Syuraih, Hakim yang Mengadili Penguasa yang Mengangkatnya
“Subhanallah,”Ali bertasbih. “Dua anak yang oleh Rasulullah disebut pemimpin para pemuda di surga, ditolak kesaksiannya sedemikian rupa ?” “Ya!”jawab Syuraih tegas. “Rasulullah Saw menyebutkan, kesaksian anak tidak berlaku bagi perkara orang tuanya.”
Oleh : Usep Romli H.M.
Syuraih bin Al Harits (wafat tahun 80 Hijrah), seorang hakim yang terkenal adil. Ia mula-mula diangkat menjadi hakim di Madinah, oleh Khalifah Umar bin Khattab. Terus memegang jabatan itu pada zaman Khalifah Ustman dan Khalifah Ali bin Abi Thalib.
Meski diangkat oleh penguasa yang berderajat sahahabat utama Nabi Muhammad Saw, Syuraih menjalankan kewajibannya sebagai hakim dengan berpegang teguh kepada nash Quran dan arahan Sunnah Rasulullah Saw. Ia tidak silau oleh jabatan orang yang mengangkatnya.
Terbukti, ketika mengadili perselisihan Khalifah Umar dengan seorang pedagang kuda. Umar membeli seekor kuda. Setelah sepakat harga dan kondisi kuda, Umar membayar dan mengucapkan ijab-kabul tanda sah jual beli.
Namun beberapa jenak ditunggangi, kuda itu tersungkur.Tak dapat bangkit lagi. Ternyata lutut luka dan otot pingangnya terkilir. Umar kembali menemui tukang kuda. Hendak membatalkan jual beli.
“Ambillah kudamu, dan berikan uangku, “kata Umar.
Tukang kuda menolak. Sebab ketika “rebut tawar” tadi, tak ada tanda-tanda kuda itu terluka. Karena tak ada kata putus, mereka sepakat membawa persoalan itu ke depan hakim Syuraih.
Setelah menerima paparan kedua pengadu, Syuraikh bertanya kepada Umar :“Apakah Anda menerima kuda dari penjual, dalam keadaan baik ?”
“Ya,”jawab Umar.
“Ambillah barang yang telah Anda beli, wahai Amirul Mukminin. “Atau kembalikan kuda itu dalam kondisi semula waktu Anda menerimanya dari penjual,“ kata Syuraikh, mengetukkan palu tanda perkara selesai.
Umar menerima keputusan tersebut dengan lapang. Walau merasa dirugikan akibat jual-beli yang dilakukannya.
Pada saat lain, Syuraikh mengadili perkara Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan seseorang yang dituduh mencuri baju besinya. Orang itu berkukuh, mengakui baju besi itu miliknya. Ali bin Abi Thalib tetap mengakui baju itu miliknya yang hilang di suatu tempat.
Syuraikh bertanya kepada Ali, “Adakah saksi yang mengetahui, baju besi itu milik Anda, wahai Amirul Mukminin?”
“Tentu saja ada, yaitu anakku, Hasan dan Hussein, “jawab Ali.
“Kesaksian dua anak untuk bapaknya, tak dapat diterima.“
“Subhanallah,”Ali bertasbih. “Dua anak yang oleh Rasulullah disebut pemimpin para pemuda di surga, ditolak kesaksiannya sedemikian rupa ?”
“Ya!”jawab Syuraih tegas. “Rasulullah Saw menyebutkan, kesaksian anak tidak berlaku bagi perkara orang tuanya.”
Akhirnya Ali mengalah. Ia menyerahkan baju besi itu kepada orang yang mengakuinya, karena tak punya saksi yang bisa membuktikan kepemilikannya. [ ]
Sumber :“Asrut Tabi’in” Syekh Abdul Munim al Hasyimi (2014)