullah ibnul Muqaffa, berterus terang : “Aku tak tahu amal baik apa yang kuperbuat. Hanya, pergi berhaji telah lama kuidam-idamkan. Sejak 30 tahun lalu aku menabung sedikit demi sedikit . Menyisihkan penghasilan sebagai tukang sepatu. Tahun ini tabunganku cukup untuk bekal berhaji. Aku pun bersiap-siap. Sehari sebelum berangkat, istriku yang sedang ngidam, merengek, ingin memakan daging yang dimasak tetangga sebelah. Tercium harumnya, hingga membuat istriku berselera. Untuk memenuhi keinginan istri yang akan ditinggalkan jauh berbulan-bulan, aku mengetuk pintu rumah tetangga, yang dihuni seorang janda tua beserta empat cucunya. Mengucap salam dan mengemukakan keperluanku.
“Mohon maaf, Abdullah,” tetanggaku berkata memelas. “Daging yang membuat istrimu tergiur, hanya halal bagiku dan keempat cucuku. Tidak halal bagi kamu dan istrimu.”
“Mengapa ?” aku terkejut. “Sebetulnya aku malu mengungkapkanya. Tapi apa boleh buat. Sudah tiga hari kami kelaparan. Tak makan secuil apa pun. Tadi pagi cucuku menemukan bangkai seekor keledai. Ia potong bagian pahanya. Lalu kami bakar untuk kami makan. Nah, daging bangkai keledai itulah yang tercium harumnya oleh istrimu. Bagi kami, halal, karena kami kelaparan. Tapi tidak bagi kalian, yang bisa makan tiap hari. Bahkan akan menunaikan haji.”
“Aku terkejut. Tubuhku lunglai. Tanpa pikir panjang, kumabil semua uang bakal bekal berhaji, dan diserahkan kepada tetanggaku.
“Maafkan aku abai atas keadaanmu. Terimalah uang ini. Cukupilah biaya makan dan minummu. Jangan lagi engkau kelaparan sehingga harus memakan bangkai keledai.”
“Wahai Abdullah bin Mubarak, mungkinkan amalanku itu yang membuat aku memperoleh haji mabrur ? Aku merasa berdosa sekali, mengingat sabda Rasullah Saw yang menyatakan “Tidaklah seseorang beriman kepada Allah dan hari akhir, tertidur nyenyak, sementara tetangganya kelaparan”. Aku bertaubat kepada Allah atas kelalaianku kepada tetangga. Aku membatalkan keberangkatan ke Mekah tahun ini.”
Alhasil, Ibnu Muqaffa yang tak jadi berhaji, tetap mendapat anugrah haji mabrur karena melakukan sadaqah infak, memberi makan kepada orang lapar dan membantu kehidupan tetangga. Solidaritas sosial ternyata tak kurang nilainya dari ibadah haji yang mabrur. [ ]